Puruk Cahu (kota): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
reviewed
Baris 4:
{{coord|0|35|0|S|114|35|0|E|display=title}}
{{indo-geo-stub}}
 
== '''SEJARAH''' ==
'''Menurut cerita rakyat'''
 
Sebelum jaman penjajahan, Puruk Cahu mempunyai nama lain yaitu "Likun Puan" yang berada  di pinggir sungai Barito tepatnya terletak tidak jauh dari muara sungai Beriwit yaitu anak sungai Barito.
Perkampungan “Likun Puan” dibangunnya oleh suku Dayak Murung, Siang dan selanjutnya diikuti oleh suku Bakumpai. Likun Puan berasal dari kata Likun artinya Teluk dan Puan adalah tumbuhan sejenis “kulur” apabila buahnya sudah matang berwarna merah dan manis rasanya. Masyarakat perkampungan Likun Puan hidup sejahtra, tentram, rukun dan damai.<br>
Sejahtera karena alam sekitar sangat kaya akan Sumber Daya Alam sehingga dalam memenuhi kebutuhan pangan sangat gampang. Hutan masih perawan, lahan pertanian subur, segala jenis satwa dan ikan masih banyak. Tidak ada istilah “Rawan Pangan” tidak ada kata “Busung Lapar”. Seluruh masyarakat hidup dengan nilai budaya kebiasaan pangan “Beragam, Bergizi dan Berimbang”.
Tenteram karena masyarakat semua taat akan hukum walaupun doktrin dan sangsi hukum tidak tertulis. Sangat jarang terjadi tindakan kriminal, tidak terdengar pelanggaran Hak Asasi Manusia, jauh dari rasa saling curiga, berkembangnya budaya kejujuran dan bertanggung jawab.
Aura kedamaian juga sangat terasa, masyarakat hidup berdampingan dengan rukun diikat oleh kentalnya rasa persaudaraan, manusia dipandang semua sama tidak ada rasa lebih mulia atau hina. Dalam menyelesaikan pekerjaan seperti berladang, membangun rumah kediaman dan melaksanakan upacara keagamaan selalu dilaksanakan dengan gotong royong. Rasa solidaritas juga sangat tinggi, dalam memberikan bantuan berupa moril dan matril dilakukan dengan tulus tanpa pamrih. Apabila salah satu warga mendapat ikan atau binatang selalu dibagi rata. Tertanam kebiasan lebih bangga bisa memberi dan sangat malu menjadi peminta-minta.
Di antarapenduduk “Likun Puan” terdapat seorang janda dengan kedua anaknya, sulung bernama Caha dan si bungsu bernama Sakah. Suaminya telah lama meninggal karena sakit. Sejak kematian suaminya, ia berperan sebagai ibu sekaligus menjadi ayah bagi kedua anaknya. Hidup mereka cukup memperihatinkan, tinggal di ladang, rumahpun hanya berupa pondok. Sangat jarang mereka berintereaksi dengan masyarakat lain.
Setelah kedua putranya dewasa kehidupan mereka pun mulai mengalami peningkatan. Ibu janda ini tidak lagi kerja keras, semua kebutuhan pokok dipenuhi oleh Caha dan Sakah. Bahkan mereka tidak lagi tinggal di pondok karena Caha dan Sakah sudah mendirikan rumah “Betang” di sebuah bukit (di daerah bukit desa Soko) tidak jauh dari perkampungan Likun Puan.
Sakah sudah dewasa dan menikah dengan seorang gadis dari “Likun Puan”. Sebagaimana adat suku Dayak apabila sudah menikah laki-laki harus mengikuti istrinya. Demikian juga halnya dengan Sakah, ia harus berpisah dengan ibu dan kakaknya untuk tinggal bersama istrinya.
Sepeninggalan Sakah, Caha hanya hidup berdua dengan Ibunya di “Betang”. Sangat jarang berkomunikasi dengan orang lain, sekan-akan terisolasi dari orang lain. Maklumlah kala itu jumlah manusia masih sedikit dengan pola hidup agraris dan tergantung dari alam.
Pada suatu ketika, “Likun Puan” mengalami bencana. Buah-buahan gagal berbuah, padi pun mengalami gagal panen dan alam terasa kurang bersahabat. Semua penduduk merasa resah karena tidak biasanya hal ini terjadi.
Untuk mencari solusi atas masalah ini, warga “Likun Puan” mengadakan musyawarah. Dari musyawarah tersebut warga berkesimpulan mengadakan upacara “Naah Antang” yaitu sebuah upacara dalam agama Hindu “Kaharingan” bertujuan untuk memohon petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala persoalan yang dialami umat manusia.
Setelah semua sarana sudah siap, upacara “Naah Antang” pun dilaksanakan. Seorang rohaniwan Hindu yang disebut Basi mengucapkan mantra “Nawui” dengan posisi menghadap ke arah timur. Setelah selesai “Basi” mengucapkan mantra tiba-tiba seekor burung Elang “Antang Taah” yaitu simbol Kemahakuasaan Tuhan dalam memberikan petunjuk pun datang dan berputar selama tiga kali putaran di arah sebelah kiri “Basi” tempat upacara dilaksanakan, tepatnya di atas “Betang” tempat tinggal Caha bersama Ibunya. Kemudaian Burung Elang itupun menghilang entah kemana.
Dari hasil pentunjuk dalam upacara “Naah Antang” tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya bencana yang mereka alami ada hubungannya dengan Caha dan Ibunya.
Oleh para tokoh-tokoh Kaharingan maka Caha dan ibunya di panggil untuk dimintai keterangan tetang apa yang telah mereka perbuat. Atas pengakuan Caha dan Ibunya ternyata mereka telah melakukan hubungan intim selayak suami istri.
Karena perbuatan Caha dan Ibunya melanggar norma agama dan norma susila sehingga mencemari kesucian alam lingkungan maka Caha dan Ibunya dikenakan sangsi yaitu mensucikan alam lingkungan dengan mengadakan upacara “Nawai Onow”.
Sejak peristiwa inilah maka masyarakat “Likun Puan” memberikan nama gunung tersebut Puruk Cahu. Kata Puruk Cahu berasal dari bahasa Dayak Murung yaitu Puruk berarti Gunung dan Cahu berarti Kualat. Jadi Puruk Cahu artinya gunung Kualat. Mengandung makna bahwa pada gunung tersebut telah terjadi perstiwa pelanggaran norma agama dan norma susila sehingga menyebabkan bencana.
Karena malu atas peristiwa tersebut maka Caha meninggalkan “Betang”, mudik sungai Beriwit akhirnya menetap di Liang Pandan. Sedangkan Ibunya beserta Singa Sakah sekeluarga juga turut mengasingkan diri di Kurung Pajang yaitu tepatnya antara Puruk Cahu dengan desa Tino Talih sekarang.
 
'''JAMAN PENJAJAHAN BELANDA'''
 
Di Kerajaan Banjar (Kota Banjarmasin sekarang) banyak terdapat kebun lada, kopi, emas dan intan. Aset ini sangat menggiurkan Kolonial Belanda untuk menguasai Kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar pada saat itu di bawah pimpinan seorang raja bernama Pangeran Antasari dengan gelar Penambahan Amiruddin Chalifatur Mukminin, Beliau adalah putera Pangeran Mashud, sedangkan Pangeran Mashud sendiri adalah putera dari Pangeran Amir. Pangeran Antasari memiliki dua isteri yang syah. Anak pertama dari isteri pertamanya bernama Gusti Panembahan Muhamad Said dan isteri yang kedua bernama Patimah melahirkan seorang putera bernama Gusti Panembahan Muhammad Seman.
Pada tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari mengeluarkan pengumuman “Perang” dan sekaligus menyerang Benteng Belanda di Pengaron (tambang batu arang Oranye Nassau dan Juliana), dikenal dengan Perang Banjar atau Perang Barito.
Dalam perjuangan Pangeran Antasari melawan Kolonial Belanda, Pangeran Antasari mendirikan benteng-benteng pertahanan antara lain: Benteng Gunung Tongka, Halau-halau, Madang, Gunung Jabuk, Haur, Tongka. Sebagai benteng terakhir dan terkuat terletak di puncak gunung Bukit Bagantung Kecamatan Awayan Hulu-Sungai Utara.
Belanda menggunakan siasat politik Adu Domba, Belanda menghasut rakyat sehingga perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda tidak banyak membawa hasil. Sehingga pada tanggal 11 Juni 1860, Belanda mengeluarkan pernyataan bahwa kerajaan Bajar dihapus, bendera kerajaan Banjar ditarik dan tidak boleh dikibarkan dimanapun juga. Dan Kerajaan Banjar dikuasai Belanda.
Pangeran Antasari mengungsi di Bayan Begok kampung Sampirang (sungai Tewei Kecamatan Teweh Timur-Barito Utara) hingga tutup usia dalam umur 65 tahun, tepatnya pada tanggal 11 Oktober 1862 karena sakit serangan jantung. Pada tanggal 11 Nopember 1958, tulang-belulang jenazah Pangeran Antasari (Almarhum) beserta jenazah Ratu Antasari (isteri Almarhum) ditanamkan kembali di Makam Pahalawan Perang Banjar-Banjarmasin.
Dalam perkembangannya perkampungan “Likun Puan” terus berkembang, di tengah peperangan melawan Belanda berkecamuk. Kedua putera Pangeran Antasari yaitu Gusti Panembahan Muhamad Said, kemudian di Puruk Cahu dikenal dengan Sultan Muhamad Said dan Gusti Panembahan Muhammad Seman, dikenal dengan Sultan Muhammad Seman, beserta seluruh keluarga, pengawal dan abdinya serta seorang pejuang wanita bernama puteri Djaleha mengungsi ke “Likun Puan”.
Pada tahun 1890 Belanda mulai memasuki wilayah Puruk Cahu, kedua putera Pangeran Antasari melanjutkan perjuangan Ayahndanya (Perang Barito) dan menjadikan Puruk Cahu sebagai basis perlawanan melawan Kolonial Belanda.
Dalam peristiwa Perang Barito di Puruk Cahu dan sekitarnya ada tiga lokasi yang paling terkenal sebagai tempat medan pertempuran yaitu sungai Manawing, Kalang Barah di sungai Manyakau dan Benteng Kucu.
Sakah bersama anaknya ikut serta berperang mengusir Kolonial Belanda. Beliau dikenal dengan nama Singa Sakah dan salah satu cucu Beliau bernama Kyai Ajang berperan sebagai Punggawa di bawah pimpinan Sultan Muhammad Seman. Namun sayang dalam peperangan ini pasukan Sultan Muhammad Seman belum berhasil menundukan Belanda. Dan pada tanggal 1 Januari 1905 Sultan Muhamad Seman gugur dalam pertempuran melawan pasukan Kapten Cristoffel di Puruk Cahu. Dengan gugurnya Sultan Muhamad Seman dalam pertempuran maka berakhirlah Perang Barito.
Sultan Said beserta keluarga, pengawal dan abdi Beliau mengungsi hingga tutup usia dan dikebumikan pinggir sungai Manawing tepatnya “Beras Kuning” sekarang. Sedangkan Sultan Muhammad Seman dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jl. Pahlawan Puruk Cahu.
Pada tahun 1901 Belanda membentuk pemerintahan di Puruk Cahu yang kala itu disebut District (wilayah Administrasi) yang selanjutnya dinamakan District Barito Hulu dipimpin oleh seorang Controluer berkebangsaan Belanda berpangkat Kapten yaitu Kapten Cristoffel sebagai komandan Territorial serta merangkap Komandan Kompi di dampingi oleh Kyai Syahdan dan Penghulu Agama H. M. Amin dengan membawahi beberapa Onderdistrict atau setingkat Kecamatan.
Pemerintahan Belanda telah membentuk 4 (empat) wilayah Onderdistrict di wilayah District Barito Hulu, yaitu:
1. Onderdistrict Murung dengan Ibukotanya Puruk Cahu.
2. Onderdistrict Laung dan Tuhup dengan Ibukotanya Muara Laung.
3. Onderdistrict Siangland dengan Ibukotanya Saripoi.
4. Onderdistrict Barito Brongeheid dengan Ibukotanya Muara Joloi I.
Pada tahun 1939-1940 di Muara Sungai Soko di atas perbukitan “Puruk Cahu” tepatnya di sekitar “Betang” milik Caha, kolonial Belanda mulai membangun sebuah Port (benteng) sebagai basis pertahanan untuk menangkal setiap serangan musuh dari luar, baik dari orang asing selain Belanda maupun orang pribumi (orang Indonesia) yang sekarang menjadi Markas Kompi Senapan C 631/Antang..
Keberadaan District Barito Hulu yang dibangun oleh Pemerintahan Kolonial Belanda pada waktu itu telah memberi perubahan terhadap kehidupan penduduk Likun Puan karena posisinya sangat strategis yaitu sebagai daerah transit bagi masyarakat Onderdistrict dan pusat pemerintahan.
Seiring dengan keberadaan District Barito Hulu, Pemerintahan Kolonial Belanda mengembangkan pembangunan dari Port (Benteng) menuju ke arah Utara sehingga bergabung dengan perkampungan Likun Puan, terbentuklah sebuah kota kecil yang dikenal dengan nama Puruk Cahu Beriwit, sekarang menjadi Kelurahan Beriwit.
Kota Puruk Cahu Beriwit selanjutnya diduduki oleh Belanda maka Puruk Cahu Beriwit berkembang ke arah seberang sungai Barito tepatnya di “Datah Sangkai” selanjutnya membentuk sebuah perkampungan sehingga dikenal dengan nama Puruk Cahu Seberang, sekarang menjadi Kelurahan Puruk Cahu.
Sejak pengembangan pembangunan District Barito Hulu nama perkampungan Likun Puan jarang disebut, bahkan sekarang masyarakat Murung Raya pun tidak banyak yang tahu kalau cikal-bakal Kota Puruk Cahu adalah perkampungan Likun Puan karena masyarakat lebih akrab dengan nama Puruk Cahu.
 
== MISTERI KOTA PURUK CAHU ==
'''TAMBUN'''
 
'''GAJAH MINA'''
 
'''LIANG PANDAN'''
 
'''GUNUNG USUNG'''
 
'''HARTA GAIB'''
 
'''BENTENG (KOMPI SENAPAN C 631/ATG)'''
 
'''NAGA'''
 
[[Kategori:Ibu kota kabupaten di Kalimantan Tengah]]