Parahyangan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ghalih.99 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 6:
 
== Etimologi ==
'''Priangan''' atau '''Parahyangan''' sering diartikan sebagai tempat para ''rahyang'' atau ''[[hyang]]''. Masyarakat [[Orang Sunda|Sunda]] kuna percaya bahwa [[roh]] [[leluhur]] atau para [[dewa]] menghuni tempat-tempat yang luhur dan tinggi, maka wilayah pegunungan dianggap sebagai tempat hyang bersemayam. Berasal dari gabungan kata ''para-hyang-an''; ''para'' menunjukkan bentuk jamak, sedangkan akhiran ''-an'' menunjukkan tempat{{Citation needed|date=June 2010}}, jadi Parahyangan berarti tempat para hyang bersemayam. Sejak zaman [[Kerajaan Sunda]], wilayah jajaran pengunungan di tengah [[Jawa Barat]] dianggap sebagai kawasan suci tempat hyang bersemayam. Menurut legenda Sunda, tanah Priangan tercipta ketika para dewa tersenyum dan mencurahkan semua berkah dan restunya. Kisah ini bermaksud untuk menunjukkan keindahan dan kemolekan alam Tatar Sunda yang subur dan makmur.
 
= '''Priangan''' atau '''Parahyangan''' sering diartikan sebagai tempat para ''rahyang'' atau ''[[hyang]]''. Masyarakat [[Orang Sunda|Sunda]] kuna percaya bahwa [[roh]] [[leluhur]] atau para [[dewa]] menghuni tempat-tempat yang luhur dan tinggi, maka wilayah pegunungan dianggap sebagai tempat hyang bersemayam. Berasal dari gabungan kata ''para-hyang-an''; ''para'' menunjukkan bentuk jamak, sedangkan akhiran ''-an'' menunjukkan tempat{{Citation needed|date=June 2010}}, jadi Parahyangan berarti tempat para hyang bersemayam. Sejak zaman [[Kerajaan Sunda]], wilayah jajaran pengununganpe<s>n</s>gunungan di tengah [[Jawa Barat]] dianggap sebagai kawasan suci tempat hyang bersemayam. Menurut legenda Sunda, tanah Priangan tercipta ketika para dewa tersenyum dan mencurahkan semua berkah dan restunya. Kisah ini bermaksud untuk menunjukkan keindahan dan kemolekan alam Tatar Sunda yang subur dan makmur. =
== Geografi ==
 
==== Geografi ====
Priangan saat ini merupakan salah satu wilayah Propinsi Jawa Barat yang mencakup Kabupaten [[Cianjur]], [[Bandung]], [[Sumedang]], [[Garut]], [[Tasikmalaya]], dan [[Ciamis]], yang luasnya mencapai sekitar seperenam [[pulau Jawa]] (kurang lebih 21.524 km persegi). Bagian utara Priangan berbatasan dengan [[Karawang]], [[Purwakarta]], [[Subang]] dan [[Indramayu]]; sebelah barat dengan [[Majalengka]], [[Kuningan]]; dengan [[Jawa Tengah]] di sebelah timur dibatasi oleh sungai [[Citanduy]]; di barat berbatasan dengan [[Bogor]] dan [[Sukabumi]], sedangkan di selatan berhadapan dengan [[Samudera Indonesia]].
 
Baris 19 ⟶ 20:
Sepeninggal [[Prabu Geusan Ulun]], kekuasaan Sumedang Larang diwariskan kepada anak tirinya, Raden [[Aria Suriadiwangsa]] ([[1608]]-[[1624]]). Tahun [[1620]], karena terjepit oleh tiga kekuasaan (Mataram di timur, Banten dan [[VOC|Kompeni]] di barat), Aria Suriadiwangsa memilih menyerahkan diri ke Mataram (ibunya, [[Ratu Harisbaya]], adalah saudara Sutawijaya). sejak saat itu, Sumedang Larang diubah menjadi Kabupaten Sumedang di bawah kekuasaan [[Mataram]], demikian pula wilayah lainnya yang kemudian menjadi bawahan Mataram yang diawasi oleh Wedana Bupati Priangan. Untuk jabatan Wedana Bupati Priangan, [[Sultan Agung]] memilih Aria Suriadiwangsa dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata ([[Rangga Gempol I]], [[1620]]-[[1624]]).
 
Ketika kekuasaan Priangan dipegang oleh Pangeran Rangga Gede (mewakili Rangga Gempol yang ditugaskan untuk menaklukkan daerah Sampang, Madura), Sumedang diserang Banten. Karena tidak mampu mengatasi serangan Banten, Rangga Gede kemudian ditahan di Mataram, sedangkan Priangan diserahkan kepada [[Dipati Ukur]], dengan syarat harus merebut Batavia dari VOC. Dipati Ukur saat itu menjabat Wedana Bupati Priangan di wilayah Bandung saat ini, yang membawahi wilayah Sumedang, [[Sukapura]], Bandung, [[Limbangan]], serta sebagian Cianjur, Karawang, [[Pamanukan]], dan Ciasem. namun, karena gagal memenuhi syarat merebut Batavia ([[1628]]), dan sadarasadar<s>a</s> bahwa dirinya akan dihukum oleh Sultan Agung, Dipati Ukur berontak. Pemberontakan Dipati Ukur baru bisa dilumpuhkan pada tahun [[1632]], setelah Mataram dibantu oleh beberapa pemimpin Priangan. Jabatan Wedana Bupati Priangan selanjutnya diserahkan kembali kepada Rangga Gede.
 
Akibat pemberontakan Dipati Ukur, dalam Piagam Sultan Agung bertanggal 9 Muharam tahun Alip (menurut [[F. de Haan]], tahun Alip sama dengan tahun [[1641]] Masehi, tetapi ada beberapa keterangan lain yang menyebutkan bahwa tahun Alip identik dengan tahun [[1633]]), daerah Priangan di luar Galuh dibagi lagi menjadi empat kabupaten: