Sitti Nurbaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 29:
Ditulis dalam [[bahasa Melayu]] yang baku dan termasuk teknik penceritaan tradisional seperti [[pantun]], novel ''Sitti Nurbaya'' menyinggung tema kasih tak sampai, anti-pernikahan paksa, pengorbanan, [[kolonialisme]], dan [[modernisasi|kemodernan]]. Novel yang disambut baik pada saat penerbitan pertamanya ini sampai sekarang masih dipelajari di [[SMA|SMA-SMA]] se-Nusantara. Novel ini pernah dibandingkan dengan ''[[Romeo dan Julia]]'' karya [[William Shakespeare]] serta legenda Cina ''[[Sampek Engtay]]''.
 
== Penulisan ==
''Sitti Nurbaya'' ditulis oleh [[Marah Rusli]], seorang [[Orang Minang|Minang]] yang berpendidikan Belanda dalam ilmu [[Dokter hewan|kedokteran hewan]].{{sfn|Foulcher|2002|pp=88–89}} Pendidikan itu menyebabkan Rusli menjadi semakin seperti orang Eropa. Dia meninggalkan beberapa tradisi Minang, tetapi tidak dalam pandangannya bahwa wanita harus berpatut kepada pria. Menurut [[Bakri Siregar]], seorang kritikus sastra Indonesia berlatar belakang [[Marxisme|Marxis]], sifat Rusli yang seperti orang Eropa itu mempengaruhi bagaimana budaya Belanda dijelaskan dalam ''Sitti Nurbaya'', serta suatu adegan di mana kedua tokoh utama berciuman.{{sfn|Siregar|1964|pp=43–44}} A. Teeuw, seorang kritikus sastra Indonesia asal Belanda dan guru besar di [[Universitas Indonesia]], mencatat bahwa penggunaan [[pantun]] dalam novel ini menunjukkan bahwa Rusli telah banyak dipengaruhi tradisi [[sastra lisan]] Minang, dengan dialog yang berkepanjangan menunjukkan bahwa ada pengaruh dari tradisi [[musyawarah]].{{sfn|Teeuw|1980|p=87}}
 
Baris 40:
Sementara, Datuk Meringgih, yang iri atas kekayaan Sulaiman dan mengkhawatirkan persaingan bisnis, berusaha untuk menjatuhkannya. Anak buah Meringgih menghancurkan hak milik Sulaiman, yang membuatnya menjadi bangkrut dan terpaksa meminjam uang dari Meringgih. Sulaiman yang tidak dapat melunasi utang kepada Datuk Meringgi pun dihadapkan kepada dua pilihan sulit, menyerahkan Nurbaya untuk menjadi istri Datuk Meringgi atau menyerahkan dirinya sendiri sebagai tahanan. Terdorong oleh rasa sayang kepada ayahnya, Nurbaya yang sudah tidak beribu itu pun terpaksa menyerahkan diri kepada Datuk Meringgi.
 
Dalam suatu surat ke Samsu, Nurbaya menyatakan bahwa mereka tidak dapat bersama lagi. Namun, setelah muak dengan watak Meringgih yang kasar itu, Nurbaya melarikan diri ke Batavia supaya bisa bersama Samsu; mereka akhirnya menjalin cinta kembali. Pelarian Nurbaya ini dilakukannya setelah Sulaiman meninggal. Pelarian Nurbaya tidak berjalan mulus, Datuk Meringgih kembali melancarkan rencana jahatnya dengan menuduh Nurbaya membawa hartanya ke Jakarta. Nurbaya pun harus kembali ke Padang untuk menyelesaikan tuduhan tersebut. Sekembalinya Nurbaya ke Padang, Datuk Meringgih pun melancarkan rencana jahatnya dan membunuh Sitti Nurbaya dengan cara meracuninya. Mendapati kekasihnya meninggal, gairah hidup Samsu pun lenyap, dia pun berusaha bunuh diri menggunakan pistol, namun tidak berhasil. Samsu kemudian mengganti namanya menjadi Mas--kebalikan dari Sam, nama panggilan Samsu--dan bergabung menjadi prajurit kolonial. Oleh karena tidak memiliki alasan untuk hidup sebab wanita yang dicintainya (ibunya dan Sitti Nurbaya) telah meninggal, dia pun tidak mempedulikan keselamatan. Setiap ditugaskan ke medan perang, Samsu berharap bisa mati sehingga dapat bergabung dengan ibunya dan Nurbaya di alam kubur. Namun sayang, usaha "bunuh diri" Samsu tidak tersampaikan, dia justru berhasil mengalahkan musuh-musuhnya sehingga dipandang sebagai prajurit berprestasi dan mendapat pangkat letnan.
 
Sepuluh tahun setelah peristiwa Samsu bunuh diri pasca-kematian Nurbaya, Meringgih memimpin suatu revolusi melawan pemerintah [[Hindia Belanda]] sebagai protes atas kenaikan pajak. Samsu ditugaskan ke Padang untuk menumpas Meringgi. Dalam peperangan ini, Samsu menemukan dan membunuh Meringgih, tetapi dia sendiri terluka berat. Setelah bertemu dengan ayahnya dan memohon maaf, dia meninggal.
Baris 55:
: Datuk Meringgih adalah antagonis utama dari novel. Dia seorang pedagang yang dibesarkan di keluarga yang miskin, lalu menjadi kaya setelah masuk ke dunia kriminal. Balfas menyatakan bahwa dorongan utama Meringgih dalam cerita ialah rasa iri dan keserakahan, sebab dia tidak dapat "menerima bahwa ada yang lebih kaya daripada dia".{{sfn|Balfas|1976|p=53}} Balfas beranggapan bahwa Meringgih adalah tokoh yang "digambarkan dengan hitam dan putih, tetapi mampu untuk menyebabkan konflik di sekitarnya".{{sfn|Balfas|1976|p=54}} Menjelang akhir novel, Meringgih menjadi "pejuang pasukan anti-kolonialis", didorong oleh keserakahannya; menurut Foulcher, gerakan anti-kolonialis ini kemungkinan besar bukanlah usaha untuk memasukkan komentar anti-Belanda.{{sfn|Foulcher|2002|p=98}}
 
== Gaya penulisan ==
Menurut Bakri Siregar, [[diksi]] dalam ''Sitti Nurbaya'' tidak mencerminkan gaya bahasa Marah Rusli sendiri, melainkan bahasa Melayu dengan "gaya Balai Pustaka", yang diwajibkan penerbit itu. Akibatnya, gaya Rusli yang dipengaruhi sastra lisan itu, yang sering mengabaikan perkembangan alur untuk menjelaskan sesuatu "menurut kesenangan dan selera hati [penulis]", dianggap kurang.{{sfn|Siregar|1964|pp=51–52}}
 
Baris 71:
Pesan utama dari novel disampaikan dengan dialog panjang antara tokoh-tokoh dengan dikotomi moral, untuk menunjukkan alternatif dari pendirian penulis dan, dengan demikian, "menunjukkan alasan yang jelas mengapa penulis itu benar". Namun, pandangan yang "benar" (punyua penulis) ditunjukkan dengan kedudukan sosial dan moral tokoh yang mengajukan pandangan tersebut.{{sfn|Foulcher|2002|pp=96–97}}
 
== Tema ==
''Sitti Nurbaya'' cenderung dianggap mempunyai tema anti-pernikahan paksa, atau menjelaskan perselisihan antara nilai Timur dan Barat.{{sfn|Balfas|1976|p=53}} Novel ini juga pernah dinyatakan sebagai suatu "monumen perjuangan pemuda-pemudi yang berpikiran panjang" melawan adat.{{sfn|Foulcher|2002|pp=88–89}} Namun, menurut Balfas tidaklah adil apabila ''Sitti Nurbaya'' dianggap hanya sebuah cerita tentang kawin paksa, sebab hubungan antara Nurbaya dan Samsu dapat diterima masyarakat.{{sfn|Balfas|1976|p=54}} Dia menegaskan bahwa novel ini merupakan perbandingan pandangan Barat dan tradisional terhadap pernikahan, yang dilengkapi dengan kritik sistem [[mas kawin]] dan [[poligami]].{{sfn|Balfas|1976|p=55}}
 
== Penerimaan ==
Keluarga Rusli tidak menerima novel ''Sitti Nurbaya'' dengan baik. Dalam sepucuk surat, ayahnya telah mengutuk Rusli, sehingga Rusli tidak pernah kembali ke Padang.{{sfn|Foulcher|2002|p=101}} Novelnya yang berikutnya, ''[[Anak dan Kemenakan]]'' (1958) bahkan lebih kritis terhadap kekakuan generasi sebelumnya.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|2007|p=131}}
 
Baris 85:
''Sitti Nurbaya'' telah mengilhami berbagai penulis, termasuk [[Nur Sutan Iskandar]], yang menyatakan bahwa dia menulis ''[[Apa Dayaku Karena Aku Perempuan]]'' (1924) sebagai akibat membaca novel Rusli itu; novelnya yang berikutnya, ''[[Cinta yang Membawa Maut]]'' (1926), juga mempunyai tema yang sama. Alur cerita ''Sitti Nurbaya'' sering didaur ulang, sehingga Balfas beranggap bahwa cerita yang mirip menggunakan "rumus {{'}}''Sitti Nurbaya''{{'}}".{{sfn|Balfas|1976|p=55}}
 
== Adaptasi ==
''Sitti Nurbaya'' sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk [[bahasa Malaysia]] pada tahun 1963.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|2007|p=8}} Novel ini sudah dijadikan [[sinetron]] dua kali. Yang pertama, yang keluar pada tahun 1991, disutradarai [[Dedi Setiadi]] dan dibintangi [[Novia Kolopaking]] sebagai Nurbaya, [[Gusti Randa]] sebagai Samsu, dan [[HIM Damsyik]] sebagai Meringgih.{{sfn|Eneste|2001|p=48}}{{sfn|KapanLagi 2004, Audisi}} Yang kedua, yang keluar pada Desember 2004, diproduseri [[MD Entertainment]] dan ditayangkan di [[Trans TV]]. Disutradarai oleh [[Encep Masduki]] dan dibintangi [[Nia Ramadhani]] sebagai Nurbaya, [[Ser Yozha Reza]] sebagai Samsu, dan [[Anwar Fuady]] sebagai Meringgih, sinetron ini memperkenalkan tokoh baru sebagai persaingan Nurbaya untuk cinta Samsu.{{sfn|KapanLagi 2004, broadcast}}
 
Pada tahun 2009, ''Sitti Nurbaya'' menjadi salah satu dari delapan karya sastra Indonesia klasik yang dipilih oleh penyair [[Taufik Ismail]] untuk dicetak ulang dalam edisi khusus Indonesian Cultural Heritage Series; ''Sitti Nurbaya'' diberi sampul berdesain kain Minang.{{sfn|Febrina|2009}}{{sfn|Veda|2009}} Artis [[Happy Salma]] dipilih sebagai ikon selebritis novel ini.{{sfn|Jakarta Post 2009, Happy Salma}}
 
== Referensi ==
; Catatan kaki
{{reflist