Pembicaraan:Raden Wijaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Antapurwa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 67:
kembali ke permasalahan awal, memang betul bahwa raden Wijaya itu keturunan Arok-dedes. ia memang justru darah murni Arok Dedes, bukan seperti penguasa-penguasa Singosari terdahulu yang didominasi konflik keturunan Tunggul Ametung-dedes dengan Arok-Umang. tetapi bahwa Wijaya keturunan Arok hal itu tidak bisa menjadi bukti untuk mengambil kesimpulan bahwa Dyah Lembu Tal adalah Laki-laki karena dihubungkan dengan garis darah laki-laki yang dianut di Jawa. prasasti Balawi bukanlah rujukan valid untuk membuktikan bahwa Lembu Tal adalah laki-laki. prasasti itu keluar demi legitimasi kekuasaan dan tentunya telah disesuaikan kepentingan, sama halnya misalnya Balitung membuat prasasti Mantyasih yang menyebut pangkal penguasaan tanah Jawa (tengah) pada sosok Sanjaya. itu juga demi legitimasi.
kenapa Wijaya (jika menganut tafsir bahwa ia keturunan Sunda )tidak menyebut sama sekali bahwa ia keturunan Sunda, hal ini juga bisa dianalisa bahwa jelas ia tak mungkin menyebut ia putra rakryan jayadara dari Sunda padahal ia mendirikan kerajaan di Jawa Timur. Wijaya jelas ingin menunjukkan bahwa ia pewaris sah negeri Singosari yang telah runtuh. untuk itulah ia menyebut Arok sebagai pangkal garis darahnya. sangat riskan ia menyebutkan sesuatu yang "berbau" Sunda kala itu karena mungkin sekali beberapa bawahannya akan "mempertanyakan" kekuasaannya atas tanah jawa (bagian timur). hal ini bisa dicontohkan (jika menarik waktu jauh ke belakang lagi)pada kasus Airlangga, menantu Darmawangsa, yang ikut terkena dampak "pralaya". kala Airlangga selamat dan mendirikan kerajaan Kahuripan, ia juga menarik garis pangkal pada "trah" Darmawangsa yang masih keturunan Mpu Sendok itu (lihat pada nama abiseka Airlangga saat diangkat jadi raja "Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa"). Airlangga tidak mungkin akan menyebutkan bahwa ia putra dari wangsa Marwadewa dari Bali. Hal itu juga demi legitimasi kekuasaan. jadi penyebutan nama raja (pendahulu)sebagai pangkal dari kekuasaan seorang raja itu selalu disesuaikan dengan kepentingan, dimana sang raja itu mendirikan kerajaannya.
 
== Kesalahan Penerjemahan Ketut Riana (?) ==
 
Kalimat dalam Nagarakretagama yang berbunyi : “sri narasinghamurttyaweka ri dyah lembu tal susrama sang wireng laga dhinarmma ri mireng boddha pratista pageh” diterjemahkan oleh Prof Ketut Riana begini : “Sri Narasinghamurti ayah Dyah Lembu Tal yang terpuji, pemberani dalam pertempuran diabadikan di mireng dalam wujud arca Buddha”.
 
Sehingga rancu, seolah-olah gelar Sang Wireng Laga adalah milik Narasinghamurti.
 
Padahal kata "aweka" itu artinya "berputra", bukan "ayah".
 
Harusnya, kalimat : “sri narasinghamurttyAWEKA ri dyah lembu tal susrama sang wireng laga dhinarmma ri mireng boddha pratista pageh”
 
diterjemahkan : “Sri Narasinghamurti BERPUTRA Dyah Lembu Tal terpuji yang pemberani dalam pertarungan dan didharmakan di Mireng dengan arca Buddha ditegakkan di sana.”
 
Dengan demikian, jelas sudah kalau "yang terpuji sebagai sang wireng laga" adalah Lembu Tal, bukan Narasinghamurti. Lagipula dalam tradisi Jawa, tidak ada perempuan yang diberi nama Lembu. Karena nama Lembu, Kebo, Mahisa, Gajah, Kuda, itu semua gelar kehormatan untuk laki-laki karena melambangkan kejantanan dan keberanian.
 
Lembu Tal, Lembu Sora, Lembu Nala, Lembu Amiluhur, Lembu Peteng, Lembu Amijaya, Kebo Anabrang, Kebo Hijo, Kebo Kanigara, Kebo Kenanga, Mahisa Mundarang, Mahisa Anengah, Kebo Arema, Gajah Mada, Gajah Pagon, Gajah Biru, Kuda Amerta, semuanya adalah laki-laki. Salam [[Antapurwa]]
Kembali ke halaman "Raden Wijaya".