Rini Soemarno: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tian x-way (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
k Bot: Penggantian teks otomatis (- di tahun + pada tahun, -Di tahun +Pada tahun) |
||
Baris 43:
Pada masa kecilnya, Rini pernah berpindah Amerika Serikat, Jakarta, dan Belanda karena tugas ayahnya. Rini mendalami studi ekonomi di Wellesley College, Masschusetts, Amerika Serikat pada tahun 1981. Setelah lulus, Rini sempat magang di Departemen Keuangan Amerika Serikat dan memulai karirnya dengan bekerja di Citibank Jakarta pada tahun 1982.
Ayahnya, [[Soemarno (menteri)|Soemarno]], merupakan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan Kabinet Kerja III periode 1960-1962.
== Karier ==
Tahun 1982, setelah mendapat kesempatan bekerja magang di Departemen Keuangan AS, Rini memutuskan kembali ke Indonesia. Rini bekerja di Citibank Jakarta. Karirnya terus melesat hingga menggapai kursi Vice President yang menangani Divisi Coorporate Banking, Marketing and Trainning. Sukses di Citibank tak membuat Rini lantas berpangku tangan malah menginginkan tantangan yang lebih besar. Karena itu, pada 1989 ia kemudian memilih pindah ke PT Astra Internasional untuk dapat terus mengembangkan dirinya. Dengan filosofi ingin berkarya sebaik mungkin, Rini terus mendaki tangga sukses. Tahun 1990 karirnya di Astra Internasional berbintang terang. Tahun itu ia dipercaya William Soeryadjaya, komisaris perusahaan itu, menduduki kursi Direktur Keuangan Astra Internasional sampai 1998.
Awal 1998, Rini ditarik ke jajaran birokrasi. Ia dipilih Menteri Keuangan saat itu, Fuad Bawazier, untuk membantunya menjadi asisten bidang Hubungan ekonomi Keuangan Internasional.
Rini kembali ke Astra saat perusahaan itu mengalami badai krisis ekonomi hampir membuat karam. Kerugian induk perusahaan otomotif terbesar di Indonesia itu pada semester pertama 1998 mencapai Rp 7,36 trilliun. Ketika itu, jika berkaca pada laporan Presiden Direktur Astra dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSBL) 8 Februari 1998, boleh dibilang perusahaan itu sudah bangkrut. Sahamnya sendiri di Bursa Efek Jakarta hanya bernilai Rp 225,- per lembar saham pada September 1998. Bandingkan dengan saat go public menjelang akhir 80-an yang mencapai belasan ribu rupiah.
|