Isostasi (Bahasa Yunani ísos "sama", stásis "berhenti") atau keseimbangan isostatik adalah keadaan dimana keseimbangan gravitasi antara kerak bumi (atau litosfer) dan mantel secara sedemikian rupa. Sehingga kerak bumi dapat mengapung pada ketinggian tertentu dengan bergantung pada ketebalan dan kepadatannya. Konsep ini menjelaskan bagaimana ketinggian topografi yang berbeda dapat muncul di permukaan bumi. Meskipun awalnya didefinisikan dalam istilah kerak dan mantel benua,[1] lapisan ini kemudian ditafsirkan dalam istilah litosfer dan astenosfer, terutama yang berkaitan dengan gunung berapi pulau dan samudera,[2] seperti yang terdapat di Kepulauan Hawaii.

Isostasi pertama kali dikenalkan oleh seorang ahli geologi Amerika Serikat, C.E. Dutton, dari kata Yunani yang berarti "dalam kesamaan tekanan". Secara istilah, isostasi adalah suatu kesetimbangan atau keberimbangan antara batuan-batuan berat dan ringan dalam kerak bumi. Selama belum tercapai keseimbangan, kerak bumi akan bergerak mencari keseimbangannya.

Isostasi adalah kondisi keseimbangan gravitasi antara lapisan kerak bumi dan mantel yang mengakibatkan kerak seolah "mengapung" di atas mantel. Konsep isostasi menjelaskan mengapa ada perbedaan ketinggian topografi bumi.

Efek Isostasi sunting

Efek dari gaya isostasi dapat dianalogikan seperti gunung es yang mengapung di lautan. Bila massa es bertambah ke atas, gunung es akan semakin tenggelam ke dalam air. Sebaliknya, bila massa es dalam gunung dikurangi, gunung es akan semakin naik dari dalam air. Hal ini juga terjadi pada litosfer bumi yang mengapung di atas astenosfer. Menurut konsep isostasi, material kerak bumi mengapung karena kesetimbangan antara berat material dengan gaya ke atas yang dikerjakan oleh lapisan fluida. Dalam teori tektonik lempeng, lapisan luar bumi (litosfer) terdiri dari kerak bumi dan bagian padat mantel atas sampai kedalaman kira-kira 80 km. Material di bawah litosfer dianggap cukup panas, sehingga mudah dibentuk ulang dan mampu mengalir yang kemudian dinamakan astenosfer.

Dari bukti seismik (metode eksplorasi yang didasarkan pada pengukuran respon gelombang seismik (suara) yang dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian direleksikan atau direfraksikan sepanjang perbedaan lapisan tanah atau batas-batas batuan) diketahui bahwa kerak benua (tebal 30–40 kilometer) 68 kali lebih tebal daripada kerak oseanik (5 km). Kerak benua juga punya densitas yang lebih rendah (2,7 g/cc) dibandingkan kerak oseanik (2,9 g/cc). Akibatnya, karena prinsip isostasi, kerak benua yang lebih tebal dan lebih ringan harus duduk lebih tinggi daripada kerak oseanik yang lebih tipis dan lebih berat.

Hipotesis sunting

Terdapat dua hipotesis yang terkenal dikalangan ahli geologi, yaitu Hipotesis Pratt dan hipotesis Airy.

Pratt mengatakan bahwa massa benua lebih tinggi daripada massa dasar laut, tetapi densitas batuan yang menyusun dasar laut lebih besar daripada densitas batuan di benua. Dengan kata lain adanya perbedaan ketinggian antara benua dan dasar laut adalah karena perbedaan kepadatan batuan yang menyusun kerak bumi di kedua bagian bumi tersebut. Ketinggian dikompensasikan oleh densitas batuan.

Pratt memberikan ilustrasi dengan menggunakan berbagai logam yang tidak sama berat jenisnya tetapi berat dan penampangnya dibuat sama, kemudian diapungkan di dalam air raksa. Ternyata logam yang berat jenisnya lebih besar hanya sedikit tersembul di atas permukaan air raksa, sedang logam yang berat jenisnya kecil banyak tersembul di atas permukaan air raksa.

Airy mengemukakan hipotesisnya pada tahun 1855 dengan jalan pikiran yang agak berbeda dengan Pratt. Airy membenarkan bahwa batuan yang menyusun kerak bumi tidak sama densitasnya, tetapi perbedaan densitas batuan tidak terlalu besar untuk menghasilkan perbedaaan ketinggian permukaan bumi yang sedemikian besarnya. Airy memberikan ilustrasi yang mirip dengan ilustrasi Pratt, hanya menggunakan logam yang sejenis, penampangnya juga dibuat sama tetapi tebalnya tidak sama. Setelah logam dimasukkan kedalam air raksa, ternyata logam yang lebih tebal tersembul lebih tinggi di atas permukaan air raksa daripada logam yang tipis. Dengan demikian Airy berkesimpulan bahwa perbedaan ketinggian permukaan bumi bukan disebabkan oleh perbedaan densitas batuan tetapi akibat dari perbedaan tebal lapisan kerak bumi. Itulah sebabnya hipotesis Airy ini sering pula disebut the Roots of Mountains hypothesis of isostation. Pendapat Airy ini lebih banyak dianut oleh para ahli geologi, tetapi tidak berarti bahwa pendapat Pratt salah. Densitas batuan penyusun kerak bumi memang tidak sama, demikian juga tidak semua pegunungan akarnya jauh masuk kedalam bumi. Dengan demikian keduanya saling melengkapi. Leon Long memberikan penilaian 65% untuk Airy dan 35% untuk Pratt.

Referensi sunting

  1. ^ 33.Spasojevic, S., and Gurnis, M., 2012, Sea level and vertical motion of continents from dynamic Earth models since the Late Cretaceous: American Association of Petroleum Geologists Bulletin, v. 96, no. 11, p. 2037–2064.
  2. ^ 13. Foulger, G.R., Pritchard, M.J., Julian, B.R., Evans, J.R., Allen, R.M., Nolet, G., Morgan, W.J., Bergsson, B.H., Erlendsson, P., Jakobsdottir, S., Ragnarsson, S., Stefansson, R., Vogfjord, K., 2000. The seismic anomaly beneath Iceland extends down to the mantle transition zone and no deeper. Geophys. J. Int. 142, F1–F5.