Isinga: Roman Papua

Isinga: Roman Papua adalah judul novel karya sastrawati Dorothea Rosa Herliany yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2015. Buku setebal 218 halaman dengan nomor ISBN 978-6020-312-62-0 ini mengantarkan Dorothea memenangi penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa dalam kategori Prosa pada tahun 2015, bersamaan dengan Joko Pinurbo yang juga mendapatkan penghargaan serupa dalam kategori Puisi, melalui bukunya Surat Kopi.[1][2][3][4]

Isinga: Roman Papua
PengarangDorothea Rosa Herliany
Ilustrator-
Perancang sampul-
BahasaIndonesia Indonesia
GenreRoman
PenerbitGramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit
2015
Halaman218
ISBNISBN 978-6020-312-62-0

Latar belakang sunting

Buku ini merupakan novel berlatar Papua yang masih berbicara tentang ketertindasan perempuan. Wanita mengalami kesengsaraan akibat kepercayaan adat dalam rangka melestarikan dogma patriarki dan diskriminasi. Dorothea Rosa Herliany menghadirkan panggung imajinasi Papua lewat penerbitan novel Isinga; Roman Papua (2015). Novel ini mengajak pembaca menjelajahi semesta Papua lewat tragedi percintaan yang dialami Meage dan Irewa dengan latar belakang konflik sosial-kultural, isu gender, dan aktivisme. Kisah percintaan sebagai siasat menampilkan uraian etnografis-sosiologis tanah Papua.

Cerita bermula ketika Meage dan Irewa, dua anak muda kampung Aitubu, menjalin cinta. Meage ingin sekali meminang Irewa. Berbagai ritual adat sudah dilakukan Meage demi mendapat restu calon mertua. Namun tak disangka, Malom, seorang pemuda dari kampung Hobone, terpikat juga kepada Irewa. Tali kasih telanjur tertambat pada Meage, Irewa pun menolak pinangan Malom. Tak terima pinangannya ditolak, Malom nekat menculik Irewa. Tindakan ini memicu perang tak berkesudahan antara kampung Aitubu dan Hobone. Perang berkepanjangan pada akhirnya sampai di titik terjenuh. Pihak Hobone mengambil inisiatif mengajukan tawaran perdamaian agar warga Aitubu merestui Irewa dipersunting Malom. Irewa dipilih untuk “ditumbalkan” sebagai yonime: juru damai dari dua adat yang bertikai.

Salah satu ketentuan dalam adat itu menyebutkan bahwa perempuan dapat menolak laki-laki saat dilamar. Tapi dia tak dapat menolak mana kala diminta oleh seluruh penghuni perkampungan demi kepentingan perdamaian. Irewa tak kuasa melawan kehendak adat. Sejak pertunangan itu Irewa menapaki babak baru dalam hidupnya: hari-hari yang panjang sebagai pesakitan. Menjadi jurudamai berarti mendermakan diri pada kepentingan adat. Kepatuhan pada adat ikut melanggengkan kewenangan suami atas istri. Hasrat Malom untuk memiliki banyak anak berakibat fatal pada Irewa. Tugas Irewa sebagai istri bekerja di ladang, hamil, dan melahirkan. Tak peduli tubuh lungkrah dan lemah. Hampir setengah dari buku ini mengisahkan malapetaka hidup Irewa di bawah jeratan kekerasan dan penindasan Malom.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Kusala Sastra Khatulistiwa Daftar Pemenang Diarsipkan 2015-02-23 di Wayback Machine., diakses 3 Februari 2017
  2. ^ Wisata Buku Mengorek Luka Perempuan Tanah Papua Diarsipkan 2016-03-22 di Wayback Machine., diakses 3 Februari 2017
  3. ^ Buku Kita Isinga: Roman Papua, diakses 3 Februari 2017
  4. ^ Serat Pena Isinga: Roman Papua, diakses 3 Februari 2017