Ipuh
Ipuh, Antiaris toxicaria
dari Serengkah Kiri, Tumbang Titi, Ketapang
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
(tanpa takson):
(tanpa takson):
(tanpa takson):
Ordo:
Famili:
Tribus:
Genus:
Antiaris

Lesch.
Spesies:
A. toxicaria
Nama binomial
Antiaris toxicaria
Sinonim

Antiaris africana Engl.
Antiaris macrophylla R. Br.
Antiaris welwitschii Engl.

Ipuh, ipoh atau upas (Antiaris toxicaria) adalah sejenis pohon anggota suku Moraceae. Pada masa lalu, pohon ini sangat terkenal karena getahnya yang sangat beracun, yang digunakan untuk meracuni mata panah (Gr. toxicon: racun panah). Selain itu, ipuh juga menghasilkan serat dari pepagannya, yang digunakan sebagai bahan pakaian orang zaman dahulu.[2]

Nama-nama lainnya di antaranya tengis, tatai, ketatai (Mly.); ancar, upas (Jw.); pancar, balung (Md.); ipo (Mak., Bug.); gado (Gal.).[2] Nama marganya, Antiaris, berasal dari namanya dalam bahasa Jawa yang ditulis menurut ejaan lama: antjar.[3]

Pengenalan sunting

 
Pelat botani dari Gilg & Schumann (1900an)

Pohon berukuran sedang hingga besar; tinggi mencapai 45(-60) m, batang bebas cabang hingga 23 m dan gemang batang hingga 180 cm; kadang-kadang dengan banir sempit setinggi 3 m.[4] Pepagan putih keabu-abuan, halus dan sedikit memecah. Pepagan bagian dalam pucat kekuningan; lateksnya berwarna kuning krem, yang segera menjadi kecoklatan dan menggumpal berbutir bila kena udara.[3][5]

Ranting-ranting tebalnya 2-3 mm, berambut abu-abu keputihan. Daun penumpu 3–4 mm, berambut kuning. Daun-daun tunggal, berseling, tebal seperti kertas, jorong lonjong, 6-20 × 3,6-8,5 cm; tulang daun sekunder berjumlah 8-14 pasang; ujung daun meruncing hingga membundar; tepinya rata; pangkalnya membundar, kadang-kadang seperti jantung, umumnya tak-simetris; bertangkai 2–10 mm, berambut kuning-jingga, beralur di sisi atasnya.[3][5]

Bunga jantan dalam bongkol yang cekung, garis tengah lk. 1,25 cm, bertangkai 0,8 cm, berkumpul 2-4 bongkol sekali. Bunga betina tidak dalam bongkol, namun berkumpul di ketiak. Buah berbentuk pir, garis tengah lk. 1,25 cm, merah kemudian menghitam jika masak. Biji tunggal.[3][5]

Kegunaan sunting

 
Ranting-ranting

Ipuh menghasilkan kayu ringan yang dalam perdagangan digolongkan sebagai kayu terap. Densitas kayunya tercatat antara (250–)390 – 540 kg/m3 pada kadar air 15%. Kayu ini umumnya digunakan dalam konstruksi ringan, interior bangunan, furnitur, panil kayu, penutup lantai, kotak pengemas, venir, dan kayu lapis. Salah satu produsen kayu ipuh adalah Papua Nugini, yang pada 1996 tercatat mengekspor 6.570 m3.[4]

Lateks yang dihasilkannya, pada salah satu forma sangat beracun, sementara pada forma yang lainnya kurang atau tidak beracun sama sekali. Pada masa silam, getah ipuh ini digunakan sebagai racun panah dalam peperangan, atau sebagai racun sumpit untuk berburu.[2] Namun, getah yang dihasilkan oleh akar ipuh masih dipergunakan di pedalaman Kalimantan Barat untuk meracun ikan. Sesungguhnya, racun yang berasal dari akar ipuh tidak terlalu beracun apabila digunakan untuk memancing ikan. Karena, setelah ditangkap, ikan langsung dicuci dahulu sebelum dimanfaatkan. Pemerintah Kalimantan Barat, kini sudah melarang penggunaan ipuh untuk meracun ikan.

Pepagan ipuh menghasilkan bahan pewarna.[4] Pepagan bagian dalam dari pohon yang muda, oleh orang-orang pedalaman diolah menjadi serat yang sifatnya menyerupai kain linen kasar.[2]

Buahnya dapat dimakan. Biji, dan beberapa bagian tumbuhan yang lain digunakan sebagai bahan obat tradisional; biji ipuh dimanfaatkan sebagai anti-disentri.[4]

Ekologi dan penyebaran sunting

 
Pepagan dan trubusan

Ipuh adalah pohon hutan primer yang menyebar jarang-jarang hingga ketinggian 1.500 m dpl. Kadang-kadang ditemui di sabana berumput dan dataran tinggi pesisir. Di Afrika, ipuh juga tumbuh di daerah semi-arid.[4]

Pohon ini diketahui menyebar luas mulai dari Afrika Barat, Madagaskar, India, Srilanka, Tiongkok selatan, Indochina, melintasi Nusantara hingga ke Pasifik (sampai ke Fiji dan Tonga) dan Australia utara.[4]

Catatan taksonomis sunting

Antiaris adalah marga monotipik.[4]

Referensi sunting

  1. ^ Ann. Mus. Hist. Nat. Paris 16 (1810): 478
  2. ^ a b c d Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 2: 684-685. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta.
  3. ^ a b c d Kochummen, K.M. 1978. Moraceae. In Ng, F.S.P. (ed.) Tree Flora of Malaya vol. 3: 120. Longman.
  4. ^ a b c d e f g Boer, E. & M.S.M. Sosef. 1998. Antiaris Lesch. in Sosef, M.S.M., L.T. Hong, & S. Prawirohatmodjo (eds.) Timber trees: Lesser-known timbers. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) 5(3): 73-75.
  5. ^ a b c Argent, G. et al.. t.t. Manual of the Larger and More Important Non-Dipterocarp Trees of Central Kalimantan, Indonesia. Vol. 2: 429-430. Forest Institute, Samarinda.

Pranala luar sunting