Harian Indonesia Raya

(Dialihkan dari Indonesia Raja)

Harian Indonesia Raya adalah surat kabar nasional yang mengalami dua kali masa penerbitan, yakni pada masa pemerintahan Orde Lama dan masa Orde Baru.[1] Pada kedua masa pemerintahan tersebut harian Indonesia Raya mengalami larangan terbit.[1] Selama masa penerbitan pertama 1949-1968, lima wartawannya pernah ditahan selama beberapa hari, bahkan ada yang sampai satu bulan.[1] Pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis, menjadi tahanan rumah dan dipenjarakan selama sembilan tahun tanpa proses peradilan.[1]

Mochtar Lubis, pemimpin redaksi Indonesia Raya

Pertama kali Indonesia Raya tutup, ketika di dalam perusahaan terjadi konflik internal antara ketiga pemegang saham, yaitu Mochtar Lubis, Hasjim Mahdan, dan Sarhindi.[1] Mochtar Lubis ingin tetap bersikap kritis terhadap pemerintah, sementara dua lainnya menginginkan "sikap netral".[1] Kedua pemegang saham terakhir ini berhasil memperoleh Surat Izin Terbit (SIT) tanggal 7 Oktober 1958.[1] Para wartawan pengasuh harian itu seluruhnya wajah baru, karena semua wartawan Indonesia Raya lama mendukung pendirian Mochtar Lubis.[1] Indonesia Raya baru ini hanya berumur kurang dari tiga bulan karena kehilangan para pelanggan.[1]

Masa penerbitan kedua selama lima tahun (1968-1974).[1] Pada masa pemerintahan Orde Baru, atau pada tanggal 30 Oktober 1968, harian Indonesia Raya kembali terbit.[1] Sebagian wartawan dan staf tata usaha Indonesia Raya generasi pertama mengasuh kembali harian ini di bawah pimpinan Mochtar Lubis sebagai pemimpin umum merangkap pemimpin redaksi.[1] Selama 10 bulan pertama penerbitannya berbentuk tabloid, dan baru pada tanggal 1 September 1969 diubah ke dalam ukuran standar.[1]

Demonstrasi mahasiswa di Jakarta selama kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, antara tanggal 14 malam hingga 17 pagi Januari 1974, dan berakhir dengan apa yang disebut Peristiwa Malari, berekor larangan terbit tanpa batas waktu terhadap sebelas surat kabar dan satu majalah berita.[1] Termasuk di antaranya harian Indonesia Raya, yang mengalami pencabutan Surat Izin Cetak tanggal 21 Januari 1974 dan Surat Izin Terbit dua hari kemudian.[1] Selama periade ini pun dua pimpinannya mengalami penahanan, Mochtar Lubis selama hampir 2,5 bulan, dan wakil pemimpin redaksi Enggak Bahau'ddin selama hampir satu tahun.[1] Keduanya disangka terlibat Peristiwa Malari, tetapi kemudian dibebaskan tanpa syarat.[1]

Nama Indonesia Raya sendiri berasal dari saran Teuku Sjahril ketika mengunjungi rumah Mochtar Lubis, tetangganya, pada saat itu surat kabar ini hendak diterbitkan.[2]

Selain itu, harian Indonesia Raya adalah salah satu media di Indonesia yang banyak dinilai fenomenal dalam pelaporan investigasi.[3] Harian ini juga bersifat muckraking paper, yaitu surat kabar yang melakukan penyidikan mengenai kasus korupsi atau tuduhan korupsi oleh pejabat pemerintah atau pengusaha dan menyiarkannya dengan kritis.[3] Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974) bisa dikatakan tipikal awal penerbitan pers yang mengarahkan liputannya ke dalam bentuk investigasi.[3]

Sejarah sunting

Periode Pertama sunting

Indonesia Raya pertama kali terbit sebagai surat kabar di Jakarta pada 29 Desember 1949, atau dua hari setelah penandatanganan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949.[4]

Pemimpin Redaksi yang pertama adalah Hiswara Darmaputera, sedangkan pemimpin umum dijabat oleh Jullie Effendie.[4] Namun, baru menjabat setahun Hiswara dan Jullie mengundurkan diri.[4] Kemudian jabatan Pemimpin Redaksi digantikan oleh Mochtar Lubis sejak Agustus 1950.[4]

Pada tahun pertamanya, Indonesia Raya banyak menyajikan berita-berita politik, baru kemudian dalam perkembangannya sejak Agustus 1950, harian ini juga menyajikan berita-berita budaya, ekonomi, dan sosial.[2] Pada periode pertama ini, harian Indonesia Raya menyoroti lima isu pokok dalam editorialnya, yaitu peristiwa 17 Oktober 1952, penahanan Roeslan Abdulgani, peristiwa pergerakan di daerah luar Pulau Jawa, pernikahan Presiden Soekarno dengan Hartini, dan Penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) berupa penyediaan “Komite Ramah Tamah”, yang ditulis oleh harian ini sebagai prostitusi terselubung.[2]

Oplah harian Indonesia Raya saat itu mencapai 5000 eksemplar.[5] Namun, saat pergantian pimpinan Umum dari Jullie Effendie kepada Hasjim Mahdan, oplah turun menjadi 3500 eksemplar.[5] Peningkatan jumlah oplah terjadi pada akhir 1956, saat terjadi pergerakan di daerah-daerah luar Pulau Jawa yang pemberitaannya memenuhi halaman surat kabar ini.[5] Tercatat pada akhir 1958 oplah harian Indonesia Raya mencapai 47.500 eksemplar.[5]

Periode Kedua sunting

Periode kedua ini ditandai dengan keluarnya Mochtar Lubis dari rumah tahanan dan perdamaian antara Hasjim Mahdan dengan Mochtar Lubis.[2] Penyajian isi periode kedua ini seperti periode pertama, yakni dibagi per rubrik, halaman pertama diisi dengan berita-berita utama, baik dalam maupun luar negeri, kemudian halaman kedua untuk berita-berita ekonomi, perdagangan, dan berita seputar Ibu kota atau daerah.[2] Halaman ketiga dipakai untuk tulisan-tulisan opini, editorial, serta pojoknya yang khas yaitu “Mas Kluyur", dan surat pembaca, sementara halaman keempat khusus untuk iklan.[2]

Oplah harian Indonesia Raya pada awal penerbitan periode kedua ini sebanyak 20.000 eksemplar per hari, kemudian meningkat menjadi 22.000 pada 1969.[2] Kenaikan oplah ini terjadi saat Indonesia Raya sedang gencar mengkritik masalah korupsi perusahaan minyak negara, yaitu Pertamina.[2] Oplah harian Indonesia Raya pada tahun-tahun berikutnya adalah 26.000 pada tahun 1971, lalu turun menjadi 23.000 pada 1972, dan 20.000 pada Januari-Mei 1973.[2]

Pada periode ini harian Indonesia Raya banyak mengkritisi isu nasional, yaitu Proyek Miniatur Indonesia, korupsi dan manipulasi, tentang pemuda dan mahasiswa, keadaan politik nasional, tentang kesenjangan sosial dan strategi pembangunan ekonomi, peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, tentang modal Jepang di Indonesia, serta peristiwa 15 Januari 1974 yang berbuntut kepada penahanan Mochtar Lubis.[2] Harian Indonesia Raya secara resmi ditutup sejak dikeluarkan pencabutan Surat Izin Terbit (SIT) pada 22 Januari 1974 oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika, Departemen Penerangan.[2] Pencabutan Surat Izin Cetak (SIC) oleh Pelaksana Khusus Panglima Komando Operasi Pemulihan dan Keamanandan Ketertiban Daerah Jakarta Raya dan Sekitarnya (Lak-sus Pangkopkamtibda Jakarta Raya).[2]

Pemberedelan-pemberedelan terhadap Indonesia Raya sunting

Dalam sejarah pers Indonesia pasca kemerdekaan, Indonesia Raya menempati posisi unik karena berkali-kali diberedel, baik pada masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Surat kabar ini dinilai kontroversial karena cara penyajian beritanya yang sering tanpa kompromi, karena kritik-kritiknya yang tajam, terbuka, dan langsung. Harian ini rajin memberitakan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan dan ketidakbenaran, serta sikap feodalisme.[6]

Keunikan lain Indonesia Raya adalah fakta bahwa mereka tidak partisan, yang tidak terikat dengan partai atau golongan tertentu.[7] Ini membedakan mereka dengan Harian Rakyat (yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia/PKI), Pedoman (Partai Sosialis Indonesia/PSI), Suluh Indonesia (Partai Nasionalis Indonesia/PNI), atau Abadi (Partai Masyumi).

Saat sembilan tahun terbit (1949–1958) pada masa pemerintahan Soekarno, lima wartawannya pernah dipenjara antara beberapa hari hingga satu bulan. Pemimpin umum dan pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis, pernah mengalami berbagai macam penahanan dan pemeriksaan hampir terus-menerus dalam kurun sembilan tahun. Surat kabar ini mengalami enam kali pemberedelan yang seluruhnya terjadi selama 1957–1958.[8]

Di masa terbitnya yang kedua (1968–1974) di era Soeharto, meski hanya mengalami satu kali pemberedelan, hal merupakan larangan terbit yang fatal, yang mematikan harian ini di awal 1974.[8] Pada tahap ini terjadi penahanan selama beberapa bulan terhadap Mochtar Lubis dan hampir satu tahun terhadap Enggak Bahauddin.

Berkat kejadian-kejadian di atas, Indonesia Raya dinilai sebagai harian yang lebih mengutamakan idealisme kewartawanan ketimbang tujuan komersial. Ini mencerminkan sikap para pengasuhnya yang mendukung kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat yang penuh.[9]

Dalam wawancaranya dengan P. Swantoro dan Atmakusumah (8 dan 13 Februari 1978), Mochtar Lubis mengatakan ia memiliki semacam beban moral terhadap apa yang digambarkannya sebagai “pengorbanan dan semangat murni 1945”. Ia juga mengenang ratusan ribu teman yang mati demi merebut kemerdekaan, yang menurutnya membuat Indonesia Raya tidak pantas mengorbankan kemerdekaan pers.[9]

Oey Hong Lee dalam Indonesian Government and Press during Guided Democracy (1971) menggolongkan Indonesia Raya sebagai muckracking paper, yaitu surat kabar yang menginvestigasi kasus korupsi atau tuduhan korupsi oleh, misalnya, pejabat pemerintah atau pengusaha dan menyiarkannya dengan gegap gempita. Indonesia Raya memberitakan berbagai berita skandal, konflik, atau penipuan yang terjadi pada lembaga-lembaga negara serta melibatkan pejabat publik tanpa pandang bulu. Mereka bahkan juga menyerang Presiden Soekarno saat ia menikahi Hartini secara rahasia.[10]

Pemberedelan pada masa Orde Lama sunting

Skandal menteri-menteri era Soekarno yang pernah diberitakan habis-habisan oleh harian ini antara lain Ahmad Subardjo (Menteri Luar Negeri dari Masjumi), Iskaq Tjokroadisurjo (Menteri Perekonomian, PNI), dan Roeslan Abdulgani (Menteri Luar Negeri, PNI).[11]

Antara Agustus–Desember 1956, terdapat tiga pemberitaan penting di Indonesia Raya yang membuat harian ini diberedel dan para pemimpinnya mengalami penahanan. Pertama, pemberitaan skandal korupsi Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani dan Wakil Direktur Jenderal Percetakan-percetakan Negara Kementerian Penerangan Lie Hok Thay.

Kedua, pemuatan surat-surat pembelaan diri Letnan Kolonel Zulkifli Lubis. Ia menolak tuduhan pemerintah yang diumumkan pada 28 November 1956 mengenai persiapan dan percobaan kudeta yang akan dilakukannya. Ketiga, pemberitaan mengenai aksi Kolonel Ahmad Husein (Komandan Resimen Angkatan Darat Sumatra Tengah dan Ketua Dewan Banteng) yang mengambil alih pemerintahan sipil dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Peristiwa ini disiarkan sebagai berita besar oleh Indonesia Raya pada 20 Desember 1956.[12]

Keesokan malam pasca pemberitaan ketiga, 21 Desember 1956, pemimpin redaksi Indonesia Raya Mochtar Lubis ditangkap oleh Korps Polisi Militer (CPM), Detasemen Garnizun III/6 Guntur, atas perintah komandan KMKB-DR. Ia dituduh terlibat dalam gerakan Zulkifli Lubis, memuat tulisan yang menyokong dan membenarkan gerakan Dewan Banteng di Sumatra Tengah, serta mengecam pemerintah dalam persoalan ini.[13]

Mochtar ditahan di Rumah Tahanan Militer di Jl. Budi Utomo dan diperiksa selama dua minggu. Sejak 5 Januari, ia mendapat penjagaan polisi selama empat tahun terus-menerus tanpa pernah diperiksa kembali, dengan alasan demi keamanan. Ia juga dilarang menulis untuk surat kabarnya, memberikan wawancara, mengadakan hubungan telepon dan menerima tamu.[14]

Terkait peristiwa ini, Penguasa Militer Letnan Kolonel E. Dachjar pada 16 Oktober 1957 melarang semua penerbitan di ibukota, termasuk Indonesia Raya, untuk menyiarkan penahanan terhadap Mochtar Lubis. Pengecualian berlaku untuk keterangan resmi dari KMKB-DR atau kantor Penerangan Angkatan Darat (Penad). Anggota parlemen juga bahkan dilarang untuk memberikan wawancara mengenai persoalan Mochtar Lubis.[15]

Sementara ia berada dalam tahanan rumah, empat redaktur lainnya pada 1957 dan 1958 mengalami penahanan yang berbeda-beda. Mereka ditahan dalam waktu yang lebih singkat, selama beberapa hari sampai beberapa minggu.[16]

Redaktur pelaksdana Ali Moechtar Hoeta Soehoet dan rekannya Mohamadnoer ditahan selama dua minggu (10–26 Agustus 1957) yang disambung dengak tahanan kota selama tiga minggu. (Tim Penulis 2002, hlm. 244–245). Penyebab penahanan adalah karena membuat berita tentang penolakan rencana kunjungan panglima TT I Kolonel M. Simbolon oleh komandan Resimen III Angkatan Darat Mayor Junus Samosir di daerah Tapanuli.[17]

Karikaturis dan redaktur tata letak Sam Soeharto ditahan hampir satu bulan (Februari 1958) karena satu karikaturnya dianggap menghina kabinet Perdana Menteri Djuanda. Sam menceritakan bahwa ia harus menunggu berjam-jam di kantor KMKB-DR tanpa mengetahui di mana ia akan ditahan.[18]

Pejabat pemimpin redaksi selama Mochtar ditahan, Enggak Bahauddin, mengalami empat kali penahanan sepanjang tahun 1958. Bahkan setelah Indonesia Raya dilarang terbit, ia masih harus menjalani persidangan untuk perkara delik pers yang terjadi setahun sebelumnya.[18]

Pada 10 Februari 1959, Enggak bersama Subanto Taif (PIA), Abdulah Nazir (Abadi) dan Sidi Mohammad Sjaaf (Pemandangan) dijatuhi masing-masing tiga, empat, dua, dan satu bulan dalam masa percobaan satu tahun. Mereka dituduh melanggar pasal 14 (2) Undang-undang No. 1 tahun 1946.[18]

Cara terakhir yang dilakukan pemerintah Soekarno untuk membungkam Indonesia Raya adalah melalui tangan Menteri Penerangan, yang mengulurkan kesepakatan kepada Hasjim Mahdan. Hasjim merupakan seorang dari tiga pemegang saham Indonesia Raya selain Mochtar dan Sarhindi. Pemerintah mengizinkan harian tetap terbit dengan syarat Mochtar mengundurkan diri. Selain itu, mereka juga berjanji akan mengulurkan modal dana.[19]

Mochtar Lubis berhasil didongkel dari Indonesia Raya pada 21 Agustus 1958, melalui kuasa hukum PT. Badan Penerbit Indonesia Raya, Suprapto Sumono. Ia mengumumkan kepada dewan redaksi bahwa Dewan Komisaris telah memberhentikan Mochtar sebagai direktur mulai 20 Agustus 1958 dan digantikan oleh Suprapto.[20] Pengumuman kedua memutuskan penggantian penanggung jawab harian (Enggak Bahauddin) dan mingguan (K. Sidharta) Indonesia Raya ke tangan Soejono Harjadi.[20] Maka terjadilah dualisme redaksi dan penerbitan Indonesia Raya, yang hanya berumur kurang lebih tiga bulan (sampai Januari 1959).[21]

Pemberedelan pada masa Orde Baru sunting

Di masa Orde Baru, Indonesia Raya berhasil kembali terbit. Rencana penerbitan kembali ini mulai timbul pasca dibebaskannya Mochtar Lubis pada bulan Mei 1966. Menteri Penerangan Marsekal Muda Udara Boediarjo memberikan SIT tertanggal 24 Juli 1968. Kemudian, menyusul pemberian SIC tertanggal 10 Agustus 1968 dari Laksusda Jakarta Raya dan Sekitarnya.[22]

Masa kedua Indonesia Raya ditandai dengan penerbitan kembali harian ini pada 30 Oktober 1968. Dalam tajuk rencana, Mochtar Lubis mengungkapkan dukungannya pada kepemimpinan baru Soeharto. Mereka juga berjanji akan terus mengkritik demi keberhasilan pemerintahan yang baru.[23]

Bulan madu ini berakhir enam tahun kemudian, tatkala meletus peristiwa Malari tahun 1974. Selain diberedel, Mochtar Lubis kembali ditahan dan baru dibebaskan pada 15 April 1975. Wakil pemimpin redaksi, Enggak Bahauddin ditahan di tempat tahanan militer di Jl. Budi Utomo. Ia dibebaskan kembali pada 7 Mei 1975.[24]

Wakil pemimpin redaksi yang lain, Koestinijati Moechtar, diperiksa Polisi Militer (POM) ABRI dan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sepanjang Februari–Mei 1974. Ia diperiksa berkenaan dengan masalah-masalah seputar Indonesia Raya, serta penahanan Enggak dan Mochtar. Keduanya dituduh mengadakan rapat gelap untuk menggulingkan pemerintahan yang sah–yang tidak terbukti sama sekali dan kemudian dibebaskan tanpa syarat.[24]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q "Jakarta.go.id". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-29. Diakses tanggal 2014-04-28. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Haryanto. Ignatius. INDONESIA RAYA DIBEREDEL. 2006. Yogyakarta: LkiS
  3. ^ a b c Santana K. Septiawan. Jurnalisme Investigasi. 2009. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  4. ^ a b c d Surjomihardjo. Abdurrachman. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. 1988. Jakarta: LEKNAS LIPI dan Deppen RI
  5. ^ a b c d Atmakusumah. Mochtar Lubis: Wartawan Jihad. 1992. Jakarta: Penerbit Kompas
  6. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 213
  7. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 219
  8. ^ a b Tim Penulis 2002, hlm. 214
  9. ^ a b Tim Penulis 2002, hlm. 215
  10. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 224
  11. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 225–229
  12. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 229–223
  13. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 233–234
  14. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 234
  15. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 238
  16. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 244
  17. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 244–245
  18. ^ a b c Tim Penulis 2002, hlm. 245
  19. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 246
  20. ^ a b Tim Penulis 2002, hlm. 249
  21. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 257
  22. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 269
  23. ^ Tim Penulis 2002, hlm. 262–263
  24. ^ a b Tim Penulis 2002, hlm. 296

Sumber sunting

Tim Penulis (Januari 2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-013-2.