Ilen Surianegara (29 Desember 1924 – 26 Juni 2000)[1] adalah salah seorang diplomat Indonesia sekaligus budayawan yang berasal dari tanah Sunda.

Ilen Surianegara
Duta Besar Indonesia untuk Aljazair
Masa jabatan
1983–1986
PresidenSuharto
Pengganti
Muhammad Singgih Hadipranowo
Sebelum
Duta Besar Indonesia untuk Tunisia
Masa jabatan
1977–1980
PresidenSuharto
Pengganti
T. M. Mochtar Thajeb
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir29 Desember 1924 (umur 99)
Bandung, Hindia Belanda
Meninggal26 Juni 2000(2000-06-26) (umur 75)
Jakarta, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Pendidikan sunting

Bersekolah di HIS, MULO Kristen, dan AMS. Setelah tamat, lalu masuk ke Koogyo Daigaku (Fakultas Teknik yang kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung).[1] Pada waktu kemerdekaan diproklamasikan menggabungkan diri dengan para pemuda yang berjuang hendak menegakkan kedaulatan bangsa dan negara.[2] Karena kefasihannya dalam berbahasa asing (Inggris, Prancis, dan Belanda).[2] Beliau ditugaskan sebagai penghubung untuk menjemput pasukan Sekutu (Inggris) yang hendak membebaskan tawanan perang dan melucuti senjata tentara Jepang.[2] Pada bulan Oktober 1945, ia termasuk dalam 30 orang mahasiswa yang harus berkeliling di kepulauan Sunda Kecil (sekarang Nusa Tenggara) yang dipimpin oleh Muh. Rustandi Kartakusuma untuk memberikan pengertian tentang cita-cita kemerdekaan.[2] Tetapi di Denpasar, beliau termasuk sebagian dari rombongan mahasisᴡa yang tertangkap oleh tentara Jepang, kemudian dibebaskan sebagai pertukaran tawanan orang Jepang yang ditangkap oleh para pemuda di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 (Hari Pahlawan).[2] Setelah kembali ke Bandung, beliau menggabungkan diri dengan Badan Perjoangan yang kemudian menjadi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) bersama dengan Mashudi.[2] Pada waktu itulah beliau mulai terbuka untuk berkecimpung dalam bidang politik.[2] Pada awal 1946, aktif membantu Radio Republik Indonesia untuk siaran luar negeri seksi bahasa Prancis.[1] Di samping itu menjadi redaktur The Voice of Free Indonesia dan merangkap sebagai pembantu kantor berita AFP untuk daerah yang dikuasai oleh Rebublik Indonesia.[1] Setelah Bandung diduduki tentara Sekutu dan menjadi lautan api, beliau bersama dengan para pejuang lainnya mundur ke Ciparay, Majalaya, Tasikmalaya.[2] Kemudian menggabungkan diri dengan Corps Mahasiswa di Yogyakarta.[2] Awal tahun 1948, menjadi juru bicara Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Belanda.[2] Aᴡal merintis karier diplomasi di Prancis dengan terlebih dahulu mengikuti kuliah Akademi Politik yang diselenggarakan di Yogyakarta sampai selesai selama beberapa bulan.[2] Ketika ada kesempatan memperoleh beasiswa dari pemerintah Prancis untuk belajar di negerinya, beliau mendaftarkan diri dan lulus.[2] Ia masuk ke Science Politique di Paris.[1] Tahun 1953, kembali ke tanah air dan menikah dengan Tating Sastramijaya (Sastramidjaja), anak Jaksa Nénéng Sastramijaya yang pernah dikenalnya ketika gadis itu belajar di negeri Belanda.[2]

Karier Kebudayaan sunting

Beberapa bulan kemudian setelah ditugaskan sebagai diplomat Indonesia untuk Prancis, beliau diangkat sebagai Atase Kebudayaan dan Pers di Paris.[1] Dalam menunaikan tugasnya sebagai atase kebudayaan, mencoba memperkenalkan bangsa Indonesia kepada bangsa Prancis, di antaranya dengan menerbitkan buku kecil yang berisi terjemahan puisi Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, dan lain-lain ke dalam bahasa Prancis.[1] Di samping itu ia juga membina hubungan dengan para seniman dan budayawan Prancis, sehingga mereka tahu tentang Indonesia.[2] Hal itu terbukti, ketika kembali ke tanah air, membawa puluhan buah lukisan karya para pelukis Prancis yang disumbangkan kepada Indonesia.[2] Sayang lukisan-lukisan itu tidak pemah mendapat tempat yang memadai, hanya bertumpuk di salah satu ruangan Museum Nasional, Jakarta.[2] Setelah itu, beliau memulai pergaulan dengan para seniman Indonesia, kebanyakan yang pernah dikenalnya ketika datang ke Paris sebagai undangan Sticusa.[2] Beliau terlibat dalam kepengurusan BMKN, malah pernah duduk sebagai redaktur majalah Indonesia yang dikeluarkan oleh badan tersebut.[2] Tahun 1962, ditugaskan untuk mengikuti kuliah di SESKOAD.[2] Dikirimkan ke Jepang sebagai counsellor di KBRI Tokyo.[2] Kemudian pada tahun 1964 dipindahkan sebagai Wakil Duta besar di Aljazair untuk mempersiapkan Konferensi Bandung ke-2.[2] Pada tahun 1967 kembali ke Departemen Luar Negeri untuk memimpin Biro Pendidikan para diplomat.[2]

Pada waktu itu (1968) bersama Ramadhan K.H. dan Ajip Rosidi, meyakinkan Ali Sadikin yang ketika itu menjadi gubernur DKI Jakarta agar bersedia membantu pembiayaan penerbitan majalah bulanan kebudayaan.[3] Saran itu diterima dengan baik oleh Ali Sadikin, dan beliau menjadi pemimpin umum majalah Budaya Jaya yang sehari-harinya ditangani oleh Ramadhan K.H. dan Ajip Rosidi.[3] Tahun 1969, diangkat sebagai orang kedua (Wakil Dutabesar) di KBRI Paris, kemudian dipindahkan sebagai Wakil Dubes di Bonn (Jerman). Tahun 1975 kembali ke Indonesia, ditugaskan memimpin direktorat baru, yaitu Direktorat Sosial Budaya. Dua tahun kemudian, diangkat sebagai Dutabesar di Tunisia, merangkap untuk Maroko dan Libia.[2] Tahun 1980 kembali ke tanah air dan ditugaskan sebagai Wakil Gubernur Lemhanas di Jakarta.[2] Tahun 1983, diangkat sebagai Dutabesar di Aljazair merangkap untuk negara Guinea dan Mali. Ketika selesai menunaikan tugasnya itu, beliau masuk masa pensiun.[2] Mulailah ia aktif dalam kegiatan kebudayaan dan kesenian Sunda, di antaranya membentuk Yayasan Dana Budaya Sunda yang bermaksud hendak memberikan dana untuk kegiatan kesenian dan kebudayaan dengan terlebih dahulu mengumpulkan dana dari masyarakat. Di samping itu duduk pula sebagai anggota Pengurus Yayasan Pembangunan Jawa Barat dan Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS).[2]

Majalah Budaya Jaya sunting

Budaya Jaya merupakan majalah yang berisi tentang kebudayaan umum dan diterbitkan sebulan sekali dan memuat karya sastra.[3] Majalah ini terbit pertama pada tanggal 2 Juni 1968 atas inisiasi dari Ilen Surianegara, Ramadhan K.H., dan Ajip Rosidi.[3] Isi dan tujuan majalah Budaya Jaya tidak pernah diubah sampai berhenti beredar pada tahun 1985.[4] Tujuannya adalah ingin mengembangkan dan meningkatkan khazanah sastra dan budaya sebagai alat komunikasi sesama ahli dan masyarakat.[4] Kertas yang digunakan dalam majalah ini adalah jenis koran bersampul HVS dan target penyebarannya berskala nasional. Jenis rubrik yang ditampilkan dalam majalah tersebut antara lain sebagai berikut.

  • Catatan Bulan ini;
  • Kaledioskop;
  • Esai Sastra (Kritik Sastra);
  • Artikel Kebudayaan (umum);
  • Cerpen;
  • Kronik;
  • Para Penyumbang Nomor Ini;
  • Drama;
  • Timbangan Buku;
  • Berita Keluarga;
  • Iklan; dan
  • Sket Vignet atau Lino.[4]

Adapun tim penerbitan majalah ini adalah Ilen Surianegara (penanggung jawab), Ajip Rosidi dan Harijadi S. Hartowardojo (redaksi), Ramadhan K.H., Moh. Amir Sutaarga, Arief Budiman, Asrul Sani, Gayus Siagian, Goenawan Mohamad, Moctar Kusumaatmaja, Nono Anwar Makarim, Oesman Effendi, Taufiq Ismail, Toto Sudarto Bactiar, Trisno Sumardjo, Zulharman S., Wingkardjo, dan Ayatrohaedi (pembantu redaksi). Alamat redaksinya berada di Jalan Teuku Umar 6, Jakarta Pusat. Majalah ini diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta.[4] Majalah bulanan ini ber tujuan untuk mewadahi hasil pemikiran, gagasan, dan kreativitas masyarakat secara umum.[3] Tujuan tersebut secara jelas dipaparkan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, yang menyatakan bahwa dalam kehidupan kebudayaan modern, majalah adalah hal mutlak, terutama untuk menampung hasil-hasil pemikiran dan cipta para pemikir, budayawan, seniman yang mewakili segala golongan.[3] Dengan adanya majalah sebagai sarana berkomunikasi, tentu hubungan budayawan dan para pencipta menjadi lancar.[4] Sasaran pembaca majalah ini tentunya masyarakat umum yang memiliki kepentingan dengan kebudayaan.[4]

Tanda Kehormatan sunting

Dalam Negeri sunting

Luar Negeri[6] sunting

Rujukan sunting

  1. ^ a b c d e f g Bonneff, Marcel (2001). "Ilen Surianegara (1924-2000)". Archipel. 61 (1): 3–6. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z Ajip Rosidi. 2000. Ensiklopedi Sunda (alam, manusia, dan budaya, termasuk budaya Cirebon dan Betawi). Bandung: Pustaka Jaya. Halaman 286.
  3. ^ a b c d e f Rosidi, Ajip (2010). Mengenang hidup orang lain: sejumlah obituari. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9789799102225. 
  4. ^ a b c d e f "Artikel "Budaya Jaya" - Ensiklopedia Sastra Indonesia". ensiklopedia.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2019-03-20. 
  5. ^ Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Jasa tahun 1959 s.d. 2003 (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2019-09-24. Diakses tanggal 29 September 2021. 
  6. ^ Hadimadja, Ramadhan Karta (1992). Rantau dan renungan: budayawan Indonesia tentang pengalamannya di Prancis. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9789799023674.