Hak Tolak adalah hak yang dimiliki seorang wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.[1] Hak tolak merupakan bentuk tanggung jawab wartawan di depan hukum terhadap pemberitaan yang dibuatnya.[1] Peraturan tentang hak tolak telah diatur dalam Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999 pasal 1, pasal 4, dan pasal 7 serta Pedoman Dewan Pers Nomor: 01/P-DP/V/2007 tentang Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Perkara Jurnalistik.[2][3][4][5]

Ketentuan sunting

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, dan informasi latar belakang sesuai dengan kesepakatan demi keamanan narasumber dan keluarganya.[3] Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan.[1] Tujuan utama hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan indentitas sumber informasi.[4] Sehingga, apabila pihak yang menjadi sumber pemberitaan merasa keberatan untuk diungkap ke publik identitasnya, wartawan harus merahasiakannya dan menolak untuk mengungkapkannya.[6][2]

Penerapan sunting

Dalam penerapannya, hak tolak tidak bisa digunakan secara sembarangan.[5] Narasumber yang layak dilindungi identitasnya melalui hak tolak adalah mereka yang memang memiliki kredibilitas, beritikad baik, berkompeten, dan informasi yang disampaikan terkait dengan kepentingan publik.[5] Selain itu, hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan terpisah yang khusus memeriksa soal itu.[5] Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.[5] Selain diatur dalam Undang-undang Pers, dasar hukum hak tolak juga terdapat dalam Pasal 50 KUHP yang menegaskan bahwa “mereka yang menjalankan perintah UU tidak dapat dihukum”.[5][1] Dalam menjalankan tugas jurnalistik pers menjalankan amanat UU Pers, sehingga berkonsekuensi tidak dapat dihukum ketika menggunakan hak tolaknya.[5][1] Pasal 170 KUHAP yang berbunyi, “Mereka yang karena pekerjaan, harkat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada merek".[5]

Mekanisme sunting

Dalam hal adanya dugaan pelanggaran hukum terhadap karya jurnalistik, pertanggungjawaban hukum ditujukan kepada penanggung jawab institusi pers bersangkutan.[5] Merujuk pada UU Pers, Pasal 12, yang dimaksud dengan “penanggung jawab adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.[5][1] Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab.[5] Apabila pihak kepolisian menerima pengaduan perkara pidana menyangkut karya jurnalistik, maka menurut UU Pers tidak perlu menyelidiki siapa pelaku utama perbuatan pidana, melainkan langsung meminta pertanggungjawaban dari Penanggung Jawab, sebagai pihak yang harus menghadapi proses hukum.[5][1]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  2. ^ a b Pasal 1 Bab 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  3. ^ a b Pasal 4 ayat 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  4. ^ a b Pasal 7 Bab 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  5. ^ a b c d e f g h i j k l Pedoman Dewan Pers Nomor: 01/P-DP/V/2007 tentang Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Perkara Jurnalistik
  6. ^ (Indonesia) Diana Kusumaasari. "Apakah UU Pers Hanya Melindungi Pemburu Berita?". Hukum Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-27. Diakses tanggal 25-Februari-2015.