Gugatan Hukum adalah tuntutan hak yang mengandung unsur-unsur pidana sengketa terdapat dua pihak yaitu penggugat dan tergugat[1]. Merupakan peningkatan dari permasalahan awal yakni perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat.[2]Perkara contentiosa, berasal dari bahasa Latin yang berarti penuh semangat bertanding atau berpolemik. itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak bersengketa.[3]Gugatan memiliki ciri khas, yaitu:

  1. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan harus mengandung sengketa
  2. Terjadi sengketa antara dua pihak, minimal dua pihak,
  3. Bersifat parti (party), dengan komposisi pihak yang satu berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lainnya berkedudukan sebagai tergugat.
  4. Tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex-parte), hanya pihak penggugat atau tergugat saja.
  5. Pemeriksaan sengketa harus dilakukan secara kontradiktor dari permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan, tanpa mengurangi kebolehan mengucapkan putusan tanpa kehadiran salah satu pihak.[4]

Bentuk Gugatan sunting

Dalam Herziene Indonesische Reglement (HIR) dikenal 2 (dua) macam bentuk surat gugatan, yaitu:

  1. Gugatan tertulis, adalah gugatan yang paling diutamankan di hadapan pengadilan dari pada bentuk lainnya. Gugatan tertulis diatur jelas dalam pasal 188 ayat (1) HIR atau pasal 142 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Rbg) yang menyatakan bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama harus dimasukan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Dengan demikian, yang berhak dan berwenang dalam mengajukan gugatan adalah penggugat dan atau kuasanya.[5]
  2. Gugatan Lisan, adalah gugatan yang diajukan ke Pengadilan dengan alasan-alasan tertentu yang memperbolehkan mereka untuk dapat mengajukan gugatan secara lisan, yaitu mereka yang buta huruf. Gugatan secara lisan diatur dalam pasal 120 HIR dan pasal 144 Rbg yang berbunyi, bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukan secara lisan ke Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya. Ketentuan gugatan lisan ini selain untuk mengakomodir kepentingan penggugat buta huruf yang yang masih banyak pada masa pembentukan peraturan ini, dan membantu rakyat kecil yang tidak mampu membayar jasa advokat atau kuasa hukum karena dapat memperoleh bantuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata untuk membuatkan gugatan yang diinginkannya.[6]

Referensi sunting

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-10. Diakses tanggal 2023-06-28. 
  2. ^ talpeg (2019-05-15). "Perbedaan Prinsip antara Permohonan dengan Gugatan". PPPPTK Penjas dan BK (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-26. Diakses tanggal 2022-07-24. 
  3. ^ talpeg (2019-05-15). "Perbedaan Prinsip antara Permohonan dengan Gugatan". PPPPTK Penjas dan BK (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-26. Diakses tanggal 2022-07-24. 
  4. ^ talpeg (2019-05-15). "Perbedaan Prinsip antara Permohonan dengan Gugatan". PPPPTK Penjas dan BK (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-26. Diakses tanggal 2022-07-24. 
  5. ^ "Bentuk Gugatan menurut HIR". Hukum Acara Perdata (dalam bahasa Inggris). 2012-02-24. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-31. Diakses tanggal 2022-07-24. 
  6. ^ "Bentuk Gugatan menurut HIR". Hukum Acara Perdata (dalam bahasa Inggris). 2012-02-24. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-31. Diakses tanggal 2022-07-24.