Eyang Hasan Maolani

Eyang Hasan Maolani (21 Mei 1782 – 30 April 1874)[1] adalah seorang tokoh agama Indonesia pada masa penjajahan Kolonial Belanda pada sekitar abad ke-19. Pemerintah Kolonial Belanda sempat mengasingkannya ke Kampung Jawa Tondano di Sulawesi Utara, bergabung dengan para gerilyawan Perang Jawa.[2][3]

Sketsa Wajah Eyang Hasan Maolani.

Hasan Maolani dikenal masyarakat lokal Desa Lengkong, Kabupaten Kuningan sebagai Eyang Hasan Maolani. Penggunaan kata 'eyang' merujuk istilah dalam tata bahasa Sunda untuk menyebut orang yang dituakan dan menjadi sesepuh di sebuah lingkungan tertentu.[4] Hasan Maolani juga dikenal sebagai Eyang Menado setelah ia diasingkan di Sulawesi Utara.[4]

Makam Eyang Hasan Maolani dikenal juga sebagai 'Makam Rambut'. Hal ini disebabkan karena Hasan Maolani mengirimkan beberapa lembar rambutnya untuk dikubur di Desa Lengkong Kuningan, agar para generasi selanjutnya di Lengkong tidak memiliki beban berziarah jauh ke tempat pekuburannya di Sulawesi.[5] Nama Hasan Maolani dipergunakan sebagai nama jalan lintas penghubung antara Desa Lengkong di Kecamatan Garawangi dengan Desa Ancaran di Kecamatan Kuningan.

Latar belakang sunting

Hasan Maolani lahir di Desa Lengkong (kini berada di wilayah Kabupaten Kuningan) pada hari Senin Legi, tanggal 22 Mei 1782 Masehi, atau bertepatan dengan tanggal 8 Jumadil Akhir tahun 1196 Hijriyah. Panitia haul Eyang Hasan Maolani menyebutkan secara rinci bahwa Eyang Hasan Maolani lahir pada sore hari setelah waktu ashar, sekitaran pukul 5 sore. Ia merupakan putra dari Kiai Bagus Lukman bin Kiai Syatar. Lahirnya Eyang Hasan Maolani berada pada tahun yang sama dengan wafatnya Syekh Panembahan Daqo, salah seorang ulama sepuh di Desa Lengkong.[5]

Silsilah sunting

Dari hasil penelusuran garis keturuan Eyang Hasan Maolani, diketahui bahwa ia merupakan keturunan kebangsawanan dari Kesultanan Cirebon.[6] Selain memiliki hubungan nasab kepada Sunan Gunung Djati yang merupakan pemuka besar Kesultanan Cirebon, Hasan Maolani juga memiliki hubungan darah kepada Prabu Siliwangi. Nasab dari jalur ibu ini mempertemukan Eyang Hasan Maolani hingga Prabu Siliwangi.[2]

Silsilah dari jalur ibu Silsilah dari jalur ayah
  • Eyang Hasan Maolani
  • Nyai Lukman
  • Kiai Jafiyah
  • Kiai Abdul Qahir
  • Syekh Haji Muhammad Husen
  • Ki Malang Jiwa
  • Ki Narajaya
  • Ki Sarawati
  • Ki Legasara
  • Dalem Balidah
  • Prabu Gesanulun
  • Singadipati
  • Ratu Selawati
  • Guru Gantangan
  • Prabu Siliwangi
  • Eyang Hasan Maolani
  • Bagus Luqman
  • Kiai Syatar
  • Raden Kenda
  • Nyai Raden Lempeg
  • Tumenggung Raden Jayadipura
  • Nyai Raden Siti Atiyah
  • Ratu Girilaya
  • Pangeran Dipati
  • Panembahan Ratu
  • Pangeran Wiradipati
  • Pangeran Pasarean
  • Sunan Gunung Djati

Jika mengikuti penelusuran sejarah yang dilakukan oleh Pangeran Raja (PR) Nasiruddin, garis nasab ini bisa dilacak hingga Nabi Adam. Pangeran Raja (PR) Nasiruddin pernah melakukan penelitian terhadap naskah-naskah yang ada dengan dibantu oleh para ahli di bidangnya dalam pertemuan agung Gotra Sawala pertama di Cirebon, yang menghasilkan sebuah kitab yang diberi nama Negara Kertabhumi. Kitab tersebut memuat bab tentang silsilah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dalam Tritiya Sarga.[7]

Pendidikan sunting

Primbon Eyang Abshori menuliskan bahwa Hasan Maolani pernah menjalani masa pendidikan di pesantren selama 7 tahun 6 bulan dari beberapa orang kiai, antara lain:[8]

  • Kiai Alimudin, dari Pangkalan
  • Kiai Sholehudin, dari Kadugede
  • Kiai Kosasih, dari Kadugede.
  • Kiai Bagus Arjaen, dari Rajagaluh.

Menurut persebaran waktunya, Hasan Maolani menjalani pendidikan di beberapa lokasi

  • Pesantren Pangkalan selama 1 tahun 5 bulan,
  • Pesantren Kadugede untuk tahap pertama selama 2 tahun 8 bulan
  • Pesantren Pasawahan Cirebon selama 1 tahun 1 bulan
  • Pesantren Kadugede untuk tahap kedua selama 1 tahun 3 bulan.

Hasil belajar dari kiai-kiai tersebut, Eyang Hasan Maolani mewarisi tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah. Ia mengikuti Imam al-Asy'ari dalam madzhab aqidah, mengikuti Imam asy-Syafii dalam fiqh, serta mengikuti dan pro-aktif mengikuti tarekat Syattariyyah.[9] mana hasil karyanya, ga ada

Pernikahan sunting

Selesai belajar ilmu agama di banyak pesantren, Eyang Hasan Maolani kemudian menikah dengan seorang gadis bernama Murtasim binti Kiai Arifah yang berasal dari Desa Garawangi. Mustasim ini jika dirunut nasabnya, masih merupakan keturunan dari Lengkong, karena Kiai Arifah merupakan putra dari Kiai Khatib Syaribah yang merupakan menantu dari Kiai Bagus Arsyam/Nyai Buyut Jembar Lengkong.[2] Dari hasil pernikahan dengan Murtasim, Eyang Hasan Maolani dikaruniai 11 orang anak, yaitu:[2]

  1. Hasan Imrani (dimakamkan di Cikaso);
  2. Mu'minah (dimakamkan di Karangmangu);
  3. Ruqoyah (dimakamkan di Lengkong);
  4. Imamudin (dimakamkan di Tanjungsari);
  5. Ajam (meninggal saat masih kecil, dimakamkan di Lengkong);
  6. Muhammad Hakim (meninggal saat masih kecil, dimakamkan di Lengkong);
  7. Nashibah (meninggal saat masih kecil, dimakamkan di Lengkong);
  8. Marhamah (tidak memiliki keturunan, meninggal saat berumur 25 tahun, dimakamkan di Lengkong);
  9. Muqimah (meninggal saat masih kecil, dimakamkan di Lengkong);
  10. Muhammad Abshori (dimakamkan di Lengkong);
  11. Muhammad Akhyar (dimakamkan di Lengkong)

Era pemerintahan Belanda sunting

Tuduhan sunting

Gerakan-gerakan tarekat yang dikembangkan oleh Eyang Hasan Maolani dituduh sebagai ajaran sesat oleh kolonial Belanda. Dalil paling mudah dan paling sering digunakan—sebagaimana merupakan masukan dari penghulu atau penasihat agama pada era pemerintah Kolonial Belanda, ajaran tarekat Eyang Hasan Maolani merupakan ajaran yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadits.[2]

Kemarahan Pemerintah Hindia Belanda bertambah seiring Eyang Hasan Maolani yang mendeklarasikan dirinya sebagai "Pembaharu Agama" di Karesidenan Cirebon dan sekitarnya. Deklarasi ini semakin mengukuhkan kedudukan sosial Eyang Hasan Maolani yang diketahui memiliki pergaulan yang luas hingga disegani oleh masyarakat sekitar dan memiliki banyak santri yang terkumpul di pesantren Lengkong.[a] Popularitas Eyang Hasan Maolani ini tercatat dalam laporan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Eyang Hasan Maolani dilaporkan telah melakukan gerakan sosial yang dibuktikan dengan banyaknya orang yang berdatangan ke kediamannya di Desa Lengkong.[butuh rujukan]

Pengasingan ke Tondano sunting

Semasa era pemerintahan kolonial Belanda, residen Cirebon ditunjuk untuk mengawasi setiap gerak-gerik Eyang Hasan Maolani. Salah satu permintaan dari pihak kolonial kepada residen Cirebon adalah pengawasan atas ajaran yang dikembangkan oleh Eyang Hasan Maolani sehingga sering mendapatkan banyak tamu dan santri dari berbagai macam daerah. Michael Laffan menyebutkan bahwa santri Eyang Hasan Maolani tidak hanya dari kalangan rakyat jelata saja, namun juga dari kaum priayi, dan bahkan berasal dari Surabaya.[10]

Eyang Hasan Maolani resmi diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1843, dibuang ke Kampung Jawa Tondano, Sulawesi Utara. Di sana ia bergabung bersama para gerilyawan perang Jawa yang dipimpin oleh Kiai Mojo.[2]

Meninggal dunia sunting

Eyang Hasan Maolani wafat di tempat pengasingannya di kampung Jawa Tondano, pada tanggal 29 April 1874, dalam usia 91 tahun. Hal ini merujuk pada kutipan surat pemberitahuan kematian yang dikirimkan oleh pemerintah setempat di Kampung Jawa Tondano kepada keluarga Eyang Hasan Maolani di Lengkong.[2]

Gelar Pahlawan Nasional sunting

Nina Herlina Lubis yang merupakan guru besar dari Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan pernah mencoba memprakarsai pengajuan Eyang Hasan Maolani sebagai pahlawan nasional dalam rangka memberikan penghargaan atas semangat nasionalismenya.[butuh rujukan] Namun perjuangan Nina bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan belum membuahkan hasil. Hal ini didasari pada kurangnya penelitian mengenai Eyang Hasan Maolani. Kajian mengenai Hasan Maolani terbatas pada latar belakang kehidupannya, kajian tarekat dan keagamaannya, hingga kajian terhadap surat-surat Eyang Hasan Maolani yang dikirim dari pengasingannya di kampung Jawa Tondano.[2]

Keterangan sunting

  1. ^ Menurut Muhammad Nida' Fadlan, mengutip penjelasan Marhamah, Istilah Pesantren Lengkong ini disebut memiliki nama sebagai Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin.

Referensi sunting

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-18. Diakses tanggal 2020-03-24. 
  2. ^ a b c d e f g h Bahri 2020.
  3. ^ Hernawan, Wawan. "Biografi KH. Hasan Maolani". Fakultas Ushuluddin. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-26. Diakses tanggal 2022-12-26. 
  4. ^ a b Bahri 2020, hlm. 2.
  5. ^ a b Bahri 2020, hlm. 3.
  6. ^ Fadlan 2015, hlm. 2.
  7. ^ Nasiruddin 1680.
  8. ^ Hadziq 2017, hlm. 12.
  9. ^ Bahri 2020, hlm. 5.
  10. ^ Hambali 2019, hlm. 38.

Daftar pusataka sunting

  Media terkait Eyang Hasan Maolani di Wikimedia Commons

  • Bahri, Idik Saeful (2020), Gegap Gempita Perjalanan Sejarah dan Upaya Status Kepahlawanan Eyang Hasan Maolani Lengkong, Bandung: Rasi Terbit, ISBN 9786237214793 
  • Fadlan, Muhammad Nida' (2015), Surat-Surat Eyang Hasan Maolani, Lengkong: Suntingan Teks dan Analisi Isi (Tesis), Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 
  • Hadziq, Abu Abdullah (2017), Sang Kyai Sedjati: Eyang Maolani, Kuningan: Panitia Haul Eyang Hasan Maolani 
  • Hambali, Mumu Muhamad (2019), Hasan Maolani: Bersurat pada Keluarga dalam Pengasingan di Kampung Jawa Tondano 1842-1874 (Skripsi), Yogyakarta: Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga 
  • Nasiruddin, Pangeran Raja (PR) (1680), Negara Kertabumi, Cirebon: Kesultanan Cirebon