Cosmas Michael Angkur

Mgr. Cosmas Michael Angkur, O.F.M. (lahir 4 Januari 1937) adalah Uskup di Keuskupan Bogor.

Mgr.

Cosmas Michael Angkur

Uskup Emeritus Bogor
GerejaGereja Katolik Roma
TakhtaKeuskupan Bogor
Penunjukan10 Juni 1994
(57 tahun, 157 hari)
Masa jabatan berakhir
21 November 2013
(19 tahun, 164 hari)
PendahuluIgnatius Harsono
PenerusPaskalis Bruno Syukur, O.F.M.
Imamat
Tahbisan imam
4 Juli 1967[1]
(56 tahun, 295 hari)
oleh Paternus Nicholas Joannes Cornelius Geise, O.F.M.
Tahbisan uskup
23 Oktober 1994
(29 tahun, 184 hari)
oleh Leo Soekoto, S.J.
Informasi pribadi
Nama lahirCosmas Michael Angkur
Lahir4 Januari 1937 (umur 87)
Lewur, Kuwus, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur
KewarganegaraanIndonesia
DenominasiKatolik Roma
KediamanBiara Fransiskan, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat
Orang tua
  • Ayah: Joseph Djadu
  • Ibu: Odilia Mamus
AlmamaterSekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta
Fakultas Teologi Wedhabakti, Universitas Sanata Dharma
LambangLambang Cosmas Michael Angkur

Ditahbiskan menjadi Imam pada tanggal 4 Juli 1967 oleh Uskup Bogor saat itu Mgr. Paternus Nicholas Joannes Cornelius Geise, O.F.M., dan terpilih menjadi Uskup di Keuskupan Bogor pada tanggal 10 Juni 1994. Ia ditahbiskan menjadi Uskup pada 23 Oktober 1994 oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, S.J.. Bertindak sebagai uskup ko-konsekrator, Nuncio Apostolik untuk Indonesia, Mgr. Pietro Sambi dan Uskup Bandung, Mgr. Alexander Djajasiswaja.

Mgr. Angkur pensiun sebagai Uskup Bogor pada 21 November 2013 dan kepemimpinan Keuskupan Bogor dilanjutkan oleh Mgr. Paskalis Bruno Syukur, O.F.M.

Latar belakang dan Pendidikan sunting

Michael Angkur dilahirkan sebagai anak kelima dari delapan bersaudara, dari pasangan Joseph Djadu dan Odilia Mamus, pasangan yang pada waktu itu masih menganut kepercayaan tradisional dan belum menjadi Katolik.

Pendidikan formalnya diawali dari SDK Lewur (1945–1948) dan masuk Sekolah Standard di Ranggu-Kolang, Manggarai (1948–1951). Pendidikan menengah di Seminari Mataloko, Bajawa dijalaninya cukup panjang (1951–1960). Niatnya untuk melanjutkan cita-cita menjadi Fransiskan di Jawa, pada awalnya kurang mendapat persetujuan dari Rektor Seminari. Namun, setelah proses perenungan yang cukup, akhirnya niatnya untuk masuk Fransiskan disetujui.

Michael Angkur, yang menjalani pendidikan seminari menengahnya di lingkungan SVD itu, masuk novisiat OFM di Cicurug, Jawa Barat, pada tahun 1960. Setahun kemudian ia mengucapkan kaul sementara dalam Ordo Saudara-saudara Dina. Prasetya kekal diucapkannya pada tahun 1964. Pendidikan filsafat dilaksanakan di Cicurug dan lingkungan Ordo, tetapi pendidikan teologi sebagian dilanjutkan di Yogyakarta. Hal ini disebabkan oleh perpindahan tempat pendidikan para Fransiskan muda pada tahun 1965 ke Jakarta (studi filsafat di STFT Driyarkara) dan ke Yogyakarta (studi Teologi di Kentungan). Ia juga sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Teologi Wedhabakti, Universitas Sanata Dharma.

Pada bulan April 1967, bersama rekannya Alex Lanur, O.F.M., ia menerima pentahbisan diakon dari tangan Mgr. Nicolaus Geise OFM. Beberapa waktu kemudian, tepatnya tanggal 17 Juli 1967, ia ditahbiskan sebagai imam oleh Mgr. Nicolaus Geise OFM di Gereja Katedral Bogor.

Pengabdian sebagai gembala umat sunting

Tugas pertama sebagai gembala umat dijalaninya sebagai Pastor Paroki Waning-Ndoso, Flores, Nusa Tenggara Timur pada bulan November 1967, beberapa bulan setelah ia mengikuti kursus kateketik di Muntilan. Selama menjalani masa pastoral di sini, ia didampingi oleh Pater Mezaros S.V.D. dan tiga pater fransiskan lainnya. Sebagai imam muda, ia merasakan betapa beratnya bekerja melayani umat, terutama pada saat musim hujan dan tiadanya alat transportasi yang memadai. Kuda merupakan alat transportasi utama. Pengalaman menjadi pastor di Waning, yang hanya berlangsung dua tahun, dirasakannya sebagai pengalaman berpastoral yang paling menyenangkan.

Pada bulan Januari 1969, bersama Bruder Innocentius Kedang O.F.M., ia berangkat ke Papua (d.h. disebut Irian Barat) dalam rangka ikut serta membangun persaudaraan Fransiskan Indonesia bersama saudara-saudara Fransiskan misionaris yang masih merupakan anggota dari OFM Provinsi Belanda. Ia diutus menjadi Pastor Paroki Sentani dan merangkap menjadi Direktur Asrama Siswa-siswi SMP Misi di Sentani. Situasi Papua pada waktu itu masih cukup rawan karena sedang menghadapi pergolakan untuk Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera; Act of Free Choice), di mana sebagian rakyat Irian Barat pada waktu itu menginginkan merdeka dan lepas dari Indonesia.

Setengah tahun kemudian, pada bulan Juni 1969, kedua saudara ini dipindahkan ke Lembah Balim, di Pegunungan Jayawijaya, di Paroki Kota Wamena. Tujuannya untuk bersama para misionaris yang lain membangun persaudaraan dengan Suku Balim, seraya membangun persaudaraan Fransiskan Indonesia. Kemudian pada pertengahan Juli 1969, untuk sementara ia diminta pindah ke Paroki Enarotali, Paniai, menggantikan Pater Filiphs Tettero, O.F.M. yang sedang cuti. Waktu itu, di Enarotali sedang terjadi pergolakan politik antara pemerintah Indonesia dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka, yang ingin melepaskan diri dari Indonesia. Pergolakan ini menyebabkan penderitaan bagi masyarakat, yang terpaksa mengungsi ke hutan. Itulah sebabnya, ketika Pater Angkur tiba di Enarotali, praktis tak ada penduduk asli di sana. Yang ada hanyalah anggota ABRI. Dari tempat baru ini, ia juga mendapat tugas melayani Paroki Epouto, yang ditinggal lari umatnya ke hutan karena isu operasi militer yang berawal dari kawasan Waghete. Akhir Agustus ia kembali ke Wamena.

Dari Wamena ia membidani lahirnya sebuah paroki baru di Desa Hepuba, di pintu selatan Lembah Balim, pada bulan November 1969, yang wilayahnya meliputi daerah pesisir gunung bagian barat Lembah Balim, dari Wilayah Silimo sampai Sungai Ibele. Di tempat ini ia harus tidur di honai, rumah adat masyarakat setempat, dan merayakan ekaristi di lapangan terbuka.

Tanah Papua rupanya semakin mematangkan bakat pastoralnya sebagai misionaris Fransiskan. Pada Mei 1973, bersama Pater Lambert Dehing O.F.M. (Pemimpin Resort) dan Bruder Eligius Venenteruma O.F.M., mereka bersepakat untuk membuka sebuah paroki baru di Elegaima, di dekat Sungai Ibele, sebagai upaya untuk mengakhiri situasi permusuhan antar suku di Lembah Balim (Hubi Kosi) dan Kosi Hilapok di pegunungan. Perang suku memang telah memakan banyak korban jiwa. Tahun 1974, paroki ini resmi dibuka dan Pater Michael merangkap sebagai Pastor Parokinya. Memang, antara 1972–1977 terjadi penciutan tenaga pastoral di Balim yang disebabkan oleh banyak hal. Tak mengherankan kalau seorang pastor terpaksa harus bertugas rangkap di beberapa paroki. Paroki-paroki di Balim adalah Hepuba, Pugima, Wamena, Pikhe, Yiwika, Woogi, Musatfak, Elegaima, dan Ilaga.

Pada waktu peresmian gereja paroki di Hepuba, saat Natal 1977, Pater Michael diminta untuk pindah ke Jayapura dan menjadi Pastor Paroki Katedral Jayapura. Tugas ini dijalaninya tak terlalu lama, karena pada bulan September 1978 ia harus mengikuti kursus pastoral selama tujuh bulan di East Asian Pastoral Institute di Manila, Filipina.

Pengabdian dalam lembaga religius sunting

Bakat kepemimpinan Pater Angkur OFM sebenarnya sudah tampak sejak muda usia. Sewaktu berkarya di Papua, ia pernah diangkat menjadi Pemimpin Resort Balim dan Pegunungan Bintang (1974–1977), dengan tugas mengkoordinasikan pelayanan pastoral dan persaudaraan para Fransiskan di sana.

Sekembalinya dari studi di EAPI Manila, tugas berat telah menantinya, sebagai Vikarius Ordo Fransiskan (1979–1982) untuk Vikariat Misi Fransiskan Indonesia, yang berkedudukan setaraf dengan Provinsial. Pada waktu itu, Ordo Fransiskan di Indonesia belum menjadi sebuah provinsi yang mandiri. Kemudian ia dipilih untuk menjadi Vikarius untuk masa bakti tiga tahun berikutnya (1982–1985).

Vikariat Misi Fransiskan Indonesia ditingkatkan statusnya menjadi Provinsi Fransiskan di Indonesia pada bulan November 1983, dengan nama Provinsi Santo Michael Malaekat Agung. Pater Michael kemudian ditunjuk oleh Pimpinan Ordo untuk menjadi Provinsial pertama, dengan masa bakti 6 tahun (1983–1989). Selama memimpin Ordo Fransiskan di Indonesia, ia sempat menjadi Ketua MASI (Majelis Antar Serikat Imam), dan sekaligus menjadi Ketua MASRI (Majelis Antar Serikat Religius Indonesia). Ia juga terlibat sebagai anggota dalam kerjasama Keluarga Besar Fransiskan Indonesia. Dalam kedudukannya sebagai Provinsial OFM, ia juga ditunjuk oleh Mgr. Leo Soekoto, S.J., Uskup Agung Jakarta pada waktu itu, untuk menjadi anggota Dewan Imam dan anggota Kolegium Konsultor KAJ.

Merasa prihatin dengan situasi di Timor Timur, maka atas nama Ordo Fransiskan Indonesia, pada tahun 1988, Pater Michael membuka komunitas OFM di Same atas permintaan Uskup Dioses Dili. Setahun kemudian ia membuka komunitas di Dotik dan Alas, yang kemudian berkembang ke Welaluha (Kiras). Ia ingin membawa misi Santo Fransiskus di tempat ini, "Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai". Dalam situasi konflik perjuangan kemerdekaan Timor Leste, komunitas ini bertahan dalam situasi amat kritis bersama umatnya. Kini, komunitas telah diwarnai oleh putra-putra Timor Leste sendiri, dan telah semakin berkembang.

Pengabdian dalam bidang kemasyarakatan sunting

Ketika bertugas di Papua, Pater Michael berkiprah bukan hanya dalam lembaga gereja Katolik. Tugasnya sebagai gembala di tempat-tempat yang masih rawan ternyata telah mempercepat proses pematangan bakat kepemimpinannya. Pada bulan Desember 1970, ia diangkat menjadi Ketua DPRD Tingkat II Jayawijaya-Balim, dan berkantor di Wamena. Sebelumnya, jabatan Ketua DPRD dirangkap oleh Bupati.

Dalam Pemilihan Umum ke-2, tahun 1971, Pater Michael Angkur dipilih menjadi anggota DPRD Tingkat I Provinsi Irian Jaya, sampai tahun 1977. Kemudian dalam Pemilu 1977, ia kembali dipilih untuk menjadi anggota DPRD Tingkat I Provinsi Irian Jaya. Selama masa baktinya di lembaga legislatif Provinsi Irian Jaya, ia aktif terlibat di Komisi II yang membidangi masalah-masalah agama, sosial, dan pendidikan.

Menuju tahta Uskup Bogor sunting

Selepas masa baktinya sebagai Provinsial OFM, Pater Michael kembali berkarya sebagai gembala umat di Paroki Santo Paskalis, Cempaka Putih, Keuskupan Agung Jakarta (1989–1993). Pada saat itu, tenaganya juga masih sangat dibutuhkan untuk tetap memperkuat pelayanan kepemimpinan Ordo Fransiskan Provinsi Santo Michael Malaekat Agung. Ia ditunjuk sebagai Ekonom Provinsi.

Dari Cempaka Putih, ia berpindah tugas menjadi Direktur Panti Asuhan Vincentius, Jakarta, untuk memperhatikan kepentingan anak-anak yang berada dalam kesulitan hidup. Tugas ini dijalaninya hanya beberapa bulan saja, karena pada Juni 1994 ia diangkat oleh Paus Yohannes Paulus II untuk memangku jabatan Uskup di Keuskupan Bogor.

Ia ditahbiskan menjadi Uskup pada 23 Oktober 1994 oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, S.J..

Dalam kapasitasnya sebagai anggota Konferensi Waligereja Indonesia, Mgr. Michael Angkur OFM pernah mendapat tugas sebagai Ketua Komisi Keluarga (1994–2000), sebuah komisi yang baru saja dibentuk oleh KWI. Pada era euforia reformasi di Republik Indonesia saat ini, ia ditunjuk sebagai Ketua Komisi Pendidikan dan Ketua MNPK (2000–2003). Bersama dengan tokoh-tokoh pendidikan nasional, ia sempat menghadapi ujian yang amat berat untuk turut menyempurnakan RUU Sisdiknas, yang lebih berwawasan kebangsaan.

Mgr. Angkur yang telah menjadi Uskup Emeritus Bogor, menjadi Pentahbis utama untuk penerusnya di Keuskupan Bogor, yakni Mgr. Paskalis Bruno Syukur, O.F.M. pada 22 Februari 2014. Ia didampingi oleh Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta dan Mgr. Hubertus Leteng, Uskup Ruteng.

Referensi sunting

  1. ^ "Catholic Hierarchy". Diakses tanggal 4 Januari 2013. 

Pranala luar sunting

Jabatan Gereja Katolik
Didahului oleh:
Ignatius Harsono
Uskup Bogor
10 Juni 199421 November 2013
Diteruskan oleh:
Paskalis Bruno Syukur, O.F.M.