Budi Starch & Sweetener

perusahaan asal Indonesia
(Dialihkan dari Budi Acid Jaya)

PT Budi Starch & Sweetener Tbk (IDX: BUDI) merupakan sebuah perusahaan publik di Indonesia yang bergerak dalam bidang manufaktur produk-produk pangan (seperti tepung tapioka, tepung beras, fruktosa, glukosa dan lainnya), bahan kimia (seperti asam sulfat) dan produk lain seperti karung plastik. Kantor pusat perusahaan ini ada di Jakarta, dengan operasional utamanya ada di sejumlah pabrik yang terletak di Subang, Lampung, Madiun, Surabaya, Makassar dan Ponorogo.[1]

PT Budi Starch & Sweetener Tbk
Publik
Kode emitenIDX: BUDI
IndustriManufaktur
Didirikan15 Januari 1979; 45 tahun lalu (1979-01-15)
Kantor
pusat
Wisma Budi Lt. 8-9
Jl. H.R. Rasuna Said Kav C-6
Jakarta, Indonesia[1]
Tokoh
kunci
Santoso Winata
ProdukTapioka, tepung beras, asam sulfat, glukosa, fruktosa, maltodekstrin, kantong[1]
Karyawan
1.518 (2020)[1]
Situs webbudistarchsweetener.com

Sejarah dan perkembangan sunting

Perusahaan awalnya didirikan pada tanggal 15 Januari 1979 dengan nama PT North Aspac Commercial Industrial Company, yang mulai beroperasi pada Januari 1981.[1] Usaha awal yang dijalaninya adalah produsen asam sitrat, namun kemudian diperluas dengan memproduksi asam sulfat dan tapioka serta produk olahan singkong lainnya. Pada tahun 1987, kelompok usaha Sungai Budi Group (SBG, perusahaan milik Widarto dan Santoso Winata yang berbasis di Lampung), mengambilalih perusahaan ini. Untuk menyesuaikan pemilik barunya, nama perusahaan diubah menjadi PT Budi Acid Jaya pada 4 Mei 1988.[2] Ekspansi kemudian dilakukan dengan akuisisi dua perusahaan lain pada 1991 dan 1995.[3] Beberapa perusahaan yang diakuisisi tersebut, seperti 6 pabrik tapioka dan 3 pabrik karung dari induknya Sungai Budi Group senilai Rp 66 miliar. Hal ini sejalan dengan upaya efisiensi internal perusahaan SBG.[4]

Pada tanggal 31 Maret 1995, perusahaan resmi go public dengan melepas 30 juta sahamnya (30%)[4] dengan harga penawaran Rp 3.000/lembar di Bursa Efek Jakarta.[1][5] Di tahun tersebut, Budi Acid Jaya tercatat memiliki sejumlah pabrik yang berlokasi di Lampung,[6] terdiri dari pabrik asam sitrat berkapasitas 7.500 ton, pabrik asam sitrat dan asam sulfat berkapasitas 37.500 ton, dan dua pabrik tapioka[7] yang kemudian menjadi 12 pabrik tapioka pasca-akuisisi. Kemudian juga didirikan dua perusahaan patungan, dimana yang pertama bersama British Sugar (Overseas) Ltd., yang bergerak di industri glukosa dan fruktosa berkapasitas 50.000 ton dengan investasi US$ 18 juta dan kepemilikan 50,1-49,9%; pabrik ini mulai beroperasi pada April 1996.[4] Ada juga perusahaan produsen monosodium glutamat bersama Ve Wong sebanyak 51-49% bernama PT Ve Wong Budi Indonesia dengan kapasitas produksi 18.000 ton/tahun,[8] yang dibentuk pada April 1996.[9] Pabrik ini mulai beroperasi pada tahun 1998 dengan merek A-One.[10] Produk perusahaan sendiri diedarkan di dalam negeri maupun ekspor. Untuk asam sitrat, diedarkan dengan merek "Gajah" maupun merek pesanan untuk ekspor; "Budi Acid Jaya" untuk merek asam sulfat, dan "Gunung Agung", "Rose Brand", "Ikan Mas" dan "Ikan Koki" untuk produk tapioka. Produk-produk ini didistribusikan oleh PT Sungai Budi yang juga milik SBG.[7]

Memasuki 2000-an, perusahaan memiliki 12 pabrik tapioka, mayoritas di Lampung dan masing-masing sebuah di Surakarta dan Jambi; dua pabrik asam sitrat berkapasitas 15.000 ton; pabrik asam sulfat berkapasitas 6.000 ton dan pabrik karung berkapasitas 9.500 ton.[11] Ekspansi juga dilakukan dengan rencana pembangunan pabrik tapioka baru di Gowa, Lampung dan Trenggalek yang berkapasitas 36.000 ton; asam sulfat menjadi 65.000 ton; asam sitrat 3.000 ton; dan alkilbenzena sulfonat berkapasitas 50.000 ton.[12] Dengan ekspansi itu, di tahun 2009, pabrik tapioka Budi Acid Jaya sudah menjadi 13 buah, ditambah pabrik asam sitrat menjadi 3 buah, 10 pabrik turunan tapioka lainnya, 3 pabrik kantong plastik dan 1 pabrik MSG. Produk-produknya juga merengkuh 20% pangsa pasar.[13]

Pada tanggal 12 Juni 2013, nama PT Budi Acid Jaya Tbk resmi berganti menjadi PT Budi Starch & Sweetener Tbk.[14] Perubahan ini sejalan dengan keinginan mencerminkan posisi perusahaan ini sebagai market leader untuk produk tapioka dan pemanis serta dalam rangka globalisasi perdagangan produknya di pasar internasional.[1] Selain itu, perubahan ini dilakukan setelah pada Maret 2013, usaha asam sitratnya dihentikan karena banjirnya produk impor dan keuntungan yang kecil (2,13%) dari total pendapatan perusahaan ini.[15][16] Produksi asam sitrat dan MSG perusahaan ini kini ditangani oleh PT Golden Sinar Sakti yang juga masih terafiliasi dengan Sungai Budi Group.[17][18]

PT Budi Starch & Sweetener saat ini memiliki sejumlah pabrik yang berlokasi di berbagai daerah. Di Lampung, ada 12 pabrik tapioka berkapasitas 705.000 ton, pabrik glukosa berkapasitas 108.000 ton, pabrik karung berkapasitas 5.000 ton dan pabrik asam sulfat berkapasitas 60.000 ton. Di Jawa Timur, ada dua pabrik tapioka berkapasitas 90.000 ton dan pabrik glukosa-sorbitol berkapasitas 54.000 ton; dan di Sulawesi Selatan, juga ada pabrik tapioka berkapasitas 30.000 ton. Di daerah-daerah lainnya, usaha dilakukan oleh anak usaha. PT Budi Lumbung Ciptatani, beroperasi di Jawa Tengah dan memiliki pabrik tapioka berkapasitas 60.000 ton dan pabrik glukosa-maltodekstrin berkapasitas 36.000 ton; dan PT Associated British Budi memiliki pabrik glukosa-fruktosa-maltodekstrin berkapasitas 36.000 ton. Tapioka sendiri menjadi sumber utama pendapatannya (73%), disusul pemanis dengan 22%. Produk-produk Budi Starch & Sweetener dijual di dalam negeri lewat PT Sungai Budi (distributor tunggal) dan diekspor (8%) ke berbagai negara maupun digunakan sendiri (terutama karung yang 26%-nya untuk pengemasan produknya).[1]

Operasional sunting

Manajemen sunting

  • Presiden Komisaris: Widarto
  • Komisaris: Oey Alfred
  • Komisaris: Daniel Kandinata
  • Presiden Direktur: Santoso Winata
  • Wakil Presiden Direktur: Sudarmo Tasmin
  • Direktur: Djunaidi Nur
  • Direktur: Sugandhi
  • Direktur: Oey Albert
  • Direktur: Mawarti Wongso
  • Direktur: Tan Anthony Sudirjo[19]

Kepemilikan sunting

  • PT Budi Delta Swakarya: 32,258%
  • PT Sungai Budi: 26,701%
  • Publik: 41,041%[19]

Anak usaha sunting

  • Budi Starch & Sweetener Singapore Pte. Ltd.
  • PT Associated British Budi
  • PT Budi Lumbung Cipta Tani[19]

Kontribusi pada lingkungan sunting

Perusahaan terus berupaya untuk mengembangkan berbagai inovasi dalam menjaga lingkungan. Salah satunya dengan melakukan kegiatan Green Transformasi yang sekarang masih dalam tahap pengembangan. Dalam kegiatan ini perusahaan sedang membangun pembangkit listrik tenaga bio gas yang diperoleh dari konversi limbah cair pabrik tapioka. Pembangkit listrik yang dibangun di 8 pabrik tapioka di Lampung tersebut nantinya dapat memenuhi kebutuhan energi perusahaan. Selain itu dengan proyek-proyek anaerobik yang dapat mengubah limbah singkong menjadi gas metana yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik tenaga gas. Pembangkit listrik ini dapat menghasilkan listrik yang dapat digunakan untuk kebutuhan pabrik sendiri. Proyek ini juga dapat mengurangi efek rumah kaca. Rencana-nya proyek-proyek ramah lingkungan ini akan didaftarkan ke UNFCCC (United Nations Framework Convention in Climate Change) atau salah satu badan PBB yang menangani tentang perubahan iklim, sebagai bagian dari Clean Development Mechanism (CDM) sebagai upaya penyelamatan lingkungan.

Pada dasarnya pembangkit listrik tenaga biogas ini sangat memberikan manfaat bagi perusahaan, di antaranya memberikan pasokan listrik yang stabil, biaya yang lebih murah dibandingkan dengan menggunakan generator listrik, pemanfaatan limbah merupakan salah satu upaya untuk ikut serta dalam penyelamatan lingkungan, dan beberapa manfaat lainnya. Namun salah satu hal penting dengan pengembangan ini adalah perusahaan akan menerima sertifikat Certified Emission Reduction (CER) yang dibutuhkan oleh negara-negara maju untuk mengurangi efek rumah kaca yang nanti-nya dapat membantu kemajuan perusahaan. Saat ini setidaknya perusahaan telah berhasil membangun pembangkit listrik bio gas di 8 tempat yakni Way Abung, Tulang Bawang, Gunung Agung, Pakuan Agung, Ketapang, Terbanggi, Way Jepara dan Unit 6 yang semuanya berada di Lampung.

Kontroversi sunting

Perusahaan ini sempat terlibat kontroversi seperti isu pencemaran lingkungan ke sungai dari pabriknya yang ada di Way Seputih, Lampung Tengah.[20]

Lihat juga sunting

Rujukan sunting

Pranala luar sunting