Besi Merah Putih (dikenal pula dengan singkatan BMP) adalah nama resmi milisi pro-Indonesia yang beroperasi di distrik Liquiçá dan dirintis di desa Maubara.

Aksi sunting

BMP merupakan salah satu milisi yang paling ditakuti di Timor Timur dan bertanggung jawab atas aksi pembakaran rumah, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan penindasan ratusan warga Timor Timur selama masa penarikan militer Indonesia dari Timor Timur tahun 1999, serta masa-masa menjelang referendum kemerdekaan. BMP dipimpin oleh Manuel de Sousa, warga Timor Timur yang mendukung pemerintahan Indonesia di Timor Timur. Beberapa bulan menjelang referendum kemerdekaan, BMP memegang kendali absolut di daerah sekitar Liquica dan kota Liquica itu sendiri. Pada bulan Maret 1999, pihak pemantau internasional yang bekerja di Liquica, termasuk beberapa polisi Amerika Serikat yang bekerja untuk Kepolisian Internasional (sebagai pengamat tak bersenjata), mengeluarkan laporan bertuliskan, "Besi Merah Putih mengepung biara Karmelit di Maubara, sekitar 60 km di sebelah barat Dili, dari kemarin sampai hari ini. Milis mengancam 'akan membunuh biarawati yang keluar dari biara' karena mereka dituduh membantu pemberontak. Seorang pendeta membantah tuduhan tersebut dan berkata bahwa para biarawati memberi bantuan untuk siapapun yang memerlukan bantuan 'tanpa melihat warna kulit, ideologi, atau agama'."[1]

Sebelum melakukan pembunuhan, anggota-anggota BMP mengaku bahwa mereka akan minum koktil alkohol, darah hewan, dan narkoba. Sejumlah mantan anggota juga mengaku mengoleksi trofi dari korban yang mereka bunuh, biasanya telinga atau penis.[2] Aksi pembunuhan paling terkenal yang melibatkan BMP adalah Pembantaian Gereja Liquica yang menewaskan lebih dari 200 warga sipil.

Intervensi internasional sunting

Setelah intervensi oleh pasukan militer internasional yang dipimpin Australia dan Selandia Baru pada pertengahan 1999, para anggota BMP mundur ke hutan hujan Timor Timur atau melintas perbatasan ke teritori Indonesia di Timor Barat. Banyak anggota yang kemudian ditangkap oleh Kepolisian Internasional melalui kerja sama terpadu dengan otoritas Indonesia. Sebagian besar anggotanya diadili karena terlibat dalam Pembantaian Gereja Liquica setelah pengangkatan jenazah dan investigasi pembunuhan oleh UNTAET Crime Scene Detachment pada akhir 1999 sampai 2000.

Sebagian anggota lain berusaha bergabung lagi dengan masyarakat desanya di Timor Timur, namun diusir atau dibunuh oleh warga desa yang marah. Beberapa di antaranya berhasil menetap lagi di desa Buku Mara dan Bazartete. Mereka mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan untuk warga desa lain, pemotong dan pengumpul kayu bakar, atau pembantu. Akan tetapi, banyak anggota yang terintegrasi mendadak hilang. Otoritas internasional tidak dapat memastikan keberadaannya ketika hendak mewawancarai mereka. Mereka diduga telah dibunuh oleh warga desa sebagai balasan terhadap aksi kekerasan sebelumnya terhadap masyarakat desa.

Referensi sunting

Pranala luar sunting