Banjir besar Gun-Yu

Banjir Besar Gun-Yu, suatu kisah banjir besar yang berkaitan dengan legenda Gun-Yu,[1] merupakan peristiwa banjir besar yang berlangsung hingga setidaknya dua generasi. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk secara besar-besaran yang diikuti bencana lainnya, seperti badai dan kelaparan. Penduduk meninggalkan rumah mereka dan tinggal di bukit-bukit dan gunung-gunung, atau membangun sarang di pepohonan.[2] Menurut sumber-sumber mitologis dan sejarah, kejadian ini terjadi sekitar milenium ke-3 SM pada masa pemerintahan Kaisar Yao.

Kisah Banjir Besar dan berbagai tindakan heroik untuk menanggulanginya menjadi suatu cerita fundamental dalam budaya Tiongkok. Banjir Besar Gun-Yu merupakan salah satu kunci untuk mengerti sejarah pendirian Dinasti Xia dan Zhou, sebagai salah satu tema utama mengenai banjir dalam mitologi Tiongkok, dan sebagai sumber utama kiasan dalam puisi klasik Tiongkok.[1]

Iktisar sunting

Cerita banjir besar memainkan peran yang dramatis dalam mitologi Tiongkok dan menjadi salah satu motif mitos air bah di seluruh dunia. Cerita banjir dalam mitologi Tiongkok memiliki fitur yang sama, meskipun agak kurang memiliki konsistensi internal dan memasukkan berbagai transformasi magis serta campur tangan dewa atau setengah dewa seperti Nüwa.[3] Dalam versi banjir besar Gun-Yu, banjir umumnya disebabkan oleh kejadian alam dan bukan oleh tema universal "hukuman akibat dosa manusia". Motif berbeda yang lain adalah penekanan pada usaha-usaha heroik dan terpuji dalam rangka meredakan bencana tersebut.[1] Banjir diredakan dengan membangun tanggul dan bendungan (sebagaimana usaha yang dilakukan oleh Gun), menggali kanal (sebagaimana yang dirancang oleh Yu yang Agung), melebarkan dan memperdalam kanal-kanal yang sudah ada, serta mengajarkan keahlian tersebut kepada orang lain.

Motif kunci lainnya adalah kemajuan peradaban dan perbaikan kondisi manusia disamping bencana air bah yang dialami.[1] Selama masa menghadapi, bertahan diri, dan akhirnya mampu mengatasi masalah banjir, banyak kemajuan yang dibuat terutama dalam hal pengaturan tanah, mengontrol hewan liar, dan teknik pertanian. Kemajuan-kemajuan tersebut serta kemajuan lainnya merupakan bagian integral dari cerita serta memberikan pengaruh yang lebih luas pada kondisi kesehatan dan sosial manusia dibandingkan sekadar persiapan bencana banjir dan efeknya yang langsung. Menurut legenda, peningkatan kondisi sosial masyarakat tidak hanya menghasilkan terjalinnya kerja sama dan usaha-usaha berskala luas dalam mengontrol banjir, melainkan juga menyebabkan berdirinya negara pertama di Tiongkok, yaitu Dinasti Xia (± 2070 – ± 1600 SM).

Kisah sunting

Awal mula terjadinya banjir sunting

 
Kaisar Yao. Inskripsi di samping gambar diterjemahkan menjadi: "Dewa Yao, Fang Xun, merupakan Surga sendiri yang berwujud manusia, dan bijak laksana sesosok makluk suci; berdekatan dengannya laksana mendekati matahari, memandang dirinya bagaikan menatap awan-awan".[4]

Banjir besar dimulai pada masa pemerintahan Kaisar Yao, suatu banjir yang sangat luas sehingga tidak ada sejengkal pun daerah kekuasaan Yao yang terhindar, dan lembah Sungai Kuning maupun lembah Yangtze keduanya terbanjiri.[5] Banjir tersebut dideskripsikan sebagaimana kutipan berikut:

Menurut sumber historis maupun mitologis, banjir terus terjadi tanpa belas kasihan. Yao bermaksud mencari orang yang dapat mengontrol banjir sehingga meminta nasihat kepada penasihat -atau para penasihatnya, yaitu sang Empat Gunung (四嶽 atau 四岳, Sìyuè). Setelah berunding, keempatnya memberikan bebera nasihat kepada Kaisar Yao tetapi tidak ada yang diterima.

Yao menunjuk Gun sunting

Karena desakan Empat Gunung, dan setelah keragu-raguan Yao di awal, orang yang ditunjuk Yao untuk mengontrol banjir adalah Gun, Pangeran dari Chong, yaitu kerabat jauh Yao karena sama-sama keturunan Kaisar Kuning.[5]

Usaha-usaha Gun sunting

Berdasarkan versi utama legenda, rencana Gun untu mengontrol banjir adalah dengan menggunakan tanah yang secara ajaib dapat terus-menerus bertambah banyak atau Xirang. Ia memperolehnya dengan cara mencuri dari Dewa Tertinggi; yang membuat Dewa Tertinggi menjadi marah karena ulahnya.[1] Tahun-tahun berlalu, Gun berkali-kali menggunakan xirang untuk membuat dam, terusan, dan tanggul dalam usahanya untuk menahan dan membarikade air bah, tetapi ia tidak pernah dapat mengurangi masalah Banjir Besar. Kegagalannya dalam meredakan banjir, entah disebabkan oleh kemarahan dewa atau teknik hidrologisnya yang tidak sempurna, tetap menjadi pertanyaan tidak terjawab meskipun telah dikemukakan lebih dari dua ribu tahun yang lalu oleh Qu Yuan dalam "Pertanyaan-pertanyaan Surgawi" yang ia tulis.[1]

Shun memperoleh kekuasaan sunting

 
Sebuah gambaran sistem zhou atau "pulau-pulau" (sekarang diinterpretasikan ulang sebagai "provinsi"), suatu sistem yang dianggap dikembangkan oleh Shun sebagai alat untuk mengatur administrasi politik suatu wilayah yang tidak bisa berkomunikasi akibat banjir yang berkelanjutan, meskipun jumlah dan lokasi zhou bervariasi dari waktu ke waktu.

Bahkan setelah sembilan tahun Gun berusaha mengendalikan banjir, air bah masih terus mengganas sehingga menyebabkan berbagai jenis gangguan sosial yang terjadi semakin bertambah. Dampak lainnya adalah proses administrasi kekaisaran menjadi semakin sulit. Pada titik ini, Yao menawarkan tahtanya kepada (para) penasihat khususnya, Empat Gunung. Namun, Empat Gunung menolak dan merekomendasikan Shun –kerabat jauh lain dari Yao melalui Kaisar Kuning. Meskipun memiliki garis keturunan kerajaan, kehidupan Shun tidak begitu jelas.[5]

Sebelumnya menjalankan nasihat Empat Gunung, Yao bermaksud menguji Shun melalui serangkaian tes, yang diawali dengan menikahkan Shun dengan kedua putrinya serta diakhiri dengan mengirimnya turun dari pegunungan ke dataran di bawahnya sehingga Shun harus menghadapi angin, guntur, dan hujan lebat. Setelah lulus dalam semua ujian yang diberikan Yao, serta karena telah menjalankan pernikahan yang harmonis dengan kedua putri Yao, Shun mengambil tanggung jawab administratif sebagai kaisar yang memerintah bersama-sama dengan Yao. Salah satu dari tanggung jawabnya adalah mengatasi Banjir Besar dan segala gangguan yang berhubungan dengannya, terutama karena Gun telah gagal memperbaiki situasi meskipun telah bekerja selama sembilan tahun. Empat tahun selanjutnya digunakan Shun untuk mengorganisir ulang kekaisaran sehingga dapat memecahkan masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan banjir. Ia membawa otoritas kekaisaran ke posisi yang lebih baik untuk berurusan dengan banjir beserta dampak-dampaknya.[5]

Meskipun Shun telah mengorganisir (atau mere-organisir) wilayah-wilayah banjir yang terus meluas menjadi zhou atau "pulau" (cikal bakal zhou modern atau "provinsi", keduanya ditulis menggunakan akasara yang sama yaitu ) dapat meringankan sebagian kesulitan administratif untuk mengatasi berbagai masalah, kenyataannya tambahan waktu empat tahun masih belum bisa digunakan Gun untuk mengatasi banjir yang terus terjadi, bahkan permukaan air masih terus bertambah tinggi. Gun bersikeras menahan aliran air dengan tanggul-tanggul dan menggerakkan masyarakat untuk bekerja lebih keras lagi dan membangun lebih banyak tanggul serta meninggikannya lagi. Tidak hanya itu, Gun juga mempertanyakan legitimasi Shun sebagai penguasa karena latar belakangnya yang sederhana.[5]

Tindakan-tindakan Shun sunting

 
Kaisar Shun melakukan ritual meramal di Istana, dihadiri oleh Yu

Setelah memegang tampuk kekuasaan, hal pertama yang dilakukan oleh Shun adalah mereformasi kalender. Selanjutnya, selama sebulan ia mengadakan berbagai pertemuan, upacara, dan tanya jawab di ibu kota kerajaan bersama "Empat Gunung" dan para kepala, pemimpin, atau pangeran dari keluarga-keluarga penguasa wilayah, klan-klan, marga, suku-suku, dan negara-negara.[5]

Shun kemudian berangkat menuju Gunung Tai sebagai permulaan perjalanannya untuk menginspeksi wilayah-wilayah yang terkena banjir. Di sana, ia bertemu dengan para pangeran dari wilayah sebelah timur. Setelah melakukan upacara-upacara keagamaan tertentu, ia melakukan standardisasi berat, ukuran, dan ritual. Ia melakukan hal yang sama di wilayah selatan, barat, dan utara, melakukan pertemuan di gunung-gunung suci masing-masing daerah bersama para pangeran dan pemimpin di wilayah tersebut, serta melakukan standardisasi aturan, ukuran, dan praktik-praktik mereka. Semua tindakan tersebut dapat dipandang sebagai persiapan dalam menghadapi banjir, karena usaha ini membutuhkan sinkronisasi berlevel tinggi dan aktivitas terkoordinasi pada suatu wilayah yang luas. Pengaturan waktu disinkronkan melalui reformasi kalender, dan ukuran-ukuran perteknikan menjadi mungkin dengan dilakukannya standardisasi berat serta ukuran.[5]

Di akhir tahun, Shun kembali ke tahta kerajaan, dan setelah mempersembahkan lembu jantan sebagai kurban di kuil leluhurnya, ia kemudian menjalankan rencana yang ia kembangkan selama perjalanannya melakukan inspeksi. Salah satunya adalah membagi kerajaan menjadi dua belas unit administratif (zhou), masing-masing diatur dari gunung tertinggi di wilayah tersebut.[5] Hal ini tidak dapat disangkal lagi menjadi tindakan yang sangat berguna dalam menghadapi air bah yang terus meningkat dan tidak dapat diprediksikan. Tindakan lain yang dilakukan Shun adalah melakukan reformasi administratif.

Kematian Gun dan kelahiran Yu sunting

Kegagalan-kegagalan Gun dalam mengontrol air bah dan karena ia mempertanyakan legitimasi kepemimpinan Shun, ia dipandang sebagai orang yang keras kepala dan kolot. Oleh karena itu, sebagai bagian dari reformasi administratifnya, Shun membuang Gun ke Gunung Bulu. Banyak versi perihal pembuangan Gun; tetapi semuanya memiliki satu persamaan yaitu Gun kehilangan kehidupannya sebagai manusia di Gunung Bulu. Salah satu versi menyebutkan dirinya dieksekusi oleh Zhu Rong hingga tewas, atau mengalami transformasi wujud menjadi seekor beruang kuning, kura-kura berkaki tiga, atau seekor naga kuning.[3] Selanjutnya, Gun memiliki putra bernama Yu yang melanjutkan pekerjaan ayahnya mengatasi banjir. Berbagai versi legenda kelahiran Yu yang ajaib tidak dapat dijadikan fakta historis.

Yu Agung mengontrol banjir sunting

 
Yu Agung bersama manusia dan penyunya yang terkait, menghadapi banjir. Relief di luar Laboratorium Sumber Daya Air dan Tenaga Hydro, Universitas Wuhan (2005)

Yu mencoba cara lain dalam menjalankan proyek penanggulangan banjir dan akhirnya memperoleh kesuksesan serta membuatnya dikenal di sepanjang sejarah Tiongkok. Karena hal ini, peristiwa Banjir Besar Gun-Yu juga biasa disebut "Yu Agung Mengontrol Air" (Hanzi: 大禹治水; Pinyin: Dà Yǔ Zhì Shuǐ). Cara yang dilakukan Yu lebih fokus kepada pembuatan saluran air dibandingkan pembuatan bendungan dan tanggul. Menurut versi yang lebih fantastis, ia juga menundukkan berbagai makluk supernatural serta membutuhkan bantuan makluk supernatural yang lain, misalnya seekor naga penggali terusan dan seekor kura-kura (atau penyu) pengangkut lumpur.

Berbagai versi legenda menyebutkan bahwa Yu memperoleh bantuan dari berbagai sumber yang membantunya mengatasi banjir besar hingga berhasil. Hebo, dewa penguasa Sungai Kuning, memberinya peta sungai tersebut beserta sekelilingnya sehingga membantu Yu dalam menyusun rencana. Alternatif lain, peta Sungai Kuning diberikan oleh Houtu.[1]

Setelah banjir berakhir sunting

Setelah berhasil mengontrol air bah, Yu menjadi kaisar tunggal dan mendirikan Dinasti Xia. Tradisi raja Tiongkok digantikan oleh putra sulungnya dimulai semenjak Yu digantikan oleh putranya, yaitu Kaisar Qi dari Xia. Sebelum hal itu terjadi, pada suatu ketika setelah Yu menyelesaikan tugasnya mengendalikan banjir, ia konon mengumpulkan semua pahlawan/dewa yang terlibat dalam pekerjaannya di Gunung Guji (kini berada di wilayah Zhejiang). Saat Fangfeng datang terlambat, Yu menyuruhnya dieksekusi — nantinya diketahui bahwa ternyata Fangfeng datang terlambat karena ia harus berhenti untuk melawan banjir lokal yang ia temui di tengah perjalanannya.

Akuisisi peradaban pertanian sunting

Selain motif mengontrol air bah, motif lain yang menjadi karakteristik istimewa dari legenda banjir Tiongkok adalah akuisisi peradaban pertanian. Hal ini termasuk penunjukan Ji Qi (selanjutnya disebut Houji) sebagai Menteri Pertanian yang dikisahkan dalam beberapa versi. Versi-versi lain menjelaskan secara detail bahwa jumlah penduduk yang selamat dari banjir berjumlah sangat sedikit, yaitu sekitar dua hingga beberapa individu saja. Individu-individu tersebut akhirnya mengisi kembali dunia paska-bencana serta memperoleh benih padi-padian atau api.[1] Tokoh lain yang berhubungan dengan pertanian dalam hal ini adalah Yi, juga dikenal sebagai Boyi atau Bo Yi.

Warisan budaya sunting

Sejarah sunting

Kisah Banjir Besar pada masa Tiongkok prasejarah menyediakan beberapa pandangan mengenai perkembangan sosial selama masa tersebut. David Hawkes memberikan komentar bahwa berbagai versi mengenai legenda Gun-Yu sepertinya mengontraskan antara kesuksesan dan kegagalan, atau setidaknya perbedaan antara Gun si ayah dengan Yu putranya. Ia mengajukan interpretasi simbolik mengenai suatu transisi sosial. Dalam kasus ini, Gun mewakili suatu masyarakat pada tahapan teknologi yang lebih awal, yang mengerjakan pertanian berskala kecil pada tanah subur tepat di atas rawa-rawa dataran banjir Sungai Kuning dan anak-anak sungainya. Dari sudut pandang ini, tanah ajaib Xirang dapat dipahami sebagai sejenis kebun apung yang terbuat dari tanah, semak belukar, dan bahan-bahan sejenisnya. Yu dan pekerjaannya mengontrol banjir melambangkan masyarakat lebih baru yang menguasai inovasi teknologi sehingga dapat mengubah dataran banjir menjadi lahan subur untuk pertanian. Hawkes menjelaskan bahwa transformasi ajaib permukaan bumi yang dideskripsikan dalam legenda sebagai perlambang suatu sistem jaringan drainase yang secara permanen melenyapkan area rawa sehingga dapat digunakan untuk pertanian.[7]

Penetapan tanggal sunting

 
Xihe bersaudara memperoleh perintah dari Kaisar Yao untuk menyusun kalender

Sejarawan K.C. Wu percaya bahwa "Kanon Yao" (yaodian) dalam Shu Jing memiliki nilai sejarah, meskipun merupakan tulisan "generasi kedua" serta telah mengalami rekonstruksi atau diedit dan diinterpolasi secara besar-besaran jika dibandingkan naskah generasi pertama yang seharusnya selamat dari "Api Qin". Naskah "generasi pertama" diduga tetap disembunyikan selama seabad hingga akhirnya tanpa sengaja ditemukan dan diserahkan kepada keturunan Konfusius. K.C. Wu sadar bahwa yaodian bukanlah salinan langsung dari naskah yang asli, tetapi ia berpendapat bahwa naskah "generasi kedua" ini disalin dari sumber otentik yang sama sebagaimana naskah "generasi pertama", bahkan mungkin hingga batas tertentu didasarkan pada naskah yang asli. Namun, faktor penting yang dianggap Wu menjadi konfirmasi obyektif di luar teks mengenai "Kanon Yao" (dan dengan demikian termasuk naskah "generasi kedua") berkaitan langsung dengan penetapan tanggal Banjir Besar, yaitu sekitar tahun 2200 SM. Penanggalan tersebut didasarkan dari proses membandingkan data astronomi dalam naskah dengan analisan astronomikal atau asrofisikal modern.[5]

Pada awal pemerintahannya, Yao menunjukkan empat pejabat menteri (dua pasang dari dua bersaudara) untuk melakukan observasi astronomi yang dibutuhkan untuk memperbaharui kalender. Masing-masing individu dikirim ke batas wilayah kerajaan menurut arah mata angin untuk mengobservasi bintang-bintang tertentu yang muncul saat matahari tenggelam pada masa titik balik matahari dan ekuinoks. Hasil yang diperoleh selanjutnya dibandingkan untuk menetapkan penanggalan yang baru. K.C. Wu mengutip referensi dari dua astronomer modern yang mengonfirmasi masa pemerintahan Yao adalah sekitar tahun 2200 SM, yang juga dapat diterima oleh tradisi.[5]

Lihat pula sunting

Interwiki sunting

  • 息壤 Artikel Xirang dari Wikipedia Tiongkok.

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h Yang Lihui, dkk (2005). Handbook of Chinese Mythology. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-533263-6. 
  2. ^ Richard E. Strassberg (2002). A Chinese bestiary : strange creatures from the guideways through mountains and seas. Berkeley dan Los Angeles, California: University of California Press. ISBN 0-520-21844-2. 
  3. ^ a b Christie, Anthony (1968). Chinese Mythology. Feltham: Hamlyn Publishing. ISBN 0-600-00637-9. 
  4. ^ Birrell. Chinese Mythology, hal. 71. ISBN 0-8018-6183-7. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k Wu, K.C. (1982). The Chinese Heritage. New York: Crown Publishers. ISBN 0-517-54475-X. 
  6. ^ Yong Yap Cotterell dan Arthur Cotterell (1975). The Early Civilization of China. New York: G.P.Putnam's Sons. ISBN 0-399-11595-1. 
  7. ^ Hawkes, David (2011 [1985]). The Songs of the South: An Ancient Chinese Anthology of Poems by Qu Yuan and Other Poets. London: Penguin Books. ISBN 978-0-14-044375-2. 

Bacaan lanjutan sunting

  • Lewis, Mark Edward (2006). The Flood Myths of Early China. Albany: State University of New York Press. ISBN 0-7914-6663-9.