Bani Ghatafan

(Dialihkan dari Bani Ghathafan)

Bani Ghatafan (Arab: بنو غطفان) merupakan salah satu kabilah keturunan suku Mudlar dari jalur suku Qais 'Ailan. Pada masa paganisme, Bani Ghatafan merupakan penyembah berhala bernama Al-Uzza. Bani Ghatafan merupakan salah satu kabilah terkuat di Jazirah Arab bagian utara. Pada masa awal kenabian Muhammad ﷺ , Bani Ghatafan berperang melawan kaum muslimin selama Pertempuran Khandaq danPertempuran Khaibar. Setelah kemenangan kaum muslimin atas Kekaisaran Romawi Timur, banyak anggota Bani Ghatafan yang menjadi muslim. Namun, kemurtadan mulai terjadi setelah meninggalnya Nabi Muhammad ﷺ dan munculnya nabi-nabi palsu.

Hubungan kekerabatan sunting

Bani Ghatafan merupakan sebuah kabilah yang berasal dari keturunan suku Qais 'Ailan. Suku Qais sendiri merupakan hasil perkembangan dari Suku Mudlar. Bani Ghatafan memiliki hubungan kekerabatan dengan Bani Hawazin dan Bani Sulaim dari suku Qais 'Ailan. Kedua suku ini menghuni wilayah Najd bagian barat. Bani Ghatafan sendiri menghasilkan dua kabilah lagi, yaitu Kabilah Ash dan Kabilah Zubyan.[1]

Kepercayaan sunting

Kabilah-kabilah dari Bani Ghatafan melakukan paganisme dengan menyembah berhala bernama Al-Uzza. Al-Uzza adalah sebuah berhala yang terbuat dari kayu yang diambil dari pohon samurah yang dimiliki oleh Bani Ghatafan. Letak Al-Uzza berada di bagian timur Makkah pada suatu tempat bernama Wadi Nakhlah.[2] Bani Ghatafan membuatkannya tempat persemayaman yang menyerupai Ka'bah dan menamainya Ka'batu Ghatafan. Nama ini berarti ka'bah bagi masyarakat Ghatafan. Masyarakat pagan dari Suku Quraisy dan Bani Tsaqif juga menghormati Al-Uzza.[3]

Kebiasaan sunting

Membentuk konfederasi sunting

Bani Ghatafan merupakan salah satu kabilah terkuat di Jazirah Arab.[4] Bani Ghatafan merupakan salah satu suku yang menghuni wilayah Jazirah Arab bagian utara. Kebiasaan suku-suku di bagian utara Jazirah Arab adalah membentuk konfederasi. Suku yang lebih kuat melindungi suku yang lebih lemah setelah ada permintaan perlindungan. Bani Ghatafan telah membentuk konfederasi dengan suku lain di wilayah yang sama, antara lain dengan Bani Thaiyyi' dan Bani Taghlib.[5] Kabilah Bani Gathafan juga terdapat di Khaibar. Mereka hidup bersama dengan anggota klan-klan Yahudi. Jumlah anggota yang hidup bersama Bani Ghatafan hanya sedikit karena lebih mengutamakan tinggal di Madinah.[6]

Masa Kenabian Muhammad sunting

Pertempuran Khandaq sunting

Pada Pertempuran Khandaq, Bani Ghatafan bergabung sebagai sekutu dari kaum musyrikin Suku Quraisy yang berjumlah empat ribu orang. Bani Ghatafan membentuk pasukan sebanyak enam ribu orang bersama dengan Bani Sulaim, Bani Asad, Bani Fazarah, dan Bani Asyja'. Bani Quraizahah dari kalangan Yahudi juga bergabung dengan kaum musyrikin. Pertempuran Khandaq dimulai pada bulan Syawal tahun ke 5 Hijriah.[7] Total pasukan gabungan ini mencapai sepuluh ribu orang.[8] Ketiga pihak ini mengawali pengepungan atas Madinah sambil menunggu waktu yang tepat untuk menerobos. Pengepungan ini akhirnya berlangsung selama beberapa hari, karena Madinah dikelilingi oleh parit.[9] Bani Ghatafan melakukan pengepuan atas Madinah dari kawasan Najd.[10]

Setelah sekitar 20 hari pengepungan Madinah, Nabi Muhammad berencana mengirim utusan kepada dua pemimpin Bani Ghatafan. Keduanya ialah Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin Auf. Kesepakatan yang akan dibuat oleh Nabi Muhammad adalah meminta seluruh pasukan Bani Ghatafan membatalkan pengepungan. Imbalan yang dijanjikan ialah memberikan sepertiga hasil panen di Madinah kepada Bani Ghatafan.[11] Nabi Muhammad terlebih dahulu mengadakan musyawarah dengan pemimpin Bani Aus dan Bani Khazraj. Bani Aus diwakili oleh Sa’ad bin Mu’adz, dan Bani Khazraj diwakili oleh Sa’ad bin Ubadah. Namun, usulan perdamaian kepada Bani Ghatafan oleh Nabi Muhammad ditolak oleh kedua pemimpin ini.[12]

Pertempuran Khaibar sunting

Pertempuran Khaibar merupakan salah satu konflik antara kaum Muslimin di Madinah dengan kaum Musyrikin di Khaibar. Letak Khaibar berada di luar Madinah. Dalam persiapan pertempuran ini, Bani Ghatafan menjadi sekutu Bani Quraisy dan Bani Quraizhah.[13] Serangan oleh Bani Ghatafan dilakukan dari arah timur Madinah. Sedangkan Bani Quraisy menyerang dari arah selatan bersama dengan sekutunya. Sementara Bani Quraizhah menyerang dari dalam Madinah.[14]

Penerimaan atas keislaman sunting

Bani Ghatafan menjadi salah satu kabilah bangsa Arab yang mulai simpati kepada ajaran Islam setelah kaum muslimin memperoleh kemenangan atas pasukan Kekaisaran Romawi Timur. Rasa simpati ini mengubah kebencian dan permusuhan Bani Ghatafan, sehingga anggota kabilahnya sedikit demi sedikit menyatakan keinginan untuk menjadi muslim.[15]

Kemurtadan dan nabi palsu sunting

Bani Ghatafan menjadi salah satu kabilah yang mendukung Thulaihah al-Asadi sebagai nabi setelah wafatnya Nabi Muhammad. Suku-suku lainnya yang turut mendukung ialah Bani Asad, Bani Tha'i, dan Bani Fazarah.[16] Dukungan Bani Ghatafan dan Bani Asad atas Tulaihah merupakan akibat dari keimanan yang lemah. Ajaran Tulaihah kemudian mulai diikuti oleh kabilah-kabilah lain yanga ada di Madinah.[17] Tulaihah didukung oleh Bani Abas, Bani Zubyan, Bani Judailah, Bani Ghauts dan Bani Tha'i. Masing-masing dari kabilah ini mengirimkan pasukan sehingga membentuk pasukan Tulaihah.[18]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Majid, Abd. (September 2020). Wahid, A., dan Fajarni, S., ed. Sosiologi Agama: Menyelami Pemahaman Berbagai Masyarakat Beragama (PDF). Banda Aceh: Forum Intelektual al-Qur’an dan Hadits Asia Tenggara. hlm. 71–72. ISBN 978-602-524-759-0. 
  2. ^ Aziz, Abdul (Mei 2016). Baedowi, Ahmad, ed. Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan pada Zaman Awal Islam. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 168. ISBN 978-602-9193-85-5. 
  3. ^ Thaib, Zamakhsyari Bin Hasballah (2020). Akbar, Aulia, ed. Adat Kebiasaan Bangsa Arab dalam Pembahasan Al-Qur'an (PDF). Medan: Undhar Press. hlm. 63–64. ISBN 978-623-95762-6-4. 
  4. ^ Hamka (2001). Tafsir Al-Azhar Jilid 8 (PDF). Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd. hlm. 5624. ISBN 9971-77-285-X. 
  5. ^ Wilaela (Agustus 2016). Hasbullah, ed. Sejarah Islam Klasik (PDF). Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau. hlm. 64. ISBN 978-602-6302-02-1. 
  6. ^ Husni, Munawir (2020). Arifin, Yanuar, ed. Perempuan Madinah. Yogyakarta: DIVA Press. hlm. 248. ISBN 978-602-391-413-5. 
  7. ^ Zulyadain dan Sugiarto, F. (Oktober 2021). Muhammad, ed. Sirah Nabawiyah (PDF). Mataram: Sanabil. hlm. 124. ISBN 978-623-317-166-3. 
  8. ^ Haryanto (2014). Allah the Center of Life: Merenungi Kedalaman Spirit Ayat Kursi. Jakarta: Al-Kautsar. hlm. 184–185. ISBN 978-979-592-667-2. 
  9. ^ Asma', M., dan Awani, J. Kisah Keteladanan dan Hikmah Terbaik: Para Sahabat Rasulullah SAW. Laksana. hlm. 30. 
  10. ^ Basuki, Yoyok Rahayu. Kisah Nabi Muhammad SAW. hlm. 222–223. 
  11. ^ Abdullah, Rachmad (Desember 2017). Tinta Emas Sejarah: Perseteruan Ahlul Haq Melawan Ahlul Bathil Sejak Nabi Adam hingga Abad 14 H. Solo: Al-Wafi Publishing. hlm. 153. ISBN 978-979-1093-48-4. 
  12. ^ Hasanuddin (Desember 2019). Kearifan Lokal Sumatera Barat dalam Rangka ABS SBK Edisi 1: Musyawarah dan Kepemimpinan (PDF). Padang: CV. Swid Digital Printing. hlm. 7. ISBN 978-602-53830-1-4. 
  13. ^ Siswantoro, Dodik (Agustus 2020). Wealth Management (Manajemen Harta) Rasulullah SAW: Metode Pembelajaran dari Hal yang Belum Pernah DIbahas. Sleman: Phoenix Publisher. hlm. 91. ISBN 978-623-7688-23-5. 
  14. ^ Darussamin, Z., dan Rahman (Oktober 2021). Kuliah Ilmu Hadis III (PDF). Sleman: Kalimedia. hlm. 91. 
  15. ^ Istikomah dan Romadlon, D. A. (Agustus 2019). Sartika, S. B., dan Multazam, M. T., ed. Sejarah Kebudayaan Islam (PDF). Sidoarjo: UMSIDA Press. hlm. 108. ISBN 978-623-7578-16-1. 
  16. ^ Haikal, Muhammad Husain (2007). Biografi Abu Bakar ash-Shiddiq: Khalifah Pertama yang Menentukan Arah Perjalanan Umat Islam Sepeninggal Rasulullah. Diterjemahkan oleh Mahdamy, Abdul Kadir. Jakarta Timur: Qisthi Press dan Pustaka Mantiq. hlm. 144. ISBN 978-979-3715-99-5. 
  17. ^ Taufiqurrohman dan Tim Pusat Ilmu. Daftar Nabi-Nabi Palsu. hlm. 30. 
  18. ^ Murad, Mushthafa (2009). Riyadi, Dedi Slamet, ed. Kisah Hidup Abu Bakar al-Shiddiq. Jakarta: Zaman. hlm. 170. ISBN 978-979-024-068-1.