Babad Blambangan adalah karya sastra klasik yang berasal dari daerah Blambangan.[1][2] Daerah Blambangan merupakan negeri yang dikelilingi oleh laut.[3] Daerah ini di luar batas Gunung Bromo dan Lamajang.[3]

Babad adalah kumpulan dari tulisan-tulisan bahasa kias yang bermuatan cerita-cerita sejarah.[4] Babad Blambangan adalah karya sastra yang berisi data-data sejarah di sekitar Blambangan.[2] Babad blambangan bukan merupakan satu karangan utuh namun kumpulan dari beberapa babad yang ditulis pada tahun yang berbeda-beda.[2] Aksara yang dipakai untuk menulis babad adalah aksara Jawa, Bali, Pegon dan Latin.[2] Babad-babad yang menyusun Babad Blambangan adalah Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu dan Babad Notodiningratan.[5]

Wilayah Blambangan dapat dilihat dari puncak Gunung Bromo.

Babad Sembar sunting

Babad Sembar ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Bali.[2] Babad Sembar berisi tentang silsilah mengenai raja-raja Kerajaan Blambangan.[2] Babad sembar dapat dibagi menjadi dua bagian utama.[2] Bagian pertama terdiri dari 10 bait yang mengungkapkan bahwa ada lima-enam angkatan sebelum Tawang Alun.[2]

Dalam bagian pertama juga dapat ditemukan bahwa nama Tawang Alun tidak hanya satu.[2] Bagian ini menceritakan bahwa terjadi perpindahan ibu kota kerajaan sampai 3 kali, yaitu mulai dari Tepasana (Lumajang) menuju Puger, Jember dan akhirnya berpindah lagi ke wilayah semula.[2]

Bagian kedua dari babad ini merupakan kisah mengenai Tawang Alun dan Lanang Dhangiran. Lanang Dhangiran adalah pendiri keluarga bupati Surabaya.[2]

Babad Tawang Alun sunting

Babad Tawang Alun kira-kira dibuat antara tahun 1832-1841.[2] Babad Tawang Alun ditulis pada zaman Suranegara menjadi bupati Surabaya.[2] Menurut teks babad nenek moyang raja-raja Blambangan adalah pangeran-pangeran Kedhawung abad ke-17.[2] Tawang Alun merupakan putera dari Buyut Somani.[2] Dia mempunyai seorang saudara bernama Menak Sembuyu, tetapi keduanya tidak hidup rukun.[2]

Babad Bayu sunting

Babad Bayu ditulis oleh Wiraleksana pada tahun 1826.[2] Wiraleksa adalah seorang pedagang dari Lumajang.[2] Babad Bayu melukiskan segala macam tanda alam yang meramalkan kematian atau kegagalan yang akan menimpa seseorang.[2] Babad bayu juga menceritakan kisah-kisah perempuan yang menangisi kepergian atau kematian suaminya.[2] Kaitan sejarah dengan Blambangan, babad ini menceritakan penaklukan Blambangan dari pihak Madura.[2]

Babad Notodiningratan sunting

Pengaran Babad Notodiningratan adalah Raden Arya Tumenggung Natadiningrat.[2] Dia adalah bupati Banyuwangi dari tahun 1912 sampai tahun 1919 dan berasal dari Malang.[2] Babad ini termasuk babad modern karena menggunakan data-data sejarah Blambangan yang cukup akurat untuk menulisnya.[2] Babad ini menuliskan tentang sejarah panjang Blambangan yang sebagian sudah ditulis dalam babad-babad sebelumnya.[2]

Rujukan sunting

  1. ^ Purwasastra (1996). Cariyosipun tanah Balambangan jamanipun wong Agung Wilis. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN 978-979-459-609-8. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Winarsih Partaningrat (1995). Babad Blambangan. Yogyakarta: Bentang. 
  3. ^ a b Andri Cahyono (2011). "Sejarah Blambangan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-12. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  4. ^ "Kamus Besar Bahasa Indonesia". Diakses tanggal 12 Mei2014. 
  5. ^ Seno Gumira Ajidarma (2002). Surat dari Palmerah. Jakarta: Gramedia. ISBN 979-9023-73-4.