Auspicium adalah praktik dari agama Romawi kuno yang menafsirkan pertanda-pertanda dari pengamatan burung-burung (aves) yang terbang. Ketika seseorang, yang dikenal sebagai augur, menafsirkan tanda-tanda ini, hal itu disebut sebagai "mengambil auspicium". 'Auspicium' berasal dari kata dalam bahasa Latin auspicium dan auspex, secara harfiah berarti "seseorang yang melihat pada burung-burung."[1] Plinius yang Tua mengaitkan penemuan auspicium pada Tiresias, sang peramal dari Thiva, model umum peramal dalam masa budaya sastra Yunani-Romawi.[2]

Gambar seorang penunggang kuda yang percaya diri, dikelilingi oleh burung-burung pertanda baik sedang didekati oleh Nike pada kylix hitam dari Lakonia, ca. 550-530 SM

Praktik membaca pertanda ini sudah berusia satu milenium pada zaman Yunani Klasik. Dalam surat diplomatik dari abad keempat belas SM yang diawetkan di Mesir yang disebut "Surat Amarna", praktik ini sama dengan praktik Raja Alasia di Siprus yang membutuhkan seorang 'peramal elang' yang akan dikirim dari Mesir.[3] Lebih awal lagi, praktik meramal dari tanda-tanda burung, dilakukan oleh Calchas, peramal burung bagi Agamemnon, yang memimpin tentara (Iliad I. 69). Praktik ramalan Calchas sebagian besar diganti dengan ramalan melalui pemeriksaan hati dari lawan yang dikorbankan (disebut haruspicium) dalam periode Orientasi dari budaya Yunani kuno. Plato mencatat bahwa haruspicium lebih prestise daripada auspicium dengan perantara burung-burung.[4]

Salah satu auspicium paling terkenal adalah yang berhubungan dengan pendirian Roma. Setelah pendiri Roma, Romulus dan Remus, tiba di Bukit Palatium, keduanya berdebat mengenai posisi yang tepat dari kota nantinya. Romulus ingin membangun kota di atas Palatium, tapi Remus ingin membangun kota di atas Bukit Aventium yang strategis dan mudah dibentengi. Keduanya sepakat untuk menyelesaikan perdebatan mereka dengan menguji berdasarkan auspicium dan dengan kehendak dewa-dewa. Mereka masing-masing duduk di tanah yang terpisah satu sama lain, dan, menurut Plutarkhos, Remus melihat enam burung nasar, sementara Romulus melihat dua belas.

Sejarah sunting

Menurut kesaksian tak bernama dari sumber-sumber kuno, penggunaan auspicium sebagai sarana untuk menafsirkan kehendak para dewa lebih kuno daripada Roma itu sendiri. Penggunaan istilah ini biasanya dihubungkan dengan bangsa Latin dan Romawi. Meskipun beberapa sejarawan modern menghubungkan auspicium dengan Etruskan, Cicero dalam naskahnya De Divinatione menyebutkan beberapa perbedaan antara auspicium sistem Romawi dan Etruskan dalam menafsirkan kehendak para dewa. Cicero juga menyebutkan beberapa bangsa lain yang, seperti Romawi, memperhatikan pola terbang burung-burung sebagai tanda-tanda dari kehendak dewa, tetapi tidak pernah menyebutkan praktik ini saat membahas Etruskan.[5] Meskipun auspicium diperkirakan dari sebelum adanya Romawi, bangsa Romawi sering dikaitkan dengan auspicium karena hubungan antara auspicium dengan pendirian Roma dan karena bangsa Romawi adalah bangsa pertama yang mengambil sistem itu dan menerapkan aturan-aturan yang tetap dan fundamental dalam membaca auspicium, sehingga auspicium menjadi bagian penting dari budaya Romawi. Stoikisme, misalnya, menyatakan bahwa jika ada dewa-dewa, mereka peduli pada manusia, dan jika mereka peduli pada manusia mereka harus mengirim tanda-tanda pada manusia mengenai kehendak mereka.[6]

Posisi augur sunting

Pada masa Roma kuno, pengangkatan dan pelantikan setiap hakim, pengambilan keputusan dalam majelis rakyat, dan pelaksanaan kampanye militer selalu membutuhkan auspicium. Tidak seperti di Yunani tempat peramal berperan sebagai utusan para dewa, di Roma kehendak Jupiter ditafsirkan melalui burung-burung.[7][8] Auspicium menunjukkan pada bangsa Romawi hal-hal yang harus mereka lakukan atau yang tidak harus mereka lakukan, tanpa ada penjelasan atas keputusan yang dibuat, kecuali bahwa itu adalah kehendak dewa-dewa. Sulit untuk mengeksekusi setiap aturan umum tanpa berkonsultasi dengan auspicium.

Dipercaya bahwa jika seorang augur melakukan kesalahan dalam interpretasi tanda-tanda atau, vitia, itu dianggap menyinggung para dewa dan sering dikatakan berdampak bencana, kecuali jika diperbaiki.[9] Pemilihan, pengesahan undang-undang, dan inisiasi perang semua tertahan sampai orang-orang yakin bahwa para dewa setuju dengan tindakan mereka. Orang-orang yang menafsirkan tanda-tanda ini, yang mengungkapkan kehendak para dewa disebut augur. Serupa dengan preseden pengadilan, para augur menyimpan buku-buku yang berisi catatan-catatan dari tanda-tanda masa lalu, ritual-ritual dan doa-doa serta trik-trik lainnya yang diperlukan untuk membantu augur lain dan bahkan untuk membantu anggota aristokrasi memahami dasar-dasar auspicium.[10]

Augur bukanlah pengambil keputusan. Meskipun mereka memiliki kekuasaan untuk menafsirkan tanda-tanda, tanggung jawab pengambilan keputusan untuk tindakan yang akan dilakukan berada di tangan hakim.[11] Para hakim juga diharapkan dapat memahami interpretasi dasar karena mereka sering diharapkan untuk mengambil auspicium setiap kali mereka menangani urusan publik.[12]

Hingga 300 SM hanya anggota kelompok patrician yang dapat menjadi seorang augur. Majelis-majelis dari golongan rakyat jelata dilarang untuk melakukan auspicium dan karenanya tidak memberikan masukan kepada pemberlakuan hukum tertentu. Cicero, yang juga seorang augur, menyebutkan cara monopoli yang diciptakan para bangsawan sebagai penghalang untuk pelanggaran batas populares.[13] Tetapi, pada tahun 300 SM undang-undang baru Lex Ogulnia, menambah jumlah augur dari empat menjadi sembilan dan mensyaratkan bahwa lima dari sembilan augur tersebut berasal dari rakyat jelata, sehingga untuk pertama kalinya kemampuan untuk menafsirkan kehendak para dewa diberikan kepada masyarakat kelas bawah. Dengan kekuasaan baru ini, augur rakyat jelata tidak hanya dimungkinkan untuk menentukan kehendak para dewa yang menguntungkan mereka, tapi juga mereka sekarang dimungkinkan untuk mengkritik interpretasi yang tidak adil oleh augur patrician.

Jenis sunting

Ada lima jenis auspicium. Dari lima jenis tersebut, tiga jenis yang terakhir dibentuk bukan bagian dari auspicium kuno.

ex caelo [dari langit]
Auspicium ini melibatkan pengamatan guntur dan petir dan sering dianggap sebagai auspicium yang paling penting.[14] Setiap kali seorang augur melaporkan bahwa Jupiter telah mengirimkan guntur dan petir ke bawah, majelis (pertemuan yang dianggap mewakili seluruh penduduk Romawi) tidak bisa diadakan.[15]
ex avibus [dari burung]
Meskipun auspicium biasanya membaca tanda-tanda burung, tidak semua burung di langit dilihat sebagai simbol kehendak para Dewa. Ada dua kelas burung, yaitu Oscine, yang memberi auspicium melalui nyanyian mereka dan Alite, yang memberi auspicium dari cara mereka terbang.[16] Oscine meliputi gagak, burung hantu, dan ayam, memberikan pertanda baik (auspicium ratum) maupun tidak baik tergantung pada sisi mana sang Augur memihak.[17] Alite mencakup elang, burung bangkai, avis sanqualis, disebut juga ossifraga, dan immussulus atau immusculus.[18] Beberapa burung seperti Picus Martius, Feronius, dan Parrha bisa dipertimbangkan selain oscine dan alite. Setiap gerakan dan setiap suara yang dibuat oleh burung-burung itu memiliki makna dan interpretasi yang berbeda sesuai dengan keadaan atau saat ketika diamati.
x tripudiis [dari "tarian" (saat memberikan makan burung)]
Auspicium ini dibaca dengan menafsirkan pola makan ayam dan burung-burung yang umumnya digunakan pada ekspedisi militer. Cicero menunjukkan bahwa pada satu titik, burung pun bisa melakukan tripudium[19] [tarian sakral], tapi dalam perkembangannya segera praktiknya hanya menggunakan ayam. Ayam dipelihara dalam kandang di bawah asuhan pullarius (penjaga ayam auspicium) yang, ketika saatnya tiba, ayam dilepaskan dan mereka diberikan beberapa jenis roti atau kue. Jika ayam menolak untuk keluar atau makan, atau menjerit, atau mengepakkan sayap mereka, atau terbang menjauh, tanda-tanda itu dianggap tidak baik.[20] Sebaliknya, jika ayam keluar dari kandang untuk makan, sehingga sesuatu jatuh dari mulutnya dan mendarat di tanah, tanda-tanda itu disebut tripudium solistimum (atau tripudium kuasi terripavium solistimum) [dari solum, tanah], menurut para penulis kuno),[21] dan dianggap tanda yang baik.
ex quadrupedibus [dari hewan berkaki empat]
Auspicium juga bisa dibaca dari hewan yang berjalan dengan empat kaki, meskipun auspicium ini bukan bagian dari ilmu ramalan awalnya, dan tidak pernah digunakan untuk urusan negara. Sering auspicium ini mengambil bentuk rubah, serigala, kuda, atau anjing yang melintas di depan seseorang, atau ditemukan di lokasi yang tidak biasa. Makna auspicium tersebut bisa ditafsirkan oleh seorang augur yang ditunjuk, sebagai suatu bentuk dari kehendak para Dewa.[22]
ex dīrīs [dari isyarat]
Kategori auspicium ini mewakili setiap kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan auspicium yang tidak masuk dalam semua kategori di atas. Sering tindakan bersin, tersandung, dan peristiwa-peristiwa kurang normal lainnya bisa dianggap sebagai tanda dari Dewa untuk diartikan.[23]

Tanda-tanda yang diberikan dan diminta sunting

Ada dua klasifikasi tanda-tanda auspicium, impetratif (impetrativa, dicari atau diminta) dan oblatif (oblativa, tidak diminta atau diberikan). Tanda-tanda yang masuk dalam kategori impetrativa adalah tanda-tanda yang timbul karena tindakan yang dilakukan oleh augur saat membaca auspicium. Kategori lainnya, oblativa, adalah peristiwa penting yang terjadi tiba-tiba, saat hakim sedang mengambil auspicium atau berpartisipasi dalam debat publik. Tanda-tanda Ex Caelo ("dari langit") berupa guntur dan petir atau fenomena alam lainnya, dianggap sebagai "diberikan". Apabila hakim sedang tidak didampingi oleh augur, terserah pada mereka untuk memutuskan signifikan atau tidak tanda-tanda yang "diberikan".

Referensi sunting

  1. ^ auspic-, auspec- + (Latin: melihat, mengamati untuk membuat suatu prediksi; untuk melihat ramalan; dari auspex [bentuk genitif dari auspicis; avi-, akar kata dari avis, "burung" ditambah -spex, "pengamat", dari specere)]
  2. ^ Gaius Plinius Secundus, Naturalis Historia 7.203.3
  3. ^ J.A. Knudtzon, Die El-Amarna Tafeln (1915:no. 35.26) noted in Walter Burkert, The Orientalizing Revolution: Near Eastern Influences on Greek Culture in the Early Archaic Age (1992), p 42.
  4. ^ Walter Burkert 1992:49, dengan memperhatikan Plato's Phaedrus 244C.
  5. ^ Cic. de Div. I.41, II.35, 38; de Nat. Deor. II.4
  6. ^ Cic. de Leg. ii. 13
  7. ^ “Aves internun-tiae Jovis.” Cic. de Divin., ii. 34
  8. ^ “Interpretes Jovis optimi maximi publici augures.” Cic. de Leg., ii. 8
  9. ^ Potter, David. (1994). Prophets and Emperors, p. 152. Cambridge, Massachusetts: Harvard University.
  10. ^ Potter, David. (1994). Prophets and Emperors, p. 154. Cambridge, Massachusetts: Harvard University.
  11. ^ spectio, Cic. Phil. 2,81
  12. ^ Potter, David. (1994). Prophets and Emperors, p. 153. Cambridge, Massachusetts: Harvard University.
  13. ^ F. Guillaumont. (1984). Philosophe et augure, recherches sur la théorie cicéronienne de la divination, Brills. New Pauly footnote 7 “Augures”.
  14. ^ Serv. ad Virg. Aen. II.693; Cic. de Div. II.18, &c.; Festus, s.v. Coelestia
  15. ^ Cic. de Div. II.14, Philipp. V.3
  16. ^ Cic. de Div. II.34
  17. ^ Plaut. Asin. II.1.12; Cic. de Div. I.39
  18. ^ cf. Virg. Aen. I.394; Liv. I. 7, 34; Festus, s.v. sanqualis; Plin. H. N. X.7
  19. ^ [1] Sebuah kamus klasik dan arkeologis tentang tata krama, adat istiadat, undang-undang, institusi, kesenian, dan lain-lain dari negara-negara kuno yang terkenal, dan dari abad pertengahan: yang diawali dengan sebuah pandangan sinoptik dan kronologis tentang sejarah kuno - P. Austin Nuttall - Printed for Whittaker and co., 1840 - page 601
  20. ^ Liv. X.40; Val. Max. I.4 §3
  21. ^ Cic. de Div. II.34),
  22. ^ See e.g. Hor. Carm. iii. 27.
  23. ^ cf. Serv. ad Virg. Aen. IV.453

Sumber sunting


Pranala luar sunting