Anisakiasis adalah penyakit zoonosis yang dipicu oleh larva nematoda Anisakis (Anisakid), dimana sumber infeksi utama pada manusia terjadi saat larva stadium III (L3).[1] Cacing Anisakis memiliki bentuk tubuh memanjang yang dilengkapi dengan gigi (booring tooth) di bagian anterior dan mukron di bagian posterior.[2] Cacing ini memanfaatkan mamalia laut (singa laut, paus dan lumba-lumba), ikan atau invertebrata akuatik seperti cumi-cumi sebagai inang perantara.

“Spesies Anisakis spp. yang saat ini diketahui adalah A. pegreffii, A. physeteris, A. schupakovi, A. simplex, A. typica dan A. ziphidarum. Anisakis (Terranova) simplex, Pseudoterranova (Phocanema) decipiens, Contracaecum spp., dan Hysterothylacium (Thynnascaris) spp. merupakan beberapa jenis Anisakis spp. yang sering ditemukan dan dapat menginfeksi manusia”[3]

"Anisakis spp., Tipe I terdiri atas lima spesies (Anisakis simplex sensu strico, A. simplex C, A. typical, A. ziphidorum). Sedangkan Anisakis spp., Tipe II terdiri atas tiga spesies (A. physeteris, A. brevispiculata, dan A. paggiae). Perbedaan dari 2 tipe tersebut didasarkan pada ukuran ventrikulus dan keberadaan mukron pada ujung posterior. Anisakis Type I memiliki ventrikulus yang lebih panjang dan terdapat mukron pada ujung posterior. Sedangkan Anisakis Type II ventrikulus lebih pendek dan tidak memiliki mukron”[4]

Di Indonesia, spesies A. typica ditemukan pada Perairan Bali, Perairan Selat Makassar dan Perairan Laut Sawu.[5] Selain itu, ditemukan pula parasit anisakis pada ikan tongkol Auxis rochei dan ikan layang Decapterus russelli di Perairan Sulawesi Barat.[3]

Penyebab sunting

Anisakis berada dalam makanan laut, yaitu pada ikan-ikan yang menjadi inang perantara yang kemudian dikonsumsi (baik oleh manusia maupun hewan lain).[6] Ikan yang banyak dilaporkan terinfeksi oleh larva cacing ini adalah ikan laut yang ditangkap di daerah dekat pantai atau pesisir.[7] Infeksi parasit ini terjadi akibat mengonsumsi produk makanan laut mentah ataupun kurang matang (undercooked) dan biasanya menyerang dinding lambung atau usus manusia. Ikan yang rentan terinfeksi termasuk dalam golongan ikan karnivora yang memakan avertebrata seperti moluska, kopepoda, atau krustasea.[1][2] Namun, nilai derajat infeksi oleh Anisakis pada setiap ikan berbeda. Adapun beberapa faktor yang memengaruhi nilai insidensi dan derajat infeksi parasit dalam tubuh inang antara lain sistem imun ikan, ukuran ikan, kondisi perairan, musim, habitat ikan, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad ikan.[2]

Alergi akibat anisakiasis ini banyak dilaporkan pada beberapa daerah yang preferensi konsumsi ikan dalam keadaan mentah lebih tinggi. Meskipun, beberapa penelitian mengatakan anisakiasis ini tidak dapat ditularkan antara manusia satu dengan yang lain. Selain itu, kemajuan teknologi dalam pengolahan pangan seperti pengalengan ikan dan semakin majunya sistem transportasi memungkinkan meluasnya penyebaran produk laut yang tercemar Anisakis. Beberapa peneliti mengatakan bahwa alergi akibat Anisakis sp. dapat juga terjadi akibat kontak tanpa harus mengkonsumsi daging ikan yang tercemar. Selain itu, ikan hasil budidaya juga memiliki potensi terinfeksi Anisakis sp.[6]

Patofisiologi Penyakit sunting

Telur parasit ditularkan dengan feses dari inang definitif (mamalia laut) ke lingkungan laut tempat mereka menetas dan berkembang menjadi tahap ke-2 larva parasit (embrio). L2 yang berenang bebas dan tertelan oleh krustasea akan menjadi dewasa dengan bentuk larva L3. Krustasea yang terinfeksi dapat termakan oleh ikan seperti rockfish, herring, ikan kembung, salmon dan ikan teri atau cumi-cumi. Mamalia laut seperti lumba-lumba dan anjing laut dapat terinfeksi karena memakan inang perantara yang terinfeksi tersebut. Pada manusia, cacing dapat bermigrasi dari saluran pencernaan dan tertanam di mukosa saluran cerna.[1] Pada manusia, larva akan mati dan menimbulkan peradangan, menyebabkan alergi, dan menyumbat usus.[8] Tropomyosin diduga menjadi alergen yang paling berpotensi dan menimbulkan respons alergi yang kuat karena struktur molekulernya. Waktu kelangsungan hidup Anisakis pada manusia sangat pendek dan biasanya akan terusir atau dihancurkan dalam beberapa hari atau minggu.[1] Respons imun akibat anisakiasis meliputi respons imun bawaan dan adaptif (Th2, IL-4, IL-5) serta terjadi eosinofilia.[6] Kemudian, respon imun tersebut menghasilkan kadar IgE tinggi yang berperan dalam proses antibody dependent cell mediated cytotoxicity serta proteksi atopik. Terdapat penilitian mengenani mikrohabitat anisakiasis, khususnya A. typica menunjukkan bahwa sebagian besar parasit ditemukan pada dinding bagian luar usus, sebagian kecil ditemukan pada hati dan tidak ditemukan parasit pada otot dan jantung.[3]

Gejala dan Dampak sunting

Gejala anisakiasis akut termasuk sakit perut yang parah, mual dan muntah. Beberapa gejala lain yaitu diare, sakit di dada, serta gatal-gatal pada kulit. Gejala muncul dalam selang waktu beberapa jam setelah mengonsumsi ikan laut mentah, seperti menunjukkan reaksi seperti muntah tanpa henti selama beberapa jam.[9] Jika Anisakis menyerang esofagus dan menempel pada faring (tenggorokan) maka respons tubuh yang keluar berupa batuk dan rasa gatal bersamaan dengan pengeluaran air liur dan buang air besar. Penyakit anisakiasis juga bisa menyerang usus halus yang menyebabkan diare selama 1-5 hari dan dapat terjadi feses yang bercampur darah. Gejala tersebut terkadang juga disertai dengan demam ringan[8]

Gejala klinis dari anisakiasis tidak terbatas hanya pada gejala gastrointestinal tetapi juga reaksi alergi pada beberapa individu. A. simplex merupakan produk perikanan yang paling sering banyak menimbulkan respons alergi meliputi gastroalergi yang gejala alerginya berupa gejala tambahan akibat parasitisme akut dilambung. Selain itu, yang jarang ditemukan adalah urtikaria kronik akibat sensitisasi A. simplex, gastroenteritis eosinofia, dermatologi dan rhinitis.[6]

Diagnosis sunting

Anisakis sering ditemukan di organ dalam/viscera dan otot ikan. Diagnosis umumnya dibuat dengan endoskopi, radiografi, atau pembedahan[9] dan untuk melakukan identifikasi spesies diperlukan analisis molekuler, yaitu dengan PCR-RFLP dan/atau PCR-sekuensing. Namun, ada juga beberapa spesies larva L3 yang dapat dibedakan secara morfologi yaitu berdasarkan panjang mucronnya saja[3]

Infeksi Anisakis dapat menurunkan mutu gizi pangan. Terdapat penelitian yang menemukan bahwa konsentrasi protein daging ikan yang tidak terinfeksi lebih tinggi dari daging yang terinfeksi. Perbedaan ini diperkirakan disebabkan oleh sejumlah protein pada ikan yang terinfeksi menjadi berkurang akibat efek parasitik pada ikan.[5] Untuk perawatan anisakiasis mungkin memerlukan pengangkatan cacing dari tubuh dengan endoskopi atau pembedahan. Pengangkatan larva hidup secara endoskopik dari dinding saluran cerna dikenal sebagai pengobatan medis untuk cacing Anisakis tipe akut. Namun, hingga saat ini belum ada pengobatan farmakologis yang efektif untuk membunuh larva setelah dikonsumsi. Satu-satunya perlindungan terhadap Anisakis spp. adalah penyimpanan beku dan pengolahan makanan laut dengan benar.[9]

Pencegahan sunting

FDA merekomendasikan hal berikut untuk persiapan atau penyimpanan makanan laut untuk membunuh parasit:[9][10]

Memasak (Seafood pada umumnya):

Masak makanan laut secukupnya (dengan suhu internal minimal 145°F [~63°C])

Pembekuan (Ikan):

a) Pada -4°F (-20°C) atau lebih rendah selama 7 hari (total waktu), atau

b) Pada -31°F (-35°C) atau lebih rendah sampai padat, dan disimpan pada -31°F (-35°C) atau lebih rendah selama 15 jam, atau

c) Pada -31°F (-35°C) atau lebih rendah hingga solid dan disimpan pada -4°F (-20°C) atau lebih rendah selama 24 jam.

Tidak seperti bakteri, jamur, dan virus, sebagian besar parasit mudah dihancurkan dengan menahan bahan mentah atau produk jadi pada suhu beku untuk jangka waktu tertentu. Selain itu, terdapat metode persiapan lain seperti:[9]

1. Penggaraman/ Marinasi

Meskipun A. simplex peka terhadap garam, tetapi tinggi konsentrasi garam dan waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkannya membuat penggaraman menjadi metode inaktivasi yang tidak memadai. Badan Keamanan Pangan Prancis (AFSSA), menyebutkan bahwa untuk jumlah kecil dengan kadar salinitas 20% mengakibatkan inaktivasi parasit dalam waktu 21 hari, sedangkan untuk konsentrasi 15% memerlukan waktu 28 hari.

2. Perendaman

AFSSA juga menunjukkan bahwa menurut beberapa ilmuwan, ikan yang direndam dengan 10% asam asetat dan 12% garam, dipertahankan selama 5 hari pada suhu 4°C, tidak berbahaya bagi kesehatan begitu pula dengan produk makanan laut yang diasinkan dalam 12% garam dan 6% asam asetat selama 13 hari pada 4°C.

3. Iradiasi

Perlakuan pembekuan juga dapat digantikan dengan iradiasi atau perlakuan tekanan tinggi. Iradiasi makanan laut adalah metode yang efektif untuk menonaktifkan nematoda. Studi sebelumnya melaporkan bahwa Anisakis spp tidak aktif dalam ikan haring asin, dosis iradiasi setinggi 6 hingga 10 kGy. Namun, prosedur perawatan iradiasi yang digunakan untuk membunuh nematoda tersebut diduga menyebabkan perubahan negatif pada karakteristik organoleptik.

4. Tekanan hidrostatik

Tekanan 200 MPa yang diberikan selama 10 menit dan 207 MPa selama 3 menit dilaporkan membunuh 100% larva Anisakis spp. terisolasi maupun larva pada otot ikan. Namun, penggunaan tekanan hidrostatis tinggi dalam makanan dilaporkan dapat menghambat enzim endogen dan menonaktifkan mikroorganisme.

5. Senyawa Aditif Kimia atau Alami

Sebelumnya, hanya hidrogen peroksida yang dipercaya pengaruhnya terhadap Anisakis spp. Namun, beberapa penelitian telah melaporkan efek signifikan tumbuhan terestrial yang digunakan dalam berbagai produk alami termasuk minyak esensial terhadap inaktivasi larva L3 Anisakis spp.

Meskipun larva telah keluar dari tubuh ikan melalui proses alamiah selama berada di perairan ataupun telah dibersihkan dari tubuh ikan pada saat proses penanganan, peluang alergi tetap ada. Meskipun demikian, spesifitas respons antibodi setiap individu berbeda antara individu satu dengan individu lain. Selain dari proses pengolahan dan persiapan oleh konsumen, ketentuan barang impor juga sebaiknya diperketat.[7]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d "Anisakis Nematodes in Fish and Shellfish- from infection to allergies". International Journal for Parasitology: Parasites and Wildlife (dalam bahasa Inggris). 9: 384–393. 2019-08-01. doi:10.1016/j.ijppaw.2019.04.007. ISSN 2213-2244. PMC 6626974 . PMID 31338296. 
  2. ^ a b c Ulkhaq, Mohammad Faizal; Budi, Darmawan Setia; Azhar, Muhammad Hanif; Kenconojati, Hapsari (2019-05-27). "The Insidensi dan Derajat Infeksi Anisakiasis pada Ikan Hasil Tangkapan di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur (INCIDENCE AND DEGREE OF ANISAKIASIS INFECTION IN FISH CATCHES AT THE FISHERY PORT OF MUNCAR BEACH, BANYUWANGI, EAST JAVA)". Jurnal Veteriner (dalam bahasa Inggris). 20 (1): 101–108. doi:10.19087/jveteriner.2019.20.1.101. ISSN 2477-5665. 
  3. ^ a b c d Hafid, Muhammad Dusil; Anshary, Hilal (2017-06-01). "Keberadaan Anisakis typica (Anisakidae) dari Ikan Tongkol dan Ikan Layang dari perairan Sulawesi Barat". Jurnal Sain Veteriner. 34 (1): 102–111. doi:10.22146/jsv.22822. ISSN 2407-3733. 
  4. ^ ZULFIKAR, NIM : 08C10432015 (2013). "IDENTIFIKASI ISI LAMBUNG IKAN TUNA (Thunnus alalunga) DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN UJONG BAROH, KABUPATEN ACEH BARAT" (dalam bahasa Inggris). Universitas Teuku Umar Meulaboh. 
  5. ^ a b Cindy Soewarlan, Lady (2016-12). "POTENSI ALERGI AKIBAT INFEKSI Anisakis typica PADA DAGING IKAN CAKALANG". Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 27 (2): 200–207. doi:10.6066/jtip.2016.27.2.200. ISSN 1979-7788. 
  6. ^ a b c d Adawiyah, Robiatul; Maryanti, Esy; E.Siagian, Forman (2017-12-29). "Anisakis sp. dan Alergi yang Diakibatkannya". Jurnal Ilmu Kedokteran. 8 (1): 38. doi:10.26891/jik.v8i1.2014.38-45. ISSN 1978-662X. 
  7. ^ a b Siagian, Forman Erwin; Maryanti, Esy (2021-01-07). "Anisakiasis Pada Ikan Laut Di Indonesia: Prevalensi, Sebaran Dan Potensi Patogenitasnya Pada Manusia". Jurnal Ilmu Kedokteran (dalam bahasa Inggris). 14 (1): 11–23. doi:10.26891/JIK.v14i1.2020.11-23. ISSN 2715-4467. 
  8. ^ a b Dewi, K (2018). "Mengenal Gejala Infeksi Anisakis Simplex yang Ada pada Makarel Kaleng". Lipi.go.id. Diakses tanggal 28 Mei 2021. 
  9. ^ a b c d e Topuz, Osman Kadir (2016). "Anisakiasis: Parasitic Hazard in Raw or Uncooked Seafood Products and Prevention Ways". Journal of Food and Health Science. 3 (1): 21–28. doi:10.3153/JFHS17003. 
  10. ^ Prevention, CDC-Centers for Disease Control and (2020-11-25). "CDC - Anisakiasis". www.cdc.gov (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-22.