Aleksander Agung

raja Makedonia dan penakluk Persia Akhemeniyah (356–323 SM)
(Dialihkan dari Alexander Agung)

Aleksander III dari Makedonia (bahasa Yunani Kuno: Ἀλέξανδρος Aléxandros; 20/21 Juli 356 SM – 10/11 Juni 323 SM), lebih dikenal sebagai Aleksander Agung,[b] adalah seorang raja dari Kerajaan Yunani kuno dari Makedonia.[a] Pada usia 20 tahun, dia meneruskan takhta ayahnya, Filipus II dari Makedonia yang tewas dibunuh pada pernikahan Kleopatra dari Makedonia pada bulan Oktober 336 SM. Dimulai tidak lama setelah kematian ayahnya, Aleksander menghabiskan sebagian besar waktu kekuasaannya untuk melancarkan kampanye-kampanye militer ke Asia Barat dan Mesir, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Pada usia 30 tahun, dirinya telah berhasil membentuk salah satu kekaisaran terbesar sepanjang sejarah, wilayahnya terbentang dari Balkan di barat sampai India di timur.[5] Dia tidak pernah terkalahkan dalam pertempuran dan terkenal luas sebagai salah satu komandan militer tersukses dalam sejarah.[6][7]

Aleksander Agung
Μέγας Αλέξανδρος
Raja Makedonia
Berkuasa336–323 SM
PendahuluFilipus II
Penerus
Firaun Mesir
Berkuasa332–323 SM
PendahuluDarius III
Penerus
Raja Diraja Iran
Berkuasa330–323 SM
PendahuluDarius III
Penerus
PesaingArtahsasta V (330-329 SM)
Informasi pribadi
Kelahiran20 atau 21 Juli 356 SM
Pella, Makedonia
Kematian10 atau 11 Juni 323 SM (usia 32 tahun)
Babilonia
WangsaArgeadai
AyahFilipus II
IbuOlimpias dari Epiros
PasanganRoxana dari Baktria
Stateira dari Persia
Parysatis dari Persia
AnakAleksander IV
Julukan
  • Μέγας Ἀλέξανδρος[a] (Mégas Aléxandros, Aleksander Agung)
  • Ἀλέξανδρος ὁ Μέγας (Aléxandros ho Mégas, Aleksander yang Agung)
AgamaPoliteisme Yunani

Hingga usianya yang ke 16 tahun, Aleksander dididik oleh filsuf ternama, Aristoteles. Pada tahun 335 SM, tak lama setelah ia diangkat menjadi raja atas Makedonia, ia melancarkan kampanye militer di Balkan dan menegaskan kembali kendali atas Trakia dan Iliria, sebelum membawa pasukannya menyerbu kota Thebes, yang kemudian hancur dalam pertempuran. Aleksander kemudian dianugerahi jabatan jenderal atas seluruh Yunani, dan menggunakan otoritasnya untuk menyukseskan proyek pan-Hellenik yang dirancang oleh ayahnya, mengambil kendali kepemimpinan atas seluruh orang Yunani dalam upaya mereka menaklukkan Persia.[8][9]

Pada tahun 334 SM, dia menginvasi Kekaisaran Persia Akhemeniyah dan memulai sejumlah kampanye militer yang berlangsung selama 10 tahun.[c] Selepas penaklukannya atas Anatolia, Aleksander memperlemah Akhemeniyah dalam serangkaian pertempuran penting, termasuk pertempuran di Issos dan Gaugamela; ia kemudian berhasil menggulingkan Darius II dan menaklukkan Kekaisaran Akhemeniyah secara keseluruhan. Setelah jatuhnya Persia, Kekaisaran Makedonia menguasai petak wilayah yang luas antara Laut Adriatik dan Sungai Indus. Aleksander mempunyai misi ingin mencapai "ujung-ujung dari dunia dan Laut Luar Besar." Ia pun menginvasi India pada tahun 326 SM, dan mengapai kemenangan penting atas Porus, seorang raja India kuno dari daerah yang sekarang dikenal sebagai Punjab, pada pertempuran Hydaspes. Karena permintaan para pasukannya yang rindu akan kampung halaman mereka, ia pun kembali ke Sungai Beas dan kemudian meninggal pada tahun 323 SM di Babilon, sebuah kota di Mesopotamia yang sebelumnya direncanakan oleh Aleksander akan menjadi ibu kota dari Kekaisarannya. Kematian Aleksander meninggalkan sejumlah rencana militer dan kampanye dagang yang tidak terlaksana, yang bila dirinya masih hidup akan dimulai dengan invasi Yunani atas Arabia. Dalam beberapa tahun setelah kematiannya, sejumlah perang sipil pecah di bebagai daerah di Kekaisaran Makedonia, yang pada akhirnya berujung pada disintegrasi di tangan para Diadokhoi.

Dengan kematiannya yang menandai dimulainya periode Helenistik, warisan Aleksander mencakup pembauran budaya dan sinkretisme yang ditimbulkan oleh penaklukan-penaklukan yang dilakukan olehnya, seperti Buddha-Yunani dan Yudaisme Helenistik, Dia mendirikan lebih dari dua puluh kota yang memakai namanya, dengan yang paling menonjol adalah kota Aleksandria di Mesir. Penyebaran budaya Yunani yang ditimbulkan dari ekspansi koloni Yunani oleh Aleksander menimbulkan dominasi luar biasa peradaban Helenistik yang pengaruhnya mencapai timur jauh dari Anak Benua India. Periode Helenistik berkembang melalui Kekaisaran Romawi menjadi budaya Barat modern; Bahasa Yunani menjadi lingua franca wilayah tersebut dan merupakan bahasa utama Kekaisaran Bizantium sampai runtuhnya pada pertengahan abad ke-15 Masehi. Komunitas berbahasa Yunani di bagian tengah dan timur jauh Anatolia bertahan hingga genosida terhadap etnis Yunani oleh Turki pada tahun 1910-an dan awal 1920-an serta pertukaran populasi Yunani menjadi populasi Turki pada pertengahan 1920-an. Aleksander menjadi legendaris sebagai pahlawan klasik yang dianggap memiliki sejumlah karakteristik yang serupa dengan Akhilles, ia dicatut dalam berbagai tradisi historikal dan mitos dalam budaya Yunani dan non-Yunani. Capaian militernya dan keberhasilannya yang berulang-ulang dalam berbagai pertempuran yang dianggap belum pernah diperoleh orang lain sebelumnya, telah membuat Aleksander menjadi tolak ukur perbandingan oleh banyak pemimpin militer,[d] dan taktik-taktik Aleksander terus menjadi subjek studi yang signifikan di akademi-akademisi militer di seluruh dunia.[16]

Masa muda

Kelahiran

Aleksander dilahirkan pada tanggal 20 (atau 21) Juli 356 SM,[17][18] di Pella, ibu kota Kerajaan Makedonia di Yunani Kuno. Dia terlahir sebagai putra Raja Makedonia Filipus II. Ibunya adalah istri keempat Filipus, Olimpias, putri Neoptolemos I, Raja Epiros.[19][20][21][22] Meskipun Filipus memiliki tujuh atau delapan istri ketika itu, tetapi Olimpias adalah istrinya yang paling utama, barangkali karena dia yang melahirkan Aleksander.[23]

 
Medali Romawi yang menggambarkan Olimpias, ibu Aleksander

Sebagai anggota Wangsa Argead, Aleksander mengklaim diri sebagai keturunan Herakles melalui Karanos dari Makedonia.[e] Dari pihak ibunya dan Aiakid, dia mengklaim diri sebagai keturunan Neoptolemos, putra Akhilles.[f] Putra dari sepupu-kedua Aleksander adalah jenderal Pyrrhos dari Epiros, yang oleh Hannibal dianggap sebagai komandan sehebat Aleksander[26] atau kedua terhebat setelah Aleksander.[27]

Menurut biografer Yunani kuno, Plutarkhos, Olimpias, pada malam pernikahannya dengan Filipus, bermimpi bahwa rahimnya disambar petir, yang memicu semburan api yang menyebar sampai "jauh dan luas" sebelum padam. Beberapa waktu sebelum pernikahan, dikatakan bahwa Filipus bermimpi melihat dirinya menyegel rahim istrinya dengan menggunakan segel berukir singa.[19] Plutarkhos mengajukan sejumlah penafsiran tentang mimpi-mimpi itu: bahwa Olimpias telah hamil sebelum menikah, ditunjukkan dengan penyegelan rahimnya; atau bahwa ayah Aleksander adalah Zeus. Para sejarawan ada yang berpendapat bahwa Olimpias yang ambisius membesar-besarkan cerita mengenai silsilah dewa Aleksander, yang lain berpendapat Olimpias memberitahu Aleksander.[19]

Pada hari kelahiran Aleksander, Filipus sedang bersiap-siap untuk mengepung kota Potidaea di semenanjung Kalkidiki. Pada hari yang sama, Filipus mendapat kabar bahwa jenderalnya Parmenion telah mengalahkan pasukan gabungan Illyria dan Paionia, dan bahwa kuda-kudanya telah memenangkan Olimpiade. Dikatakan pula bahwa pada hari itu, Kuil Artemis di Ephesos—salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno-terbakar. Hegesias dari Magnesia berkata bahwa kuil itu terbakar karena dewi Artemis menghadiri kelahiran Aleksander.[17][21][28]

 
Aleksander bertarung melawan Singa Asia, mosaik dari abad ke-3 SM, Museum Pella.

Masa anak-anak

Pada usia-usia awal, Aleksander diasuh oleh perawatnya, Lanike, saudari Kleitus si Hitam, calon sahabat dan jenderal Aleksander pada masa depan. Pada masa anak-anak, Aleksander belajar pada Leonidas yang disiplin, seorang kerabat ibunya. Aleksander juga berguru pada Lysimakhos.[29][30] Aleksander dibesarkan sebagai bangsawan muda Makedonia, dia belajar membaca, bermain lira, bertarung, dan berburu.[31]

Ketika Aleksander berusia sepuluh tahun, seorang pedagang kuda dari Thessalia menawarkan seekor kuda pada Filipus. Kuda tersebut diberi harga senilai tiga belas talen. Kuda itu tidak mau ditunggangi oleh siapapun, dan Filipus memerintahkannya untuk dibawa pergi. Akan tetapi, Aleksander berkata bahwa rasa takut kuda itu adalah bayangannya sendiri dan meminta kesempatan untuk memunggangi kuda itu. Aleksander berhasil melakukannya.[32] Menurut Plutarkhos, Filipus, yang merasa sangat senang melihat keberanian dan ambisi Aleksander, langsung mencium putranya itu dan menyatakan: "Putraku, kau harus menemukan kerajaan yang cukup besar untuk ambisimu. Makedonia terlalu kecil untukmu". Setelah itu Filipus membelikan kuda itu untuk Aleksander.[33] Aleksander menamai kuda itu Bukephalas, bermakna "kepala lembu". Bukephalas akan menjadi teman perjalanan Aleksander dalam penaklukannya sampai ke India. Ketika Bukephalas mati (akibat usia tua, menurut Plutarkhos, karena sudah berusia tiga puluh tahun), Aleksander menamai sebuah kota sesuai nama kudanya (Bukephala).[34][35][36]

Masa remaja dan pendidikan

 
Aristoteles sedang mengajari Aleksander.

Ketika Aleksander menginjak usia tiga belas tahun, dia membutuhkan pendidikan yang lebih tinggi, maka dia pun mencari guru. Beberapa calon gurunya antara lain Isokrates dan Speusippos, penerus Plato di Akademi Plato. Pada akhirnya, Filipus menawarkan pekerjaan itu pada Aristoteles, yang menerimanya. Filipus memberikan Kuil Para Nimfa di Mieza sebagai ruang belajar mereka. Sebagai imbalan atas pengajarannya, Filipus bersedia untuk membangun kembali kampung halaman Aristoteles di Stagiera, yang pernah dihancurkan olehnya. Filipus merepopulasi kota itu dengan cara membeli dan memerdekakan para bekas warga yang sempat menjadi budak, atau dengan mengampuni para warga yang berada di pengasingan.[37][38][39][40]

Mieza menjadi sekolah asrama bagi Aleksander dan anak-anak bangsawan Makedonia lainnya, misalnya, Ptolemaios, Hephaistion, dan Kassandros. Banyak murid di sana yang belajar bersama Aleksander kelak menjadi sahabat dan jenderalnya, atau yang lebih sering disebut sebagai 'Rekan'. Di Mieza, Aristoteles mengajari Aleksander dan kawan-kawannya pengobatan, moral, filsafat, agama, logika, dan seni. Berkat ajaran Aristoteles, Aleksander menjadi berminat pada karya-karya Homeros, terutama Ilias. Aristoteles memberi satu salinan Ilias pada Aleksander, yang selalu dibawanya dalam kampanye militernya.[41][42][43][44]

Ahli waris Filipus

Awal karier dan bangkitnya Makedonia

 
Patung kepala Filipus II dari Makedonia, ayah Aleksander.

Ketika Aleksander menginjak usia enam belas tahun, masa belajarnya pada Aristoteles selesai. Raja Filipus berangkat untuk berperang melawan Byzantion, dan Aleksander ditugaskan untuk mengurus kerajaan.[32] Selama Filipus pergi, suku Maedi Thrakia memberontak menentang kekuasaan Makedonia. Aleksander merespon dengan cepat, dia meredam pemberontakan suku Maedi, mengusir mereka dari wilayah mereka, mengisinya dengan orang-orang Yunani, dan mendirikan kota yang dia namai Alexandropolis.[45][46][47][48]

Setelah Filipus kembali dari Byzantion, dia memberi Aleksander sejumlah kecil pasukan dan mengutusnya untuk menghentikan suatu pemberontakan di Thrakia selatan. Dalam kampanye lainnya melawan kota Perinthos di Yunani, Aleksander disebutkan menyelamatkan nyawa ayahnya. Sementara itu, kota Amphissa mulai mengolah tanah yang dikeramatkan untuk Apollo di dekat Delphi, suatu pelanggaran yang memberi kesempatan bagi Filipus untuk ikut campur lebih jauh dalam urusan Yunani. Masih berada di Thrakia, Filipus menyuruh Aleksander untuk mulai menghimpun pasukan untuk kampanye di Yunani. Sadar dengan adanya kemungkinan negara-negara Yunani lainnya untuk ikut campur, Aleksander memperlihatkan seolah-olah dia hendak menyerang Illyria. Dalam kekisruhan ini, Illyria mengambil kesempatan untuk menginvasi Makedonia, tetapi Aleksander berhasil menghalau para penyerang itu.[49]

Pasukan Filipus bergabung dengan Aleksander pada tahun 338 SM, dan mereka bergerak ke selatan menuju Thermopylai, yang mereka lakukan setelah menghadapi perlawanan yang keras kepala dari orang-orang Thiva yang menghuninya. Mereka pergi untuk menduduki kota Elateia, berjarak beberapa hari dari kota Athena dan Thiva. Sementara itu, rakyat Athena, dipimpin oleh Demosthenes, memilih untuk bersekutu dengan Thiva dalam perang melawan Makedonia. Baik Athena dan Filipus kemudian mengirim utusan untuk memperoleh keberpihakan Thiva, dan yang berhasil melakukannya adalah Athena.[50][51][52] Filipus bergerak menuju Amphissa (secara teoretis beraksi atas permintaan Liga Amphikyton), menangkap tentara bayaran yang dikirim ke sana oleh Demosthenes, dan menerima penyerahan kota itu. Lalu Filipus kembali ke Elateia dan mengirim penawaran perdamaian untuk yang terakhir kalinya pada Athena dan Thiva, yang berujung pada penolakan kedua kota itu.[53][54][55]

 
Patung Aleksander di Museum Arkeologi Istanbul.

Ketika Filipus sedang bergerak ke selatan, dia dihalangi di dekat Khaironeia, Boiotia oleh pasukan Athena dan Thiva. Dalam pertempuran tersebut, Filipus memimpin sayap kanan, dan Aleksander memimpin sayap kiri dengan ditemani oleh para jenderal Filipus yang tepercaya. Berdasarkan sumber-sumber kuno, dua pihak itu bertempur dengan sengit cukup lama. Filipus lalu memerintahkan pasukan di sayap kanan untuk mundur dan memancing para hoplites Athena supaya mengikutinya dan meninggalkan barisan mereka. Di sayap kiri, Aleksander adalah orang pertama yang berhasil menerobos barisan Thiva, diikuti oleh para jenderal Filipus. Setelah memperoleh terobosan, Filipus memerintahkan pasukannya untuk menekan ke depan dan mengepung musuh. Dengan mundurnya pasukan Athena, pasukan Thiva pun mesti bertempur sendiri; dikelilingi oleh musuh, pasukan Thiva pun dikalahkan.[56]

Setelah menang di Khaironeia, Filipus dan Aleksander bergerak tak terhalangi menuju Peloponnesos dan diterima oleh semua kota; namun ketika mereka tiba di Sparta, mereka ditolak dan mereka pun pergi.[57] Di Korinthos, Filipus mendirikan "Aliansi Helen" (didasarkan pada aliansi anti-Persia dalam Perang Yunani-Persia), dan Filipus diangkat sebagai Hegemon ('Pemimpin Tertinggi') dalam perkumpulan ini, yang oleh para sejarawan modern disebut sebagai Liga Korinthos. Filipus lalu mengumumkan rencananya untuk memimpin perang pembalasan melawan Kekaisaran Akhemeniyah.[58][59]

Perselisihan

Setelah kembali ke Pella, Filipus jatuh cinta pada Kleopatra Euridike, keponakan salah satu jenderalnya, Attalos.[60] Pernikahan ini membuat posisi Aleksander terhadap takhta menjadi rawan, karena jika Kleopatra Euridike melahirkan seorang putra, maka putra tersebut akan menjadi ahli waris yang sepenuhnya keturunan Makedonia, sedangkan Aleksander hanya separuh berdarah Makedonia.[61] Pada pesta pernikahan, Attalos yang mabuk berdoa pada para dewa semoga pernikahan itu akan menghasilkan ahli waris yang sah untuk takhta Makedonia.[60]

Pergi dan kembali

Aleksander kabur dari Makedonia bersama ibunya,[62] yang dia titipkan di saudara ibunya di Dodona, ibu kota Epiros. Aleksander sendiri terus pergi ke Illyria,[62] di sana ia meminta suaka pada raja Illyria dan diperlakukan sebagai tamu oleh rakyat Illyria meskipun Aleksander pernah mengalahkan Illyria dalam pertempuran beberapa tahun sebelumnya. Namun, Filipus masih ingin mengakui Aleksander sebagai putranya,[62] sehingga Aleksander kembali ke Makedonia setelah enam bulan kabur. Dia kembali berkat sahabat keluarganya, Demaratos dari Korinthos, yang melakukan mediasi antara kedua belah pihak.[45][63][64]

Setahun kemudian, satrap (gubernur) Iran di Karia, Pixodaros, menawarkan putri sulungnya pada saudara tiri Aleksander, Filipus Arrhidaios.[62] Olimpias dan beberapa sahabat Aleksander menduga bahwa tindakan itu menunjukkan Filipus berniat mengangkat Arrhidaios sebagai ahli warisnya.[62] Aleksander bereaksi dengan mengirim seorang aktor, Thessalos dari Korinthos, untuk memberitahu Pixodaros bahwa dia seharusnya tidak menawarkan putrinya pada putra raja yang tidak sah, melainkan pada Aleksander. Ketika Filipus mengetahui ini, dia menghentikan negosiasi dan memarahi Aleksander yang ingin menikahi putri orang Karia. Filipus menjelaskan bahwa dia ingin perempuan yang lebih baik untuk Aleksander.[62] Filipus lalu mengasingkan empat kawan Aleksander, yaitu Harpalos, Neiarkhos, Ptolemaios dan Erigyios. Sedangan Thessalos dibawa ke hadapan Filipus dalam keadaan dirantai.[61][65][66]

Raja Makedonia

Naik takhta

 
Kerajaan Makedonia pada tahun 336 SM. Keterangan dalam bahasa Inggris.

Pada tahun 336 SM, Filipus sedang berada di Aigai, menghadiri pernikahan putrinya, Kleopatra, yang menikah dengan saudara Olimpias, Raja Epiros Aleksander I. Di sana Filipus dibunuh oleh pemimpin pasukan pengawalnya sendiri, Pausanias.[g] Ketika Pausanias mencoba kabur, dia tersandung tanaman anggur sehingga dapat dibunuh oleh para pengejarnya, yang meliputi dua rekan Aleksander, Perdikkas dan Leonnatos. Aleksander dengan demikian diangkat sebagai basileus (raja) oleh pasukan Makedonia dan bangsawan Makedonia. Dia berusia dua puluh tahun ketika menjadi raja.[68][69][70]

Konsolidasi kekuasaan

Aleksander memulai masa pemerintahannya dengan menyingkirkan orang-orang yang menurutnya berpotensi mengancam takhtanya. Dia menghukum mati sepupunya, Amyntas IV,[71] dan juga membunuh dua pangeran Makedonia dari daerah Lynkestis, sedangkan pangeran ketiga, yaitu Aleksander Lynkestes, diampuni. Sementara itu Olimpias, ibu Aleksander, memerintahkan bahwa Kleopatra Euridike dan putrinya, Europa, dibakar hidup-hidup. Ketika Aleksander tahu tentang hal itu, dia marah pada ibunya. Aleksander juga memerintahkan bahwa Attalos harus dibunuh.[71] Attalos sendiri saat itu menjabat sebagai komandan pasukan di Asia Minor. Attalos sempat berkorespondensi dengan Demosthenes, mengenai kemungkinannya untuk kabur ke Athena. Terlepas dari apakah Attalos benar-benar berniat ke Athena atau tidak, dia sudah membuat Aleksander marah. Selain itu, setelah mengetahui bahwa putri dan cucu Attalos mati, Aleksander merasa bahwa Attalos terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup.[72] Aleksander membiarkan Arrhidaios hidup. Arrhidaios disebutkan menderita cacat mental, kemungkinan akibat diracun oleh Olimpias.[68][73][74][75]

Kabar kematian Filipus memicu banyak kota memberontak, termasuk Thiva, Athena, Thessalia, dan suku-suku Thrakia di utara Makedonia. Ketika kabar pemberontakan di Yunani diketahui oleh Aleksander, dia merespon dengan cepat. Meskipun para penasihatnya menyarankannya untuk mempergunakan diplomasi, tetapi Aleksander memutuskan untuk mengumpulkan 3.000 tentara kavaleri dan bergerak menuju Thessalia, daerah tetangga Makedonia di sebelah selatan. Di sana dia mengetahui bahwa pasukan Thessalia telah menempati jalan di antara Gunung Olimpus dan Gunung Ossa. Aleksander lalu menyuruh pasukannya menaiki Gunung Ossa. Ketika pasukan Thessalia terbangun, mereka melihat bahwa pasukan Aleksander telah berada di sisi belakang mereka. Pasukan Thessalia pun menyerah dan pasukan kavaleri Aleksander bertambah dengan masuknya pasukan Thessalia. Aleksander lalu bergerak menuju Peloponnesos.[76][77][78][79]

Aleksander berhenti sejenak di Thermopylae, di sana dia diakui sebagai pemimpin Liga Amphiktyon. Kemudian dia bergerak ke selatan ke Korinthos. Kota Athena memohon perdamaian dan Aleksander mengampuni Athena. Dia juga mengampuni semua orang yang terlibat dalam pemberontakan. Di Korinthos, terjadi peristiwa terkenal, yaitu pertemuannya dengan Diogenes Sang Kynis, yang memintanya untuk menyingkir sedikit karena dia menghalangi matahari.[80] Di sana juga Aleksander diberikan gelar Hegemon, dan seperti halnya Filipus, Aleksander juga diangkat sebagai komandan dalam perang yang akan dilaksanakan melawan Iran. Ketika sedang berada di Korinthos, Aleksander mendengar berita bahwa suku Thrakia memberontak di utara.[77][81]

Kampanye Balkan

Sebelum menyerang ke Asia, Aleksander ingin mengamankan perbatasan utaranya; dan, pada musim semi tahun 335 SM, dia berhasil menghentikan beberapa pemberontakan. Mulai dari Amphipolis, dia pertama-tama bergerak ke timur ke negara-negara "Suku-suku Thrakia Merdeka"; dan di Gunung Haimos, pasukan Makedonia menyerang dan mengalahkan pasukan Thrakia.[82] Pasukan Makedonia bergerak menuju negara Triballi, dan berhasil mengalahkan pasukan Triballi di dekat sungai Lyginos[83] (anak sungai Donau). Aleksander kemudian melaju selama tiga hari ke Donau, menghadapi suku Getai di seberang sungai. Dia mengejutkan pasukan Getai dengan menyeberangi sungai pada malam hari. Dia berhasil memaksa pasukan Getai menyerah setelah meletusnya pertempuran kecil. Pasukan Getai mundur dan meninggalkan kota-kota mereka pada pasukan Makedonia.[84][85] Kemudian terdengar berita bahwa Kleitos, Raja Illyria, dan Raja Glaukias dari Taulanti secara terbuka memberontak melawan otoritas Makedonia. Bergerak ke barat menuju Illyria, Aleksander mengalahkan semua pemberontak itu dan memaksa Kleitos dan Glaukias untuk melarikan diri bersama pasukan mereka. Dengan demikian, perbatasan utara Aleksander pun aman.[86][87]

Ketika sedang sukses dalam kampanyenya di utara, ternyata Thiva dan Athena sekali lagi memberontak. Aleksander dengan segera menyelesaikan kampanye di utara dan bergegas ke selatan bersama pasukannya.[88] Kota-kota lainnya ragu-ragu, tetapi Thiva memutuskan untuk memberontak dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Akan tetapi perlawanan itu terbukti tidak efektif. Aleksander sangat marah pada Thiva. Dia membunuhi banyak tentara Thiva, meluluhlantakkan kota itu sampai hancur, menjual penduduknya sebagai budak, dan membagi-bagi wilayah Thiva ke kota-kota Boiotia di sekitarnya. Setelah mendengar berita tentang musnahnya kota Thiva, Athena pun menyerah pada Aleksander. Dengan demikian, seluruh Yunani sudah berada di bawah kekuasaan Aleksander.[88] Setelah Yunani aman, Aleksander pun melaksanakan kampanyenya di Asia. Dia menugaskan Antipatros untuk mengurus Makedonia.[89]

Penaklukan Kekaisaran Persia

Asia Minor

 
Peta kekaisaran Aleksander dan jalan-jalan yang dia tempuh.

Pasukan Aleksander menyeberangi Hellespont pada tahun 334 SM dengan jumlah tentara sekitar 48.100 infantri, 6.100 kavaleri dan armada laut yang terdiri dari 120 kapal dengan kru kapal sekitar 38.000 orang.[88] Pasukan itu berasal dari Makedonia dan dari berbagai negara-kota Yunani, selain juga tentara bayaran, serta pasukan dari Thrakia, Paionia, dan Illyria.[90] Setelah memperoleh kemenangan pertama melawan pasukan Iran dalam Pertempuran Granikos, Aleksander menerima penyerahan kota dan harta benda di Sardis, salah satu ibu kota provinsi di Persia. Aleksander lalu bergerak menuju pesisir Ionia.[91] Di Halikarnassos, Aleksander sukses melakukan pengepungan pertamanya. Dia berhasil memaksa musuh-musuhnya, yakni kapten tentara bayaran Memnon dari Rhodes dan satrap Iran di Karia, Orontobates, untuk mundur ke laut.[92] Setelah menaklukkan Karia, Aleksander menugaskan Ada untuk memimpin urusan pemerintahan di Karia. Ada sendiri mengadopsi Aleksander sebagai putranya.[93]

Dari Halikarnassos, Aleksander maju ke pegunungan Lykia dan dataran Pamphylia. Dia menaklukkan semua kota pesisir dengan tujuan untuk menyulitkan armada laut Iran. Jika kota-kota di pesisir dikuasai oleh Aleksander, maka kapal-kapal laut Iran tak akan bisa berlabuh. Mulai dari Pamphylia, di pesisir itu tidak ada lagi pelabuhan yang penting dan Aleksander pun melanjutkan kampanyenya ke daratan dalam. Di Termessos, Aleksander mengampuni kota Pisidia.[94] Di kota Gordum, ibu kota kuno Frigia, Aleksander menjumpai ikatan Gordia yang terkenal tak dapat dibuka. Menurut legenda, orang yang mampu membukanya akan menjadi "raja Asia".[95] Aleksander merasa bahwa tidak masalah bagaimana ikatan itu dibuka, dan dia pun memotongnya dengan pedangnya.[96]

Syam

 
Pertempuran Issos, Mosaik Aleksander di Pompeii.

Setelah menghabiskan musim dinginya dengan melakukan kampanye di Asia Minor, pasukan Aleksander menyeberangi Gerbang Kilikia pada tahun 333 SM, dan mengalahkan pasukan utama Iran di bawah pimpinan Darius III dalam Pertempuran Issos pada bulan November.[97] Darius melarikan diri dari pertempuran sehingga pasukannya kacau balau. Dia meninggalkan istrinya, dua putrinya, ibunya Sisygambis, serta sejumlah besar harta.[98] Setelah itu dia menawarkan kesepakatan damai kepada Aleksander. Darius menawarkan akan menyerahkan seluruh wilayah yang telah ditaklukkan oleh Aleksander serta tebusan sebesar 10.000 talen untuk menebus keluarganya. Aleksander menjawab bahwa karena dia kini adalah raja Asia, maka hanya dia sendirilah yang berhak mengatur masalah pembagian wilayah.[99]

Aleksander bergerak maju untuk menguasai Suriah, serta sebagian besar pesisir Syam.[100] Namun setahun kemudian, pada 332 SM, dia terpaksa harus menyerang Tyre, yang pada akhirnya dia taklukkan melalui pengepungan yang terkenal.[101][102] Setelah menaklukkan Tyre, Aleksander, membantai semua penduduk prianya, dan menjual semua wanita dan anak-anak sebagai budak.[103]

Mesir

 
Nama Aleksander Agung dalam Hieroglif (ditulis dari kanan ke kiri), sekitar 330 SM, Mesir. Museum Louvre.

Setelah Aleksander menghancurkan Tyre, sebagian besar kota dalam rute ke Mesir menyerah, kecuali Gaza. Gaza memiliki suatu benteng kuat yang di atas bukit dan sangat terlindung.[104] Pada awal Pengepungan Gaza, Aleksander memanfaatkan alat-alat yang sebelumnya dia pakai ketika menyerang Tyre. Setelah tiga kali gagal menyerang, benteng itu pada akhirnya berhasil ditembus, tetapi Aleksander harus mendapat luka di bahunya. Seperti halnya di Tyre, semua penduduk pria dibantai, sedangkan semua wanita dan anak-anak dijadikan budak.[105]

Di lain pihak, Yerusalem membuka gerbangnya dan menyerah pada Aleksander. Menurut Yosephus, Aleksander diperlihatkan buku ramalan Daniel, mungkin bab 8, yang isinya adalah bahwa seorang raja Yunani yang kuat akan datang dan menaklukkan Kekaisaran Persia. Setelah melihat isi buku tersebut, Aleksander mengampuni Yerusalem dan terus maju ke Mesir.[106][107]

Aleksander memasuki Mesir pada tahun 332 SM, di sana dia dipandang sebagai seorang pembebas.[108] Dia memperoleh gelar "penguasa baru alam semesta" dan putra dewa Amun di Orakel Oasis Siwa di gurun Libya.[109] Sejak saat itu, Aleksander kadang disebut sebagai putra asli dari Zeus-Ammon, dan mata uang yang kemudian muncul menggambarkan dirinya dengan hiasan tanduk kambing sebagai simbol kedewaannya.[110][111] Dalam masa tinggalnya di Mesir, dia mendirikan Aleksandria (Iskandariyah), yang kelak akan menjadi ibu kota Kerajaan Ptolemaik setelah kematian Aleksander.[112]

 
Penempatan dan pergerakan awal dalam Pertempuran Gaugamela, 331 SM.

Assyria dan Babilonia

Berangkat dari Mesir pada tahun 331 SM, Aleksander pergi menuju ke timur ke Mesopotamia (sekarang Irak utara) dan sekali lagi mengalahkan Darius dalam Pertempuran Gaugamela.[113] Lagi-lagi Darius terpaksa kabur dan meninggalkan arena pertempuran, Aleksander mengejarnya sampai ke Arbela. Gaugamela akan terbukti sebagai pertempuran terakhir dan paling menentukan antara Aleksander dan Darius. Aleksander lalu bergerak menuju Babilonia dan menaklukkan kota tersebut.[114]

Persia

Dari Babilonia, Aleksander melaju ke Susa, salah satu ibu kota Iran, dan merebut harta bendanya yang legendaris.[114] Aleksander mengirim sebagian besar pasukannya ke ibu kota seremonial Iran, Parsa, lewat Jalan Kerajaan, dan dia sendiri memimpin tentara-tentara pilihannya melalui rute langsung ke kota tersebut. Aleksander harus menyerang jalan masuk ke Gerbang Persia (di Pegunungan Zagros modern) yang telah diblok oleh pasukan Iran di bawah pimpinan Ariobarzan dan kemudian menghancuran Parsa sebelum garnisunnya dapat mengamankan harta benda.[115] Ketika memasuki Parsa, Aleksander mengizinkan pasukannya untuk menjarah kota dan kemudian menyuruh mereka berhenti.[116] Aleksander tinggal di Parsa selama lima bulan.[117] Dalam masa tinggalnya di ibu kota, kebakaran terjadi di istana timur Xerxes dan menyebar ke seluruh kota. Banyak dugaan mengenai apakah kebakaran itu terjadi karena kecelakaan, atau sebagai tindakan pembalasan atas pembakaran Akropolis Athena pada masa Perang Yunani-Persia Kedua.[118] Arrianos, dalam salah satu kritiknya mengenai Aleksander, menyatakan, "Aku juga tidak merasa bahwa Aleksander menunjukkan pengertian yang baik dalam tindakan ini atau bahwa dia dapat menghukum rakyat Iran atas tindakan masa lalu."[119]

Kejatuhan Persia

Aleksander lalu pergi mengejar Darius lagi, pertama-tama ke Media, dan kemudian ke Parthia.[120] Darius tak lagi dapat mengendalikan nasibnya, dan dia ditawan oleh Besos, satrapnya di Baktria dan juga kerabatnya.[121] Ketika Aleksander datang, Besos dan anak buahnya telah menusuk Darius sampai mati. Besos lalu menyatakan dirinya sebagai penerus Darius dengan nama Artahsasta V, sebelum kemudian mundur ke Asia Tengah untuk melancarkan serangan gerilya terhadap Aleksander.[122] Mayat Darius dimakamkan oleh Aleksander di dekat makam para pemimpin Akhemeniyah lainnya dengan upacara pemakaman yang suci.[123] Aleksander mengklam bahwa sebelum kematiannya, Darius telah mengangkat Aleksander sebagai penerus takhta Akhemeniyah.[124] Kekaisaran Akhemeniyah atau Kekaisaran Persia pada umumnya dianggap telah runtuh dengan meninggalnya Darius.[125]

Asia Tengah

 
Koin perak Aleksander, Museum Britania

Aleksander, kini menganggap diri sebagai penerus sah dari Darius, melihat Bessos sebagai pemberontak yang mengancam takhta Akhemeniyah. Aleksander pun melakukan serangan untuk mengalahkannya. Kampanye militer ini, yang pada awalnya direncanakan untuk melawan Besos, pada akhirnya menjadi petualangan Aleksander di Asia Tengah. Aleksander mendirikan kota-kota baru, dan semuanya diberi nama Aleksandria, termasuk Kandahar modern di Afghanistan, dan Aleksandria Eskhate ("Yang Terjauh") Tajikistan modern. Kampanye ini membawa Aleksander melewati Media, Parthia, Aria (Afghanistan barat), Drangiana, Arachosia (Afghanistan Tengah dan Selatan), Baktria (Afghanistan Tengah dan Utara), dan Skithia.[126]

Besos dikhianati pada tahun 329 SM oleh Spitamana, yang memegang posisi tak jelas dalam kesatrapan Sogdiana. Spitamana menyerahkan Besos pada Ptolemaios, salah satu rekan terpercaya Aleksander, dan Besos pun dihukum mati.[127] Akan tetapi, ketika di suatu waktu, Aleksander sedang sibuk di Jaxartes dalam rangka menghadapi serbuan pasukan nomad berkuda, Spitamana malah memimpin pemberontakan di Sogdiana. Aleksander mengalahkan pasukan Skithia dalam Pertempuran Jaxartes dan dengan segera melancarkan kampanye militer melawan Spitamana. Aleksander berhasil mengalahkannya dalam Pertempuran Gabai. Setelah kalah, Spitamana dibunuh oleh anak buahnya sendiri, yang kemudian memohon perdamaian pada Aleksander.[128]

 
Pernikahan Aleksander dan Roxana, oleh Andre Castaigne.

Permasalahan

Setelah menguasai Iran, Aleksander mengambil gelar penguasa Iran "Raja Diraja" (xšāyaθiya xšāyaθiyānām, syahansyah) dan mengadopsi beberapa ciri khas Iran dalam hal pakaian dan kebiasaan di istananya. Yang paling terkenal adalah adat proskynesis, kemungkinan adat mencium tangan secara simbolis, atau sujud di tanah, yang biasa orang Iran lakukan di depan atasan mereka.[129][130] Orang Yunani menganggap bahwa gerakan tersebut hanya boleh dilakukan kepada dewa dan mereka percaya bahwa Aleksander berniat mendewakan dirinya dengan cara menyuruh orang-orang melakukan itu padanya. Akibatnya dia kehilangan banyak simpati dari para anak buahnya,[130] dan pada akhirnya dia meninggalkan kebiasaan tersebut.[131]

Suatu hari rencana pembunuhan terhadap dirinya terungkap. dan salah satu perwiranya, yaitu Philotas, dihukum mati karena tidak dapat menangani rencana pembunuhan itu dengan cepat. Kematian seorang putra mengharuskan ayahnya juga untuk ikut mati, dan demikianlah Parmenion, yang bertugas menjaga harta benda di Ekbatana, dibunuh secara diam-diam atas perintah Aleksander, supaya dia tidak dapat membalaskan kematian putranya. Aleksander juga pernah secara langsung membunuh pria yang pernah menyelamatkan nyawanya di Granikos, yaitu Kleitos si Hitam, ketika mereka sedang mabuk dan berdebat di Maracanda.[132] Di kemudian hari, dalam kampanye di Asia Tengah, rencana pembunuhan kedua terungkap, kali ini diprakarsai oleh pelayan prianya sendiri, sejarawan resminya, Kallisthenes dari Olynthos (yang tak lagi disukai oleh Aleksander karena memimpin oposisi terhadap usahanya untuk memperkenalkan proskynesis), dituduh terlibat dalam rencana pembunuhan tersebut. Namun, tidak pernah ada kesepakatan di antara para sejarawan mengenai keterlibatannya dalam persekongkolan.[133]

Makedonia

Ketika Aleksander pergi ke Asia, dia menugaskan jenderalnya Antipatros, seorang pemimpin dengan pengalaman politik dan militer dan bagian dari "Garda Lama" yang telah melayani Filipus, untuk mengurus Makedonia.[89] Penghancuran Aleksander terhadap kota Thiva telah membuat kota-kota lainnya diam sehingga Yunani terjamin tetap aman selama Aleksander absen.[89] Masalah yang muncul adalah ancaman dari raja Sparta, Agis III, pada tahun 331 SM, yang untungnya dapat diselesaikan oleh Antipatros. Agis dikalahkan dan dibunuh oleh Antipatros dalam suatu pertempuran di Megalopolis setahun kemudian.[89] Antipatros lalu meminta Aleksander untuk menghukum Sparta, tetapi Aleksander lebih memilih untuk mengampuni mereka.[134] Masalah lainnya adalah perselisihan antara Antipatros dan ibu Aleksander Olimpias. Masing-masing dari mereka sama-sama mengeluh kepada Aleksander mengenai yang lainnya.[135] Secara umum, Yunani mengalami periode perdamaian dan kemakmuran selama kampanye militer Aleksander di Asia.[136] Aleksander juga mengirim balik sejumlah besar harta hasil dari penaklukannya, yang berhasil meningkatkan perekonomian dan mengembangkan perdagangan antar daerah di kekaisarannya.[137] Namun dalam prosesnya, Aleksander terus-menerus meminta tambahan pasukan serta penduduk dari Yunani untuk mengisi berbagai daerah di kekaisarannya. Tindakan ini sangat melemahkan Makedonia bertahun-tahun setelah kematiannya, dan akan berujung pada kekalahan dan pendudukan Makedonia oleh Romawi.[138]

Kampanye di India

Invasi ke anak benua India

 
"Koin kejayaan" perak Aleksander Agung, dicetak di Babilonia c.322 SM, menyusul kampanyenya di India.
Bagian depan: Aleksander dimahkotai oleh dewi Nike.
Bagian belakang: Aleksander menyerang raja Puru yang sedang mengendarai gajahnya. Museum Britania.

Aleksander menikah dengan Roxana (Rosyanak dalam bahasa Baktria) untuk memperkuat hubungannya dengan kesatrapan di Asia Tengah. Setelah itu Aleksander mengalihkan perhatiannya ke anak benua India. Dia mengundang semua kepala suku dari bekas kesatrapan Gandhara, di daerah utara Pakistan modern, untuk datang dan tunduk di bawah kekuasaannya. Ambhi, penguasa Taxila, yang kerajaannya membentang dari Indus sampai Hydaspes, bersedia tunduk, tetapi para kepala suku dari beberapa klan perbukitan, termasuk bagian-bagian Asvaka dan Assakenoi dari suku Kamboja (dikenal juga dalam naskah-naskah India sebagai Ashvayanas Dan Ashvakayanas), menolak untuk menyerah.[139]

Pada musim dingin tahun 327/326 SM, Aleksander secara langsung memimpin pasukan untuk menghadapi klan-klan yang tidak mau tunduk kepadanya, antara lain suku Aspasioi dari lembah Kunar, suku Guraeus dari lembah Guraeus, dan suku Assakenoi dari lembah Swat dan Buner.[140] Pertempuran yang sengit terjadi melawan pasukan Aspasioi ketika Aleksander sendiri terluka bahunya oleh panah. Namun pasukan Aspasioi pada akhirnya berhasil dikalahkan. Aleksander kemudian menghadapi pasukan Assakenoi, yang memberikan perlawanan yang luar biasa dari benteng Massaga, Ora, dan Aornos.[139] Benteng Massaga berhasil ditaklukkan setelah melalui pertumpahan darah selama beberapa hari dan Aleksander lagi-lagi terluka di bagian pergelangan kakinya. Menurut Curtius, "Aleksander tidak hanya membantai seluruh penduduk Massaga, tetapi juga menghancurkan bangunan-bangunannya".[141][142] Pembantaian serupa terjadi di Ora, benteng lainnya milik suku Assakenoi. Setelah peristiwa Massaga dan Ora, banyak orang Assakenoi yang menyelamatkan diri ke benteng Aornos. Aleksander mengikuti mereka dan berhasil menaklukkan benteng di atas bukit tersebut setelah melakukan pertempuran yang sangat berdarah selama empat hari.[139]

Setelah menaklukkan Aornos, Aleksander menyeberangi sungai Indus dan bertempur melawan penguasa Punjabi lokal yang bernama Raja Puru, yang menguasai daerah di Punjab. Aleksander mengalahkan Puru melalui pertempuran yang sengit, yaitu Pertempuran Hydaspes pada tahun 326 SM.[143] Aleksander sangat terkesan dengan keberanian Puru dalam pertempuran tersebut dan karena itu seusai pertempuran Aleksander menjalin kerja sama dengannya serta mengangkatnya sebagai salah satu satrap di kerajaannya. Aleksander bahkan menambahkan wilayah yang sebelumnya tidak dikuasai oleh Puru. Alasan lainnya kemungkinan lebih bersifat politis, yaitu karena untuk mengendalikan daerah yang jauh dari Yunani, Aleksander membutuhkan bantuan dan kerja sama dari orang lokal.[144] Aleksander mendirikan dua kota baru di kedua sisi sungai Hydaspes, dan salah satunya dia beri nama Bukephala sebagai penghormatan kepada kuda yang telah membawanya ke India. Kudanya itu meninggal dalam pertempuran.[145] Kota yang satunya dinamai Nikaia (Kejayaan) di situs arkeologis Mong, Punjab.[146][147]

Pemberontakan pasukan

 
Invasi Aleksander di anak benua India.

Di sebelah timur kerajaan Puru, di dekat Sungai Gangga, berdiri Kekaisaran Nanda di Magadha dan Kekaisaran Ganggaridai di Bengali. Dua kekaisaran itu sangatlah kuat. Pasukan Aleksander kemudian memberontak karena tidak mau lagi menghadapi pasukan India yang kuat. Selain itu mereka juga sudah lelah setelah berperang selama bertahun-tahun. Mereka memberontak di Sungai Hyphasis, menolak untuk maju lebih jauh ke timur. Demikianlah, sungai ini menjadi batas paling timur penaklukan Aleksander.[148][149]

Aleksander berbicara kepada pasukannya dan berusaha untuk membujuk mereka supaya mau berjalan lebih jauh ke India namun Koinos, salah satu jenderalnya, memohon pada Aleksander untuk berubah pikiran dan pulang. Koinos berkata, "Para tentara sudah rindu untuk berjumpa kembali dengan orang tua, istri, anak-anak, dan kampung halaman mereka." Aleksander menyadari keadaan pasukannya dan dia pun akhirnya setuju. Dia dan pasukannya kemudian berbelok ke selatan dan menyusuri Sungai Indus. Dalam perjalanannya, mereka menaklukkan klan-klan Malhi (di Multan modern), dan beberapa suku India lainnya.[150]

Aleksander mengirim sejumlah besar pasukannya ke Kerman (Iran selatan modern) beserta jenderalnya Krateros, dan juga mengirim armada laut untuk mengeksplorasi pesisir Teluk Persia di bawah admiral Nearkhos. Sementara dia sendiri memimpin pasukannya untuk mundur ke Persia melalui rute selatan yang lebih sulit di sepanjang Gurun Gedrosia dan Makran (kini bagian dari Iran selatan dan Pakistan selatan).[151] Aleksander sampai di Susa pada tahun 324 BC, tetapi dia kehilangan banyak prajurit akibat kondisi gurun yang keras.[152]

Tahun-tahun terakhir di Persia

Mengetahui bahwa banyak satrap dan gubernur militernya yang bertindak melenceng selama dia absen, Aleksander pun menghukum mati beberapa dari mereka dalam perjalanannya ke Susa sebagai contoh bagi yang lainnya.[153][154] Sebagai ungkapan terima kasih kepada pasukannya, Aleksander membayar lunas gaji para tentaranya, dan mengumumkan bahwa dia akan mengirim prajurit yang sudah tua dan cacat kembali ke Makedonia dengan dimpimpin oleh Krateros. Namun, pasukannya salah paham atas niat Aleksander. Mereka pun memberontak di kota Opis, menolak untuk dikirim balik dan secara keras mengkritik usahanya untuk mengadopsi adat dan pakaian Persia, dan upaya masuknya para perwira dan tentara Persia ke dalam unit-unit militer Makedonia.[155] Aleksander mengeksekusi para pemimpin pemberontakan tersebut, tetapi mengampuni para prajuritnya. Setelah tiga hari, Aleksander sadar dia tidak dapat membujuk pasukannya. Aleksander pun tak lagi memasukkan komando Persia ke dalam pasukan Makedonia, sebaliknya gelar-gelar militer Makedonia kini dapat diberikan untuk unit-unit perang Persia. Maka pasukan Makedonia langsung meminta maaf, dan Aleksander memaafkan mereka. Pada malam harinya, Aleksander menggelar acara makan-makan yang dihadiri oleh beberapa ribu prajuritnya, dan mereka makan bersama.[156] Dalam upaya menciptakan perdamaian yang bertahan antara orang-orang Makedonia dan rakyat Iran, Aleksander mengadakan pernikahan massal di Susa antara para perwiranya dengan wanita bangsawan Iran. Akan tetapi, hanya sedikit dari pernikahan tersebut yang bertahan lebih dari setahun.[154] Sementara itu, setelah tiba di istananya, Aleksander mengetahui bahwa beberapa orang telah menodai makam Koresy Agung. Aleksander dengan cepat menghukum mati mereka, karena mereka sebenarnya ditugaskan untuk menjaga makam Koresy tersebut, yang sangat dihormati oleh Aleksander.[157]

Setelah Aleksander pergi ke Ekbatana untuk mengambil bagian terbesar dari harta kekayaan Iran, sahabat terdekat dan mungkin kekasihnya, Hephaistion, meninggal karena suatu penyakit, atau barangkali akibat diracun.[158][159] Arrianos menemukan banyak sumber yang meragukan tentang reaksi duka Aleksander atas kematian itu, meskipun hampir semua pendapat setuju bahwa kematian Hephaistion cukup mengguncang Aleksander. Dia memerintahkan pelaksanaan pemakaman sahabatnya itu untuk diselenggarakan secara mahal di Babilonia. Selain itu, Aleksander juga memerintahkan dilaksanakannya masa berkabung bersama.[158]

Setelah kembali ke Babilonia, Aleksander merencanakan serengkaian kampanye militer baru, yang akan dimulai dengan invasi ke Jazirah Arab. Namun dia tidak sempat merealisasikan rencana tersebut karena dia meninggal dunia tidak lama setelah kembali ke Babilonia.[160]

Kematian

 
Sebuah diari astronomi Babilonia (c. 323–322 SM) yang berisi tentang kematian Aleksander (Museum Britania, London)

Pada tanggal 10 atau 11 Juni 323 SM, Aleksander meninggal di istana Nebukadnezar II, di Babilonia pada usia 32 tahun.[161] Rincian mengenai kematian tersebut sedikit berbeda-beda. Catatan Plutarkhos menceritakan bahwa sekitar 14 hari sebelum kematiannya, Aleksander menjamu admiralnya, Nearkhos, dan menghabiskan malam serta hari berikutnya dengan minum-minum bersama Medios dari Larissa.[162] Aleksander lalu mengalami demam, yang semakin lama semakin parah, sampai-sampai dia tak dapat lagi berbicara. Para tentara menjadi sangat cemas ketika Aleksander hanya dapat melambaikan tangannya pada mereka.[162][163][164] Dua hari kemudian, Aleksander meninggal dunia.[162][163] Sementara Diodoros menceritakan bahwa Aleksander menderita rasa sakit setelah menenggak semangkuk besar anggur yang tidak dicampur untuk menghormati Herakles, dan meninggal dunia setelah mengalami semacam rasa sakit,[165] yang juga disebutkan sebagai alternatif oleh Arrianos, tetapi Plutarkhos secara khusus membantah klaim ini.[162]

Mengingat aristokrasi Makedonia punya kecenderungan untuk melakukan pembunuhan,[166] maka muncul dugaan bahwa Aleksander meninggal dunia akibat dibunuh. Diodoros, Plutarkhos, Arrianos, dan Yustinus semuanya menyebutkan teori bahwa Aleksander diracun. Plutarkhos menganggapnya sebagai pemalsuan,[73] sedangkan Diodoros dan Arrianos berkata bahwa mereka menyebutkannya hanya demi kelengkapan.[165][167] Meskipun demikian, catatan-catatan mereka cukup konsisten dalam menduga para tersangka di balik pembunuhan Aleksander, di antaranya adalah Antipatros, yang baru saja diberhentikan dari jabatannya sebagai raja muda Makedonia, dan tersangka lainnya yang anehnya adalah Olimpias. Barangkali datang ke Babilonia untuk menanti hukuman mati,[168] dan telah melihat nasib yang menimpa Parmenion dan Philotas,[169] Antipatros pun menyusun rencana supaya Aleksander diracun oleh putranya Iollas, yang merupakan penuang anggur Aleksander.[73][167][169] Bahkan ada dugaan bahwa Aristoteles terlibat dalam konspirasi tersebut.[73][167] Sebaliknya, argumen terkuat melawan teori racun adalah fakta bahwa ada dua belas hari antara awal sakitnya dan kematiannya; di dunia kuno, racun yang bereaksi lama seperti itu kemungkinan tidak tersedia.[170] Akan tetapi pada tahun 2010, sebuah teori diajukan yang mengindikasikan bahwa keadaan kematian Aleksander sesuai dengan peracunan oleh air sungai Styx (Mavroneri) yang mengandung calicheamicin, suatu bahan berbahaya yang dihasilkan oleh bakteri yang ada di airnya.[171]

Beberapa penyebab alami (penyakit) telah diajukan sebagai penyebab kematian Aleksander; malaria atau demam tifoid adalah kandidat yang jelas. Sebuah artikel pada tahun 1998 dalam New England Journal of Medicine menyebutkan kematian Aleksander disebabkan oleh pelubangan usus dan kelumpuhan menaik,[172] sedangkan analisis terkini lainnya mengajukan spondilitis pirogenis atau meningitis sebagai penyebabnya.[173] Penyakit lainnya dapat juga menjadi penyebabnya, termasuk pankreatitis akut atau Virus West Nile.[174][175] Teori penyebab alami juga cenderung menekankan bahwa kesehatan Aleksander mungkin semakin menurun akibat suka minum-minum dan menderita luka-luka dalam perang (termasuk luka di India yang hampir merenggut nyawanya). Lebih jauh lagi, dukacita yang dirasakan oleh Aleksander setelah kematian Hephaestion mungkin ikut memperburuk kesehatannya.[172]

Penyebab lainnya yang diduga mengakibatkan kematian Aleksander adalah overdosis obat-obatan yang mengandung helebor, sejenis tanaman yang berbahaya jika dikonsumsi dalam dosis yang banyak.[176][177]

 
Relief pada Sarkofagus Aleksander.

Pemakaman

Jenazah Aleksander disimpan di sarkofagus emas berbentuk tubuhnya (antropoid) dan diisi dengan madu, yang kemudian dimasukkan lagi ke dalam peti mati emas.[178] Berdasarkan Aelianus, seorang peramal bernama Aristandros meramalkan bahwa tanah tempat Aleksander diistirahatkan "akan bahagia dan tak tertaklukkan selamanya".[179] Yang lebih mungkin, para penerusnya barangkali menganggap kepemilikan atas jenazah Aleksander sebagai suatu lambang legitimasi (adalah hak khusus kerajaan untuk memakamkan raja sebelumnya).[180] Bagaimanapun, Ptolemaios mencuri iring-iringan pemakaman, dan membawanya ke Memphis.[178][179] Penggantinya, Ptolemaios II Philadelphos, memindahkan sarkofagus ke Aleksandria. Sarkofagus itu berada di sana hingga setidaknya Zaman Kuno Akhir. Ptolemaios IX Lathyros, salah satu penerus Ptolemaios I, mengganti sarkofagus emas Aleksander dengan sarkofagus dari kaca. Sarkofagus emasnya dia lelehkan untuk kemudian dibuat menjadi uang koin.[181] Pompeius, Julius Caesar, dan Augustus semuanya pernah mengunjungi makam Aleksander di Aleksandria. Augustus diduga mengganggu hidung jenazah Aleksander. Caligula dikatakan mengambil pelindung dada Aleksander dari makam untuk kepentingannya sendiri. Pada tahun 200 M, Kaisar Septimius Severus menutup makam Aleksander untuk umum. Putra dan penggantinya, Caracalla, adalah pengagum berat Aleksander. Dia pernah mengunjungi makam Aleksander pada masa pemerintahannya. Setelah itu, nasib makam tersebut menjadi tidak banyak diketahui.[181]

Sarkofagus yang disebut "Sarkofagus Aleksander" ditemukan di dekat Sidon dan kini berada di Museum Arkeologi Istanbul. Sarkofagus itu dinamai begitu bukan karena di dalamnya ada jenazah Aleksander, tetapi karena di bagian luarnya terdapat relief yang menggambarkan Aleksander dan rekan-rekannya yang sedang berburu dan bertempur melawan pasukan Persia. Awalnya itu dikira sebagai sarkofagus Abdalonymos (meninggal 311 SM), raja Sidon yang diangkat oleh Aleksander segera setelah pertempuran Issos pada tahun 331.[182][183][184] Namun, baru-baru ini diduga bahwa sarkofagus itu berasal dari masa yang lebih awal daripada kematian Abdolymos.

Wasiat

Diodoros Sikolos menulis bahwa Aleksander telah memberi instruksi tertulis yang rinci kepada Krateros sebelum meninggal dunia.[185] Meskipun Krateros sudah mulai melaksanakan beberapa perintah Aleksander, tetapi para penerusnya memilih untuk tidak melaksanakannya lebih lanjut, dengan alasan tidak praktis dan boros..[185] Meskipun demikian, kehendak Aleksander dibacakan kepada pasukannya oleh Perdikkas setelah kematian Aleksander.[89] Wasiat itu menyuruh untuk melakukan ekspansi imiliter ke Mediterania barat dan selatan, membangun monumen, dan pencampuran penduduk Timur dan Barat. Isinya adalah:

  • Membangun makam monumental untuk ayahnya Filipus, "untuk menyamai piramida terbesar di Mesir"[89]
  • Mendirikan kuil di Delos, Delphi, Dodona, Dium, Amphipolis, Kirnos, dan sebuah kuil monumental untuk dewi Athena di Troya[89]
  • Menaklukkan Jazirah Arab dan seluruh Mediterania[89]
  • Berlayar mengelilingi Afrika[89]
  • Mendirikan kota-kota dan "mengirim penduduk dari Asia ke Eropa dan sebaliknya dari Eropa ke Asia, dengan tujuan menyatukan dua benua itu dan persahabatan dengan cara pernikahan antar bangsa dan ikatan keluarga."[186]

Pembagian kekaisaran

 
Setelah Aleksander wafat, kekaisarannya terpecah menjadi empat kerajaan; Kerajaan Ptolemaik (biru tua) , Kekaisaran Seleukia (kuning), Kerajaan Pergamon (jingga), dan Kerajaan Makedonia (hijau).

Kematian Aleksander begitu tiba-tiba sehingga ketika beritanya mencapai Yunani, orang-orang tidak langsung percaya.[89] Aleksander tidak memiliki ahli waris yang sah dan jelas, putranya Aleksander IV dari hubungannya dengan Roxana baru lahir setelah Aleksander meninggal. Akibatnya muncul pertanyaaan besar mengenai siapa yang akan memimpin kekaisaran yang baru ditaklukkan dan belum tenang ini.[187] Berdasarkan Diodoros, rekan-rekan Aleksander sempat bertanya kepada Aleksander, yang saat itu sedang sekarat, mengenai kepada siapa Aleksander mewariskan kerajaannya. Aleksander menjawab singkat, "tôi kratistôi" ("kepada yang terkuat").[165] Mengingat bahwa Arrianos dan Plutarkhos menyatakan bahwa ketika itu Aleksander sudah tidak dapat berbicara, cerita tersebut agak diragukan kebenarannya.[188] Diodoros, Curtius, dan Yustinus juga punya cerita yang lebih masuk akal bahwa Aleksander memberikan segelnya kepada Perdikkas, salah satu pengawalnya dan pemimpin pasukan kavaleri rekan. Aleksander melakukannya di depan sejumlah saksi, dan dengan demikian mungkin Aleksander mencalonkan Perdikkas sebagai penerusnya.[165][187]

Dalam hal apapun, Perdikkas awalnya secara eksplisit menolak mengklaim kekuasaan. Dia malah menginginkan putra Roxana untuk menjadi raja, jika Roxana melahirkan bayi laki-laki. Sementara dia, Krateros, Leonnatos, dan Antipatros akan menjadi penjaga sang raja. Akan tetapi, pasukan infanteri, di bawah komando Meleagros, menolak hal ini dengan alasan mereka tidak diikutsertakan dalam diskusinya. Sebaliknya, mereka mendukung saudara tiri Aleksander, Filipus Arrhidaios. Pada akhirnya, kedua belah pihak berdamai, dan setelah Aleksander IV lahir, dia dan Filipus III diangkat sebagai raja bersama, meskipun hanya sebatas nama.[189]

Tidak lama setelah itu, perselisihan dan persaingan mulai menimpa orang-orang Makedonia. Kesatarapan-kesatrapan yang diserahkan oleh Perdikkas melalui Pembagian Babilonia menjadi basis kekuatan bagi masing-masing jenderal untuk melancarkan tawarannya untuk kekuasaan. Setelah Perdikkas dibunuh oleh pembunuh gelap pada tahun 321 SM, persatuan Makedonia runtuh dan terjadilah perang selama empat puluh tahun antara "Para Penerus" (Diadokhoi). Setelah itu kekaisaran Aleksander terpecah menjadi empat wilayah kekuassaan terpisah yang stabil, yaitu Kerajaan Ptolemaik di Mesir, Kekaisaran Seleukia di Iran, Kerajaan Pergamon di Asia Minor, dan Kerajaan Makedonia di Yunani. Dalam prosesnya, baik Aleksander IV dan Filipus III terbunuh.[190]

Karakter

Keahlian militer

 
Pertempuran Granikos, 334 SM.
 
Pertempuran Issus, 333 SM.

Aleksander memperoleh gelar "yang Agung" karena kesuksesannya yang tak tertandingi sebagai komandan militer.[88] Dia tidak pernah kalah dalam pertempuran, meskipun sering kalah jumlah dalam banyak pertempuran yang dia lakukan.[88] Kesuksesan ini karena keberhasilannya memanfaatkan keadaan medan perang, penguasaan siasat phalanx dan kavaleri, strategi yang berani, dan terutama kemampuannya untuk membangkitkan kesetiaan yang luar biasa di antara para prajuritnya.[191][192] Phalanx Makedonia, yang bersenjatakan sarissa, yaitu tombak sepanjang enam meter, telah dikembangkan dan disempurnakan oleh Filipus II melalui latihan yang keras,[192] dan Aleksander mempergunakan kecepatan dan kemampuan manuvernya untuk efek yang besar melawan pasukan Persia yang lebih banyak namun lebih terpisah.[192] Aleksander juga mampu memahami potensi perpecahan di antara pasukannya, yang memiliki bahasa dan senjata yang berbeda-beda, dan dia mengatasi hal itu dengan cara terlibat secara langsung dalam pertempuran,[193] dengan tata cara sebagai raja Makedonia.[191][192]

Dalam pertempuran pertamanya di Asia, yakni di Granikos, Aleksander hanya mengerahkan sedikit pasukannya, kemungkinan 13.000 infanteri dengan 5.000 kavaleri. Sementara pasukan Persia yang dihadapinya berjumlah 40.000 prajurit. Aleksander menempatkan pasukan phalanx di bagian tengah dan kavaleri serta pemanah di bagian sayap, dengan demikian barisannya menjadi sama panjang dengan barisan kavaleri Persia yang dia hadapi, yaitu sekitar 3 km (1,86 mi). Pasukan infanteri Persia sendiri diposisikan di belakang kavaleri. Dengan siasat tersebut, Aleksander memastikan bahwa pasukannya tidak akan dijepit, sedangkan pasukan phalaxnya, yang bersenjatakan tombak panjang, memiliki keuntungan yang besar terhadap skimitar dan lembing pasukan Persia. Pada akhirnya, kerugian yang dialami pasukan Persia jauh lebih besar daripada kerugian pasukan Makedonia.[194]

Di Issus pada tahun 333 SM, Aleksander pertama kali berhadapan dengan Darius. Ketika itu dia menggunakan metode pemosisian yang sama, dan lagi-lagi phalanx di bagian tengah berhasil mendorong maju karena memiliki keuntungan berupa senjata tombak mereka yang panjang.[194] Ini memungkinkan Aleksander secara langsung memimpin serangan di bagian tengah barisan melawan Darius. Pada akhirnya Darius melarikan diri dan pasukan Persia mundur secara kacau.[191] Dalam pertempuran yang menentukan di Gaugamela, Darius telah melengkapi kereta perang-kereta perangnya dengan sabit pada bagian rodanya untuk memecah barisan phalanx dan kavaleri Aleksander. Menghadapi ini, Aleksander menyusun formasi phalanx ganda, dengan bagian tengahnya membentuk sudut. Ketika kereta perang Persia menyerang, barisan phalanx ini akan memisahkan diri dan kemudian mengelompok kembali. Rencana Aleksander berhasil dan bagian tengah barisan Persia berhasil ditembus. Darius kalah dan dia melarikan diri lagi.[194]

Ketika berhadapan dengan musuh yang bertempur dengan teknik yang tidak dia kenal, seperti misalnya di Asia Tengah dan India, Aleksander dengan cepat mampu menyesuaikan gaya tempur pasukannya. Jadi, di Baktria dan Sogdiana, Aleksander sukses mengerahkan para pelempar lembing dan pemanahnya untuk mencegah kepungan musuh, dan pada saat yang sama dia menumpuk kavaleri di bagian tengah barisan.[191] Di India, ketika berperang melawan korps gajah Raja Puru, pasukan Makedonia bisa menang dengan cara membuka barisan dan mengurung gajah-gajah musuh. Kemudian dengan mengarahkan tombak sarissa mereka ke arah dan menjatuhkan para penunggang gajahnya.[156]

Penampilan fisik

 
Patung tiruan Romawi dari patung asli buatan Lysippos, Museum Louvre. Plutarkhos merasa bahwa patung ini adalah penggambaran Aleksander yang paling jujur.

Biografer Yunani Plutarkhos (ca. 45–120 M) menggambarkan penampilan Aleksander sebagai berikut:

Sejarawan Yunani lainnya Arrianos (Lucius Flavius Arrianos 'Xenophon' ca. 86 - 160 M) mendeskripsikan Aleksander sebagai:

Banyak penggambaran dan patung yang menggambarkan Aleksander dalam postur tubuh berbentuk S, dengan padangan ke arah atas. Beberapa sejarawan beranggapan bahwa ini menunjukkan Aleksander memiliki cacat fisik. Namun ini juga merupakan konsep seni tradisional Contrapposto yang sering digunakan oleh para pematung kuno dan modern untuk menunjukkan keindahan, keanggunan, dan dominasi sosial.[197][198][199][200] Para sejarawan itu berpendapat bahwa ayah Aleksander, Filipus II, dan saudaranya Filipus Arrhidaios mungkin juga menderita cacat fisik, yang memunculkan kesimpulan bahwa Aleksander menderita gangguan skoliosis bawaan (leher familial dan cacat tulang belakang).

Sebagai contoh, sejarawan Britania modern Peter Green (lahir tahun 1924) mengajukan pendapat mengenai penampilan fisik Aleksander, berdasarkan tinjauannya terhadap patung-patung dan beberapa dokumen kuno:

Bahkan ada pendapat dari ahli bedah Hutan Ashrafian bahwa skoliosis yang dialami Aleksander ikut berperan dalam kematian Aleksander,[173] namun sejarawan Yunani kuno Arrianos dari Nikomedia menyatakan bahwa Aleksander meninggal dunia akibat demam.[202]

Para penulis kuno mencatat bahwa Aleksander Agung sangat senang dengan penggambaran dirinya oleh Lysippos sehingga di membuat keputusan bahwa para pematung tidak boleh lagi membuat patung dirinya.[203] Lysippos sudah sering menggunakan skema patung Contrapposto untuk menggambarkan Aleksander dan tokoh-tokoh lainnya seperti misalnya Apoxyomenos, Hermes, dan Eros.[199][204][205] Patung Lysippos yang terkenal karena naturalismenya yang seperti hidup, yang berkebalikan dengan pose statis yang kaku, dipercaya sebagai penggambaran rupa Aleksander yang paling akurat.[206]

Kepribadian

Beberapa sifat Aleksander terbentuk sebagai respon terhadap orang tuanya.[201] Ibunya memiliki ambisi yang besar untuk Aleksander, dan mendorongnya untuk percaya bahwa adalah takdinya untuk menaklukkan Kekaisaran Persia.[201] Dan memang, Olimpias mungkin telah bertindak sampai sejauh meracuni Filipus Arrhidaios dengan tujuan membuatnya cacat, dan mencegahnya menjadi saingan Aleksander.[73] Pengaruh Olimpias menanamkan ambisi yang besar dan perasaan akan takdir dalam diri Aleksander,[207] dan Plutarkhos menceritakan bahwa ambisi Aleksander "menjaga semangatnya tetap serius dan tinggi seiring usianya bertambah".[208] Hubungan Aleksander dengan ayahnya menghasilkan sisi kompetitif dalam kepribadiannya; dia mesti melampaui ayahnya, karena itu kadang-kadang dia bersikap nekat dalam pertempuran.[201] Sementara Aleksander merasa cemas bahwa ayahnya tidak akan mewariskan padanya "pencapaian hebat dan brilian untuk diperlihatkan pada dunia",[30] ia masih berusaha untuk mengecilkan prestasi ayahnya di depan rekan-rekannya.[201]

Sifat Aleksander yang paling jelas adalah sikap pemarah, kasar, dan impulsif,[208][209] yang tak diragukan lagi ikut berpengaruh terhadap beberapa keputusan dalam hidupnya.[201] Plutarkhos berpendapat bahwa sifat ini yang menjadikan Aleksander kecanduan terhadap alkohol.[208] Meskipun Aleksander keras kepala dan tidak menanggapi dengan baik perintah ayahnya, tetapi dia mudah dibujuk melalui alasan-alasan yang jelas.[37] Dan memang, di samping memiliki temperamen yang berapi-api, ada juga sisi tenang dalam diri Aleksander. Dia itu cerdik, logis, dan memperhitungkan segala kemungkinan. Dia memiliki hasrat yang besar terhadap pengetahuan, dia cinta filsafat, dan dia adalah pembaca yang setia.[42] Sifat-sifat itu tak diragukan berasal dari masa bimbingannya oleh Aristoteles, yang membuat Aleksander menjadi orang yang cerdas dan cepat belajar.[37][201] Kisah bahwa dia berhasil "menyelesaikan" Simpul Emas menunjukkan kepintarannya. Sisi intelejen dan rasional Aleksander dapat kita lihat dari kemampuan dan keberhasilannya sebagai seorang jenderal.[209] Dia mampu menahan hasratnya untuk memperoleh kenikmatan tubuh, misalnya hubungan seksual, tetapi dia kurang mampu mengendalikan diri terhadap alkohol.[208][210]

Aleksander tidak diragukan lagi merupakan orang yang terpelajar, dan sangat menyukai seni maupun ilmu pengetahuan.[42][208] Akan tetapi dia kurang tertarik pada olahraga, atau Olimpiade, tak seperti ayahnya. Aleksander hanya mencari kejayaan dan ketenaran berdasarkan gagasan-gagasan Homeros.[207][208] Dia memiliki kharisma yang besar dan kepribadian yang kuat, semua karakteristik itu menjadikannya sebagai pemimpin yang hebat.[187][209] Ini semakin diperkuat dengan ketidakmampuan para jenderalnya untuk menyatukan Makedonia dan mempertahankan kekaisaran setelah kematiannya. Hanya Aleksander yang memiliki kepribadian dan kemampuan untuk melakukan hal tersebut.[187]

Megalomania

Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, dan terutama setelah kematian Hephaistion, Aleksander mulai menunjukkan gejala-gejala megalomania dan paranoia.[168] Pencapaiannya yang luar biasa, ditambah dengan perasaannya yang tak terlukiskan mengenai takdir serta sanjungan rekan-rekannya, mungkin merupakan penyebabnya.[211] Khayalannya tentang keagungan dapat dilihat dari wasiat-wasiat yang dia suruh Krateros untuk dilaksanakan, juga dapat kita lihat dari hasratnya untuk menaklukkan dunia yang dikenal.[168]

Aleksander tampaknya percaya bahwa dia adalah dewa atau setidaknya ingin dirinya didewakan.[168] Olimpias selalu menanamkan dalam dirinya bahwa dia adalah putra Zeus.[17] Aleksander juga semakin merasa sebagai keturunan dewa berkat pernyataan dari orakel Amun di Siwa.[110] Sejak itu dia memandang dirinya sendiri sebagai putra Zeus-Ammon.[110] Aleksander mengadopsi beberapa unsur pakaian dan adat Persia di istananya, yang paling terkenal adalah adat proskynesis, suatu praktik yang tidak disetujui oleh anak buah Makedonianya, yang tidak mau melakukannya.[129][130] Perilaku tersebut membuat Aleksander kehilangan banyak simpati dari para anak buahnya.[130]

Hubungan pribadi

 
Lukisan dinding di Pompeii, menggambarkan pernikahan Aleksander dengan Barsine (Stateira) pada tahun 324 SM. Pasangan ini berpakaian sebagai Ares dan Afrodit.

Hubungan emosional terbesar Aleksander sepanjang hidupnya adalah dengan sahabat, jenderal, sekaligus pengawalnya Hephaistion, putra seorang bangsawan Makedonia.[158][201][212] Kematian Hephaistion sangat menghancurkan mental Aleksander, dan membuat Aleksander amat berdukacita.[158][213] Kejadian itu juga ikut berpengaruh pada penurunan kesehatan Aleksander, dan keadaan mental yang melemah pada bulan-bulan terakhir dari masa hidupnya.[168][172] Aleksander menikah dua kali, pertama dengan Roxana, putri bangsawan Baktria Oxyartes, karena cinta,[214] dan yang kedua dengan Stateira, seorang putri Persia dan anak perempuan Darius III, alasannya lebih bersifat politis.[215] Aleksander memiliki dua orang putra, Aleksander IV dari Makedonia, dari Roxana, dan kemungkinan Herakles dari Makedonia dari Stateira. Aleksander kehilangan satu orang anak ketika Roxana mengalami keguguran di Babilonia.[216][217]

Seksualitas Aleksander telah menjadi subjek spekulasi dan kontroversi.[218] Tidak disebutkan dalam naskah kuno manapun bahwa Aleksander punya hubungan homoseksual, atau bahwa hubungan Aleksander dengan Hephaistion bersifat seksual. Akan tetapi, Aelianus, menulis bahwa Aleksander pernah mengunjungi Troya. Di sana Aleksander menaruh karangan bunga di makam Akhilles sedangkan Hephaistion menaruh karangan bunga di makam Patroklos. Ini memunculkan dugaan bahwa mereka adalah sepasang kekasih, seperti halnya Akhilles dan Patroklos.[219] Perlu diingat bahwa kata eromenos (yang tercinta) tidak selalu memiliki makna seksual, Aleksander bisa jadi merupakan seorang biseksual, yang pada masanya tidaklah aneh.[220][221]

Green berpendapat bahwa hanya ada sedikit bukti dalam naskah kuno yang menceritakan bahwa Aleksander memiliki ketertarikan pada perempuan, selain itu Aleksander baru memiliki anak pada akhir masa hidupnya.[201] Namun, Aleksander masih relatif muda ketika meninggal dunia, dan Ogden berpendapat bahwa catatan pernikahan Aleksander lebih mengesankan daripada ayahnya pada usia yang sama.[222] Selain istri, Aleksander juga memiliki banyak selir. Aleksander mengumpulkan harem dengan gaya raja-raja Iran namun dia tidak terlalu sering menikmati haremnya;[223] yang dengan demikian menunjukkan bahwa Aleksander mampu mengendalikan hasrat seksualnya.[210] Ada kemungkinan bahwa Aleksander adalah orang yang tidak terlalu menyukai hubungan seks. Namun, Plutarkhos menggambarkan bahwa Aleksander tergila-gila pada Roxana sambil memuji dirinya sendiri karena berhasil membatasi nafsunya pada Roxana.[224] Green mengajukan pendapat bahwa, dalam dalam konteks pada masa itu, Aleksander banyak berhubungan dekat dengan sejumlah perempuan, termasuk Ada dari Karia, yang mengadopsi Aleksander, dan bahkan ibu Darius, Sisygambis, yang diduga meninggal akibat berdukacita setelah Aleksander meninggal dunia.[201]

Peninggalan

Kerajaan-kerajaan Helenistik

 
Dunia Helenistik setelah masa Aleksander: peta dunia kuno oleh Eratosthenes (276–194 SM), menggabungkan informasi dari kampanye-kampanye Aleksander dan para penerusnya.[225]

Peninggalan Aleksander yang paling jelas adalah diperkenalkannya kekuasan Makedonia di Asia. Banyak dari daerah ini yang tetap berada dalam kekuasaan Makedonia atau di bawah pengaruh Yunani untuk 200-300 tahun berikutnya. Negara-negara penerus Aleksander yang muncul, setidaknya pada awalnya, merupakan kekuatan dominan pada epos ini, dan 300 tahun dalam masa tersebut sering kali disebut sebagai periode Helenistik.[226]

Batas timur kekaisaran Aleksander sudah mulai runtuh bahkan ketika dia masih hidup.[187] Akan tetapi, kekosongan kekuasaan yang dia tinggalkan di barat laut anak benua India secara langsung memberi kesempatan pada munculnya salah satu dinasti India paling kuat sepanjang sejarah. Para penerus Aleksander tidak terlalu memedulikan daerah ini dan cenderung mengabaikannya, sehingga Chandragupta Maurya (dalam sumber-sumber Eropa disebut Sandrokotto) berhasil mengambil kendali atas Punjabi dan menjadikannya sebagai basis kekuatannya. Dari sana dia mampu menaklukkan Kekaisaran Nanda di India utara.[227] Pada tahu 305 SM, Seleukos, salah satu penerus Aleksander, memimpin pasukan ke India untuk merebut wilayah itu. Pada akhirnya Seleukos malah melakukan pertukaran dengan Chandragupta. Seleukos menyerahkan wilayah tersebut dan Chandragupta memberinya 500 ekor gajah perang. Peristiwa ini pada gilirannya ikut memainkan peranan penting dalam Pertempuran Ipsus, yang juga berpengaruh banyak pada pembagian kekaisaran.[227]

Helenisasi

Helenisasi adalah istilah yang dikemukakan oleh sejarawan Jerman Johann Gustav Droysen. Istilah ini merujuk pada penyebaran bahasa, budaya, dan penduduk Yunani ke daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan oleh Aleksander.[226] Para sejarawan sepakat bahwa penyebaran ini memang terjadi, karena bukti-buktinya dapat dilihat di kota-kota besar Helenistik, contohnya Aleksandria (satu dari sekitar dua puluhan kota yang didirikan oleh Aleksander[228]), Antiokia[229] dan Seleukia (di selatan Baghdad modern).[230] Namun, mengenai seberapa luas dan seberapa dalam penyebaran ini, dan sampai sejauh mana proses itu merupakan kebijakan yang disengaja, masih banyak diperdebatkan. Aleksander sudah jelas melakukan langkah-langkah yang disengaja untuk memasukkan unsur-unsur Yunani ke dalam kebudayaan Iran dan dalam beberapa hal ia berusaha menggabungkan budaya Yunani dan Iran, yang berujung pada cita-citanya untuk menyatukan penduduk Asia dan Eropa. Akan tetapi, para penerusnya terang-terangan menolak kebijakan semacam itu setelah kematian Aleksander. Namun demikian, Helenisasi tetap saja terjadi di seluruh wilayah bekas kekuasaan Aleksander, dan terlebih lagi, diikuti oleh Orientalisasi, proses oleh negara-negara penerus Aleksander yang berbeda dan berlawanan dengan Helenisasi itu sendiri.[229][231]

 
Koin Aleksander dengan tulisan bahasa Aram.

Berdasarkan asal-usulnya, inti dari budaya Helenistik pada dasarnya adalah Athena.[229][232] Dialek Koine Athena telah diadopsi untuk keperluan resmi lama sebelum masa Filipus II, dan dengan demikian telah tersebar ke seluruh penjuru dunia Helenistik, serta menjadi lingua franca melalui penaklukan Aleksander. Lebih jauh lagi, Perencanaan kota, pendidikan, pemerintahan lokal, dan seni pada periode Helenistik semuanya didasarkan pada gagasan-gagasan Yunani Klasik, dan berevolusi menjadi bentuk yang baru dan berbeda, yang secara umum dikelompokkan sebagai Helenistik.[229] Aspek-aspek budaya Helenistik tetap ada dalam tradisi Kekaisaran Romawi Timur sampai pertengahan abad ke-15.[233][234]

 
Buddha, dalam gaya Buddha-Yunani, abad ke-1 - 2 M, Gandhara (Pakistan modern). Museum Nasional Tokyo.

Beberapa pengaruh yang tak biasa dari Helenisasi dapat dilihat dari India, di daerah tempat berdirinya Kerajaan Yunani-India, yang munculnya relatif terlambat.[235] Di sana, di tempat yang jauh dari Eropa, budaya Yunani tampak bercampur dengan budaya India, dan khususnya dengan agama Buddha. Penggambaran pertama Buddha yang realistis muncul pada masa ini. Buddha digambarkan berdasarkan patung-patung dewa Apollo dari Yunani.[235] Beberapa tradisi Buuddha kemungkinan telah terpengaruh oleh agama Yunani kuno, contohnya konsep Bodhisattva merupakan pengenangan terhadap pahlawan-pahlawan dewata Yunani,[236] dan beberapa praktik ritual Mahayana (membakar dupa, memberi bunga, dan menaruh makanan di altar) mirip dengan yang dilakukan oleh orang Yunani kuno. Buddhisme Zen mengambil beberapa gagasan dari orang-orang stoik Yunani, misalnya Zeno.[237] Seorang raja Yunani, Menander I, kemungkinan menjadi penganut Buddha, dan diabadikan dalam literatur Buddha sebaga 'Milinda'.[235]

Pengaruh pada Romawi

Aleksander dan semua yang telah dia lakukan dikagumi oleh banyak orang Romawi. Mereka mengasosiasikan diri mereka sendiri dengan prestasi-prestasi Aleksander. Polybius memulai Historíai-nya dengan mengenangkan rakyat Romawi akan tindakan-tindakan Aleksander. Sesudah itu para pemimpin Romawi melihat Aleksander sebagai teladan dan sumber inspirasi bagi mereka. Julius Caesar dilaporkan berurai air mata di Spanyol ketika melihat patung Aleksander, karena dia merasa bahwa pencapaiannya terlalu sedikit jika dibandingkan dengan Aleksander, yang berhasil menaklukkan Persia pada usia yang sama.[13] Pompeius yang Agung menjelajahi daerah-daerah taklukannya di timur dalam rangka mencari jubah Aleksander yang berumur 260 tahun. Pompeius lalu memakai jubah itu sebagai tanda keagungannya. Augustus pernah terlalu semangat menghormati Aleksander sampai-sampai dia mematahkan hidung pada mayat Aleksaner yang telah dimumikan. Augustus melakukannya ketika dia sedang menaruh karangan bunga di makam Aleksander di Aleksandria. Keluarga Macriani, keluarga Romawi yang salah satu anggotanya, yaitu Macrinus, pernah menjadi kaisar, sering menampilkan gambar Aleksander, baik dalam perhiasan, atau dalam sulaman pada pakaian yang mereka kenakan.[238]

Pada musim panas tahun 1995, sebuah patung Aleksander ditemukan dalam penggalian sebuah rumah Romawi di Aleksandria, yang penuh dengan dekorasi dan jalan marmer dan kemungkinan dibangun pada abad pertama M serta ditempati sampai abad ke-3.[239]

 
Raja Yunani-Baktria Demetrios (berkuasa c. 200–180 SM), mengenakan hiasan kepala berbentuk kepala gajah. Dia meneruskan pemerintahan Aleksander di timur dengan meninvasi India pada tahun 180 SM, dan mendirikan Kerajaan Yunani-India (180 SM–10 M).

Legenda

Ada banyak cerita legendaris mengenai kehidupan Aleksander Agung. Banyak dari cerita tersebut muncul pada masa hidupnya, kemungkinan dimunculkan oleh Aleksander sendiri. Sejarawan di istana Aleksander, Kallisthenes, menggambarkan bahwa air laut di Sisilia surut sebagai penghormatan pada Aleksander dengan tata cara proskynesis. Menulis tidak lama setelah kematian Aleksander, penulis lainnya, Onesikritos, bahkan sampai menulis bahwa Aleksander membuat janji untuk bertemu dengan Thalestris, ratu suku Amazon dalam mitologi. Ketika Onesikritos membacakan cerita itu pada atasannya, salah satu jenderal Aleksander dan kelak menjadi raja, Lysimakhos disebutkan menyindirnya dengan mengatakan, "Aku penasaran saat itu aku ada di mana."[240]

Dalam abad-abad pertama setelah kematian Aleksander, kemungkinan di Aleksandria, sejumlah cerita legenda dikumpulkan menjadi sebuah naskah yang dikenal sebagai Romansa Aleksander, yang di kemudian hari secara keliru disebutkan bahwa itu ditulis oleh sejarawan Kallisthenes dan dengan demikian dikenal juga sebagai Pseudo-Kallisthenes. Naskah tersebut mengalami banyak sekali penambahan dan revisi selama Zaman Kuno dan Abad Pertengahan.[241]

Ada juga naskah Iran atau Persia mengenai Aleksander Agung dalam "Syahnameh" atau "Epik Para Raja" oleh Ferdowsi. Naskah tersebut berjudul Eskandarnameh.[242] Di situ diceritakan bahwa Aleksander adalah putra Nahid (Lydia) dan dikirim kembali ke Filipus di Makedonia karena ibunya memiliki bau mulut. Lalu diceritakan bahwa nama Eskandar diberikan karena obat yang diberikan untuk ibunya. Para sejarawan Arab kemudian menyebut Aleksander dengan nama Al-Iskandar.

Dalam budaya kuno dan modern

 
Patung kepala Seleukos I Nikator, yang meneruskan penaklukan timur Aleksander.

Prestasi dan peninggalan Aleksander Agung telah dilestarikan dan digambarkan dalam banyak cara. Aleksander muncul dalam banyak karya budaya baik pada masa kuno maupun masa modern. Pada Abad Pertengahan, Aleksander dimasukkan sebagai anggota Sembilan Kesatria, yaitu sekelompok pahlawan yang dianggap memenuhi kualitas nilai-nilai kekesatriaan.

Di Punjabi, tanah terakhir yang ditaklukkan oleh Aleksander, banyak anak yang diberi nama "Sekunder" bahkan hingga saat ini. Ini disebabkan adanya rasa hormat dan kekaguman pada Aleksander, juga sebagai pengingat bahwa pasukan Punjabi kuno bisa membuat pasukan Aleksander kelelahan sampai akhirnya memberontak pada Aleksander.

Ada sebuah pepatah dalam bahasa Punjabi yaitu jit jit key jung, secunder jay haar, yang artinya adalah "Aleksander memenangkan begitu banyak pertempuran sampai-sampai dia kalah dalam perang". Pepatah ini merujuk pada orang yang sering menang namun tidak pernah memanfaatkan kemenangannya.

Historiografi

Naskah-naskah kuno yang ditulis oleh orang-orang yang mengenal langsung Aleksander atau yang mengumpulkan informasi dari orang-orang yang bertugas pada Aleksander banyak yang hilang kecuali sedikit inskripsi serta fragmen yang bertahan.[31] Orang-orang sezaman Aleksander yang menulis tentangnya di antaranya adalah sejarawan pribadinya Kallisthenes; jenderal Aleksander Ptolemaios dan Nearkhos; Aristobulos, seorang perwira muda yang ikut dalam kampaye militer Aleksander; dan Onesikritos, ketua juru mudi Aleksander. Karya-karya yang ditulis oleh mereka telah hilang, tetapi karya-karya yang didasarkan para karya-karya asli itu ada yang bertahan. Lima naskah utama yang masih ada antara lain naskah yang ditulis oleh Arrianos, Curtius, Plutarkhos, Diodoros, dan Yustinus.[243]

Aleksander Agung dan Dzul Qarnain

 
Dunia pada saat kematian Aleksander, menunjukkan kemaharajaannya dalam konteks geopolitik yang lebih besar

Lihat pula: Hikayat Iskandar Zulkarnain

Aleksander Agung adalah salah satu tokoh yang dianggap sebagai Dzul Qarnain yang dapat ditemukan pula pada kitab suci Al Qur'an, Surah Al Kahfi 83-101. Dikisahkan bahwa dialah yang mengurung bangsa Ya’juj dan Ma’juj (Gog dan Magog) - yang menurut hadist shahih, bangsa tersebut akan keluar di akhir zaman. Riwayat ini bermula dari saat ia akan menaklukkan suatu daerah, penduduk daerah tersebut tanpa disangka bersedia mengikutinya. Asalkan bangsa Yajuj dan Majuj dikurung. Maka Dzul Qarnain mengurung kedua bangsa tersebut. Maka para penduduk pun bersedia ditaklukkan dengan suka cita.

Anggapan tersebut datang dari kisah Romansa Aleksander yang sudah ada sebelum Islam. Beberapa allamah Muslim menolak anggapan Aleksander Agung adalah Dzul Qarnain, sebab Aleksander Agung bukanlah monoteis, sedangkan Dzul-Qarnain adalah penyembah Allah dan hanya seorang penguasa, yang hidup pada masa Nabi Ibrahim. Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-Fakihi dari ‘Ubaid bin ‘Umair, ‘Atha` dari Ibnu ‘Abbas, ‘Utsman bin Saj, Ibnu Hisyam dan Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari jalan Ali bin Ahmad. Kemudian Al-Fakhrurrazi dalam tafsirnya menyatakan bahwa Dzul Qarnain adalah seorang nabi, sedangkan Aleksander memiliki guru yang bernama Aristoteles dan memerintah negerinya atas perintah Aristoteles.[244]

Silsilah

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Nama Αλέξανδρος berasal dari kata kerja "ἀλέξω" (alexō), "menangkis, mencegah, membela"[1] dan kata benda "ἀνδρός" (andros), genitif dari "ἀνήρ" (anēr), "orang-orang"[2] sehingga bermakna "pelindung orang-orang."[3]
  2. ^ Orang pertama yang diketahui menyebut Aleksander "Yang Agung" adalah seorang penulis drama Romawi bernama Plautus (254–184 SM) dalam pementasan dramanya berjudul Mostellaria.[4]
  3. ^ Pada saat kematiannya, Aleksander telah menaklukkan seluruh Kekaisaran Persia, memasukkannya ke dalam wilayah kekuasaan Makedonia; menurut beberapa sejarawan modern, wilayah tersebut adalah sebagian besar dunia yang dikenal oleh orang Yunani kuno (Ekumene).[10][11] Perkiraan dunia yang dikenal oleh Aleksander dapat dilihat dalam peta Hekataios dari Miletos, lihat Peta dunia Hekataios.
  4. ^ Hannibal berpendapat bahwa Aleksander adalah jenderal terhebat;[12] Julius Caesar menangis di depan patung Aleksander, karena di usia yang sama pencapaian Caesar sangat kecil dibandingkan Aleksander;[13] Pompeius menganggap dirinya sebagai 'Aleksander yang Baru';[14] semasa muda, Napoleon Bonaparte juga membandingkan diri dengan Aleksander.[15]
  5. ^ "Pada awal abad ke-5 SM, keluarga kerajaan Makedonia, Temenidae, merupakan panitia Olimpiade. Keputusan mereka mutlak. Para rajanya menganggap diri mereka adalah keturunan Herakles, putra Zeus."[24]
  6. ^ "Para AIAKID adalah keturunan Aiakos, putra Zeus dan nimfa Aigina. Putra Aiakos adalah Peleus, ayah Akhilles. Yang termasuk Aiakid antara lain Pyrrhos dan Aleksander."[25]
  7. ^ Ada banyak kecurigaan bahwa Pausanias sebenarnya dibayar untuk membunuh Filipus. Yang dicurigai membayar Pausanias antara lain Aleksander, Olimpias, dan bahkan kasiar Darius III. Ketiga orang itu punya motif untuk membunuh Filipus.[67]

Referensi

  1. ^ ἀλέξω Diarsipkan 2019-09-03 di Wayback Machine., Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon, di Perseus Digital Library
  2. ^ ἀνήρ Diarsipkan 2017-05-12 di Wayback Machine., Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon, di Perseus Digital Library
  3. ^ "Alexander". Online Etymology Dictionary. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-09-20. Diakses tanggal 2009-12-11. 
  4. ^ Diana Spencer (2019-11-22). "Alexander the Great, reception of". Oxford Research Encyclopedia of Classics. Oxford Research Encyclopedias. doi:10.1093/acrefore/9780199381135.013.8048. ISBN 978-0-19-938113-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-10. Diakses tanggal 2021-11-09. Alexander enjoys the epithet the Great for the first time in Plautus's Roman comedy Mostellaria (775–777). 
  5. ^ Bloom, Jonathan M.; Blair, Sheila S. (2009) The Grove Encyclopedia of Islamic Art and Architecture: Mosul to Zirid, Volume 3. (Oxford University Press Incorporated, 2009), 385; "[Khojand, Tajikistan]; As the easternmost outpost of the empire of Alexander the Great, the city was renamed Alexandria Eschate ("furthest Alexandria") in 329 BCE."
    Golden, Peter B. Central Asia in World History (Oxford University Press, 2011), 25;"[...] his campaigns in Central Asia brought Khwarazm, Sogdia and Bactria under Graeco-Macedonian rule. As elsewhere, Alexander founded or renamed a number of cities, such as Alexandria Eschate ("Outernmost Alexandria", near modern Khojent in Tajikistan)."
  6. ^ Yenne 2010, hlm. 159.
  7. ^ "Alexander the Great's Achievements". Britannica. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-02. Diakses tanggal 2022-06-07.  "Alexander the Great was one of the greatest military strategists and leaders in world history."
  8. ^ Heckel & Tritle 2009, hlm. 99.
  9. ^ Burger, Michael (2008). The Shaping of Western Civilization: From Antiquity to the Enlightenment. University of Toronto Press. hlm. 76. ISBN 978-1-55111-432-3. 
  10. ^ Danforth, pp38, 49, 167
  11. ^ Stoneman, p2
  12. ^ Goldsworthy, hlm. 327–328.
  13. ^ a b Plutarch, Caesar, 11
  14. ^ Holland, hlm. 176–183.
  15. ^ Barnett, hlm. 45.
  16. ^ Yenne 2010, hlm. viii.
  17. ^ a b c Plutarch, Alexander, 3
  18. ^ Alekander dilahirkan pada tanggal 6 di bulan Hekatombaion "The birth of Alexander at Livius.org". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-10-05. Diakses tanggal 2011-04-20. 
  19. ^ a b c Plutarch, Alexander, 2
  20. ^ McCarty, hlm. 10.
  21. ^ a b Renault, hlm. 28.
  22. ^ Durant, Life of Greece, hlm. 538.
  23. ^ Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Sabine Muller, "Philip II", hlm. 171.
  24. ^ Hammond, N.G.L. A History of Greece to 323 BC. Cambridge University, 1986, hlm. 516.
  25. ^ Chamoux, François and Roussel, Michel. Hellenistic Civilization. Blackwell Publishing, 2003, hlm. 396, ISBN 0-631-22242-1.
  26. ^ Plutarch. "Life of Pyrrhus". Penelope.uchicago.edu. Diakses tanggal 14 November 2009. 
  27. ^ Appian, History of the Syrian Wars, §10 and §11 at Livius.org Diarsipkan 2015-12-27 di Wayback Machine.
  28. ^ Bose, hlm. 21.
  29. ^ Renault, hlm. 33–34.
  30. ^ a b Plutarch, Alexander, 5
  31. ^ a b Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Dawn L. Gilley and Ian Worthington, "Alexander the Great, Macedonia and Asia", hlm. 186.
  32. ^ a b Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Dawn L. Gilley and Ian Worthington, "Alexander the Great, Macedonia and Asia", hlm. 188.
  33. ^ Plutarch, Alexander, 6
  34. ^ Fox, The Search For Alexander, hlm. 64.
  35. ^ Renault, hlm. 39.
  36. ^ Durant, hlm. 538.
  37. ^ a b c Plutarch, Alexander, 7
  38. ^ Fox, The Search For Alexander, hlm. 65.
  39. ^ Renault, hlm. 44.
  40. ^ McCarty, hlm. 15.
  41. ^ Fox, The Search For Alexander, hlm. 65–66.
  42. ^ a b c Plutarch, Alexander, 8
  43. ^ Renault, hlm. 45–47.
  44. ^ McCarty, Alexander the Great, hlm. 16.
  45. ^ a b c Plutarch, Alexander, 9
  46. ^ Fox, The Search For Alexander, hlm. 68.
  47. ^ Renault, hlm. 47.
  48. ^ Bose, hlm. 43.
  49. ^ Renault, hlm. 47–49.
  50. ^ Renault, hlm. 50–51.
  51. ^ Bose, hlm. 44–45
  52. ^ McCarty, hlm. 23
  53. ^ Renault, hlm. 51.
  54. ^ Bose, hlm. 47.
  55. ^ McCarty, hlm. 24.
  56. ^ Diodorus Siculus, Library XVI, 86
  57. ^ "History of Ancient Sparta". Sikyon.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2001-03-05. Diakses tanggal 14 November 2009. 
  58. ^ Renault, hlm. 54.
  59. ^ McCarty, hlm. 26.
  60. ^ a b Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Sabine Muller, "Philip II", hlm. 179.
  61. ^ a b McCarty, hlm. 27.
  62. ^ a b c d e f Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Sabine Muller, "Philip II", hlm. 180.
  63. ^ Bose, hlm. 75.
  64. ^ Renault, hlm. 56
  65. ^ Renault, hlm. 59.
  66. ^ Fox, The Search For Alexander, hlm. 71.
  67. ^ Fox, The Search For Alexander, hlm. 72–73.
  68. ^ a b McCarty, hlm. 30–31.
  69. ^ Renault, hlm. 61–62.
  70. ^ Fox, The Search For Alexander, hlm. 72.
  71. ^ a b Roisman & Worthington 2010, Baba 9: Dawn L. Gilley and Ian Worthington, "Alexander the Great, Macedonia and Asia", hlm. 190.
  72. ^ Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 5–6
  73. ^ a b c d e Plutarch, Alexander, 77
  74. ^ Renault, hlm. 70–71.
  75. ^ Fox, hlm. 72.
  76. ^ McCarty, hlm. 31.
  77. ^ a b Renault, hlm. 72.
  78. ^ Fox, The Search For Alexander, hlm. 104.
  79. ^ Bose, hlm. 95.
  80. ^ Stoneman, page 21
  81. ^ Bose, hlm. 96.
  82. ^ Arrian, Anabasis Alexandri I, 1 Diarsipkan 2014-07-01 di Wayback Machine.
  83. ^ Arrian, Anabasis Alexandri I, 2
  84. ^ Arrian, Anabasis Alexandri I, 3–4
  85. ^ Renault, hlm. 73–74.
  86. ^ Arrian, Anabasis Alexandri I, 5–6
  87. ^ Renault, hlm. 77.
  88. ^ a b c d e Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Dawn L. Gilley and Ian Worthington, "Alexander the Great, Macedonia and Asia", hlm. 192.
  89. ^ a b c d e f g h i j Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Dawn L. Gilley and Ian Worthington, "Alexander the Great, Macedonia and Asia", hlm. 199.
  90. ^ Arrian, Anabasis Alexandri I, 11
  91. ^ Arrian, Anabasis Alexandri I, 13–19
  92. ^ Arrian, Anabasis Alexandri I, 20–23
  93. ^ Arrian, Anabasis Alexandri I, 23
  94. ^ Arrian, Anabasis Alexandri I, 27–28
  95. ^ Arrian, Anabasis Alexandri II, 3
  96. ^ Greene, hlm. 351
  97. ^ Arrian, Anabasis Alexandri II, 6–10
  98. ^ Arrian, Anabasis Alexandri II, 11–12
  99. ^ Arrian, Anabasis Alexandri I, 3–4 II, 14
  100. ^ Arrian Anabasis Alexandri II, 23 Diarsipkan 2014-07-01 di Wayback Machine.
  101. ^ Arrian, Anabasis Alexandri II, 16–24
  102. ^ Gunther, hlm. 84.
  103. ^ Sabin et al., hlm. 396.
  104. ^ Arrian, Anabasis Alexandri II, 26
  105. ^ Arrian, Anabasis Alexandri II, 26–27
  106. ^ Josephus, Jewish Antiquities, XI, 337 [viii, 5]
  107. ^ Insight on the Scriptures, Volume 1, 1988, Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania International Bible Students Association, pg. 70
  108. ^ Ring et al. hlm. 49, 320.
  109. ^ Grimal, hlm. 382.
  110. ^ a b c Plutarch, Alexander, 27
  111. ^ "Coin: from the Persian Wars to Alexander the Great, 490–336 bc". Encyclopedia Britannica. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-23. Diakses tanggal 2009-11-16. 
  112. ^ Arrian, Anabasis Alexandri III, 1
  113. ^ Arrian, Anabasis Alexandri III 7–15
  114. ^ a b Arrian, Anabasis Alexandri III, 16 Diarsipkan 2019-05-21 di Wayback Machine.
  115. ^ Arrian, Anabasis Alexandri III, 18
  116. ^ Laura Foreman (2004). Alexander the conqueror: the epic story of the warrior king, Volume 2003. Da Capo Press. hlm. 152. [pranala nonaktif permanen]
  117. ^ Morkot 1996, hlm. 121
  118. ^ Hammond, N. G. L. (1983). Sources for Alexander the Great. Cambridge University Press. hlm. 72–73. ISBN 9780521714716. 
  119. ^ John Maxwell O'Brien (1994). Alexander the Great: the invisible enemy : a biography. Psychology Press. hlm. 104. 
  120. ^ Arrian, Anabasis Alexandri III, 19–20
  121. ^ Arrian, Anabasis Alexandri III, 21
  122. ^ Arrian, Anabasis Alexandri III, 21, 25
  123. ^ Arrian, Anabasis Alexandri III, 22
  124. ^ Gergel, hlm. 81.
  125. ^ "The end of Persia". www.livius.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-16. Diakses tanggal 2009-11-16. 
  126. ^ Arrian, Anabasis Alexandri III, 23–25, 27–30; IV, 1–7
  127. ^ Arrian, Anabasis Alexandri III, 30
  128. ^ Arrian, Anabasis Alexandri IV, 5–6, 16–17
  129. ^ a b Arrian, Anabasis Alexandri VII, 11 Diarsipkan 2016-03-18 di Wayback Machine.
  130. ^ a b c d Plutarch, Alexander, 45
  131. ^ Morkot 1996, hlm. 111.
  132. ^ Gergel, hlm. 99.
  133. ^ Waldemar Heckel, Lawrence A. Tritle, ed. (2009). Alexander the Great: A New History. Wiley-Blackwell. hlm. 47–48. ISBN 9781405130820. 
  134. ^ Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Dawn L. Gilley and Ian Worthington, "Alexander the Great, Macedonia and Asia", hlm. 201.
  135. ^ Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Dawn L. Gilley and Ian Worthington, "Alexander the Great, Macedonia and Asia", hlm. 202.
  136. ^ Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Dawn L. Gilley and Ian Worthington, "Alexander the Great, Macedonia and Asia", hlm. 203.
  137. ^ Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Dawn L. Gilley and Ian Worthington, "Alexander the Great, Macedonia and Asia", hlm. 205.
  138. ^ Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Edward Anson, "Why study ancient Macedonia", hlm. 186.
  139. ^ a b c Tripathi (1999). History of Ancient India. Motilal Banarsidass Publ. hlm. 118–121. ISBN 9788120800182. 
  140. ^ Narain, hlm. 155–165
  141. ^ Curtius dalam McCrindle, hlm 192
  142. ^ J. W. McCrindle; History of Punjab, Vol I, 1997, hlm.229, Punajbi University, Patiala, (Editors): Fauja Singh, L. M. Joshi; Kambojas Through the Ages, 2005, hlm 134, Kirpal Singh.
  143. ^ Tripathi (1999). History of Ancient India. Motilal Banarsidass Publ. hlm. 124–125. ISBN 9788120800182. 
  144. ^ Tripathi (1999). History of Ancient India. Motilal Banarsidass Publ. hlm. 126–127. ISBN 9788120800182. 
  145. ^ Gergel, hlm. 120.
  146. ^ The encyclopædia britannica: a dictionary of arts, sciences, literature and general information, Volume 14 hlm. 398. Books.google.ca. Diakses tanggal 2011-01-29. 
  147. ^ Alexander the Great: a reader Author Ian Worthington Editor Ian Worthington Edition illustrated, reprint Publisher Routledge, 2003ISBN 0-415-29186-0, ISBN 978-0-415-29186-6 Length 332 halaman, hlm. 175
  148. ^ a b Plutarch, Alexander, 62
  149. ^ Tripathi (1999). History of Ancient India. Motilal Banarsidass Publ. hlm. 129–130. ISBN 9788120800182. 
  150. ^ Tripathi (1999). History of Ancient India. Motilal Banarsidass Publ. hlm. 137–138. ISBN 9788120800182. 
  151. ^ Tripathi (1999). History of Ancient India. Motilal Banarsidass Publ. hlm. 141. ISBN 9788120800182. 
  152. ^ Morkot 1996, hlm. 9
  153. ^ Arrian, Anabasis Alexandri VI, 27 Diarsipkan 2019-05-21 di Wayback Machine.
  154. ^ a b Arrian, Anabasis Alexandri VII, 4 Diarsipkan 2016-03-18 di Wayback Machine.
  155. ^ Worthington, Alexander the Great, hlm. 307–308
  156. ^ a b Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Dawn L. Gilley and Ian Worthington, "Alexander the Great, Macedonia and Asia", hlm. 194.
  157. ^ Arrian, Anabasis Alexandri VI, 29 Diarsipkan 2019-05-21 di Wayback Machine.
  158. ^ a b c d Arrian, Anabasis Alexandri VII, 14 Diarsipkan 2016-03-18 di Wayback Machine.
  159. ^ Grant Berkley (2006). Moses in the Hieroglyphs. Trafford Publishing. hlm. 101. ISBN 1412056004. Diakses tanggal 2011-01-13. 
  160. ^ Arrian, Anabasis Alexandri VII, 19 Diarsipkan 2019-05-21 di Wayback Machine.
  161. ^ Depuydt L. "The Time of Death of Alexander the Great: 11 June 323 BC, ca. 4:00–5:00 PM". Die Welt des Orients. 28: 117–135. 
  162. ^ a b c d Plutarch, Alexander, 75
  163. ^ a b Plutarch, Alexander, 76
  164. ^ Arrian, Anabasis Alexandri VII, 26
  165. ^ a b c d Diodorus Siculus Library XVII, 117
  166. ^ Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 1–2.
  167. ^ a b c Arrian, Anabasis Alexandri VII, 27 Diarsipkan 2019-05-21 di Wayback Machine.
  168. ^ a b c d e Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 23–24.
  169. ^ a b Diodorus Siculus Library XVII, 118
  170. ^ Fox, Alexander the Great, hlm.
  171. ^ "Alexander the Great poisoned by the River Styx.html". August 4, 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-06. Diakses tanggal August 4, 2010. 
  172. ^ a b c Oldach DW, Richard RE, Borza EN, Benitez RM (1998). "A mysterious death". N. Engl. J. Med. 338 (24): 1764–1769. doi:10.1056/NEJM199806113382411. PMID 9625631. 
  173. ^ a b Ashrafian, H (2004). "The death of Alexander the Great—a spinal twist of fate". J Hist Neurosci. 13 (2): 138–142. doi:10.1080/0964704049052157. PMID 15370319. 
  174. ^ "Alexander the Great and West Nile Virus Encephalitis". Centers for Disease Control and Prevention. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-12. Diakses tanggal 20 May 2008. 
  175. ^ Sbarounis CN (2007). "Did Alexander the Great die of acute pancreatitis?". J Clin Gastroenterol. 24 (4): 294–296. doi:10.1097/00004836-199706000-00031. PMID 9252868. 
  176. ^ Cawthorne (2004), s. 138
  177. ^ "Forensic Psychiatry & Medicine – Dead Men Talking". Forensic-psych.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-29. Diakses tanggal 18 July 2009. 
  178. ^ a b "HEC". Greece.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-05-31. Diakses tanggal 18 July 2009. 
  179. ^ a b Aelian, Varia Historia XII, 64 Diarsipkan 2023-02-21 di Wayback Machine.
  180. ^ Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 32.
  181. ^ a b "HEC". Greece.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-08-27. Diakses tanggal 18 July 2009. 
  182. ^ Studniczka hlm. 226ff.
  183. ^ Beazley and Ashmole, hlm. 59, fig. 134.
  184. ^ Bieber M (1965). "The Portraits of Alexander". Greece & Rome, Second Series. 12.2: 183–188. 
  185. ^ a b Diodorus Siculus, Library XVIII, 4
  186. ^ Paul McKechnie (1989). Outsiders in the Greek cities in the fourth century B.C. Taylor & Francis. hlm. 54. ISBN 0415003407. Diakses tanggal 2010-12-28. 
  187. ^ a b c d e Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 24–26.
  188. ^ Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 20.
  189. ^ Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 26–29.
  190. ^ Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 29–45.
  191. ^ a b c d Roisman & Worthington 2010, Chapter 9: Dawn L. Gilley and Ian Worthington, "Alexander the Great, Macedonia and Asia", hlm. 193.
  192. ^ a b c d Morkot 1996, hlm. 110.
  193. ^ Morkot 1996, hlm. 112.
  194. ^ a b c Morkot 1996, hlm. 122.
  195. ^ "Alexander the Great". www.e-classics.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-09-20. Diakses tanggal 2011-04-30. 
  196. ^ "ALEXANDER THE GREAT, Project by JJP". www.1stmuse.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-04-27. Diakses tanggal 2011-04-30. 
  197. ^ "Contrapposto | art". Encyclopedia Britannica. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-12. Diakses tanggal 2020-04-24. 
  198. ^ "Contrapposto and the S curve". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-21. Diakses tanggal 2011-04-30. 
  199. ^ a b "Contrapposto - Art Dictionary by Arcy Art Original Oil Paintings". www.arcyart.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-27. Diakses tanggal 2020-04-24. 
  200. ^ "What is "Contrapposto" in Art? Here's an Explanation of Classical Contrapposto". EmptyEasel.com. 18 Des 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-01. Diakses tanggal 2020-04-24. 
  201. ^ a b c d e f g h i j Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 15–16.
  202. ^ "The death of Alexander". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-05-14. Diakses tanggal 2011-04-30. 
  203. ^ "The Greek Example". employees.oneonta.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-04. Diakses tanggal 2011-04-30. 
  204. ^ "Lysippus: Apoxyomenos". penelope.uchicago.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-21. Diakses tanggal 2011-04-30. 
  205. ^ "Lysippos". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-05-14. Diakses tanggal 2011-04-30. 
  206. ^ Boswroth hlm.19-20
  207. ^ a b Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 4.
  208. ^ a b c d e f Plutarch, Alexander, 4
  209. ^ a b c Arrian, Anabasis Alexandri VII, 29 Diarsipkan 2019-05-21 di Wayback Machine.
  210. ^ a b Arrian, Anabasis Alexandri VII, 28
  211. ^ Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 20–21
  212. ^ Diodorus Siculus Library XVII, 114
  213. ^ Plutarch, Alexander, 72
  214. ^ Plutarch, Alexander, 47
  215. ^ Plutarch, Dalam Keberuntungan dan Kebaikan Aleksander, Or2.6
  216. ^ "Alexander IV". livius.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-24. Diakses tanggal 13 December 2009. 
  217. ^ Renault, hlm. 100.
  218. ^ Ogden, hlm. 204.
  219. ^ Aelian, Varia Historia XII, 7 Diarsipkan 2023-02-21 di Wayback Machine.
  220. ^ Sacks et al, hlm. 16.
  221. ^ Worthington, hlm. 159.
  222. ^ Ogden, Alexander the Great – A new history hlm. 208. "three attested pregnancies in eight years produces an attested impregnation rate of one every 2.7 years, which is actually superior to that of his father's.
  223. ^ Diodorus Siculus, Library XVII, 77
  224. ^ Plutarch, Dalam Keberuntungan dan Kebaikan Aleksander I, 11
  225. ^ "Source". Henry-davis.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-29. Diakses tanggal 22 March 2009. 
  226. ^ a b Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. xii–xix.
  227. ^ a b Keay, hlm. 82–85.
  228. ^ "Alexander the Great: his towns". livius.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-03. Diakses tanggal 13-12-2009. 
  229. ^ a b c d Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 56–59.
  230. ^ "Seleucia on the Tigris, Iraq Diarsipkan 2012-05-27 di Archive.is", University of Michigan.
  231. ^ Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. 21.
  232. ^ Murphy, hlm. 17.
  233. ^ Gabriel, Richard A. (2002). "The army of Byzantium". The Great Armies of Antiquity. Greenwood Publishing Group. hlm. 277. ISBN 0275978095. 
  234. ^ Baynes, Norman G. (2007). "Byzantine art". Byzantium: An Introduction to East Roman Civilization. Baynes Press. hlm. 170. ISBN 978-1406756593. 
  235. ^ a b c Keay, hlm. 101–109.
  236. ^ Luniya, hlm. 312.
  237. ^ Pratt, hlm. 237.
  238. ^ Holt, hlm. 3.
  239. ^ "Salima Ikram. Nile Currents". Egyptology.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-02-09. Diakses tanggal 22 March 2009. 
  240. ^ Plutarch, Alexander, 46
  241. ^ Stoneman, Richard (2008). Alexander the Great: A Life in Legend. Yale University Press. ISBN 978-0-300-11203-0. 
  242. ^ Eskandarnameh. Books.google.co.uk. Diakses tanggal 2011-01-29. 
  243. ^ Green, Alexander the Great and the Hellenistic Age, hlm. xxii–xxviii.
  244. ^ Fath al-Bari, 6/428-430, cet. Darul Hadits.

Sumber

Sumber Primer

Sumber Sekunder

Pranala luar

Aleksander Agung
Dinasti Argead
Lahir: 356 SM Meninggal: 323 SM
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Filipus II
Raja Makedonia
336–323 SM
Diteruskan oleh:
Filipus III & Aleksander IV
Didahului oleh:
Darius III
Raja Diraja Iran
330–323 SM
juga diklaim oleh Artahsasta V (330–329 SM)
Firaun Mesir
332–323 SM
Ciptaan baru Penguasa Asia
331–323 SM