Al Washliyah

organisasi keagamaan di Indonesia
(Dialihkan dari Al-Jam'iyatul Washliyah)

Al Jam'iyatul Washliyah (Arab: الجمعية الوصلية) adalah organisasi massa Islam dari Sumatera Utara. Organisasi ini memiliki cabang tersebar di Indonesia Dan Cabang Luar Negeri nya seperti : Mesir, Malaysia, Yaman, Britania Raya Dan Thailand.

Al Washliyah
Al Jam'iyatul Washliyah
Logo Al Washliyah
Tanggal pendirian30 November 1930
Didirikan diMedan
TipeOrganisasi massa Islam
TujuanPendidikan, dakwah, dan sosial
Kantor pusatJl. Ahmad Yani no. 41 Rawasari Selatan, Jakarta Pusat
Ketua Umum
Masyhuril Khamis
Situs webSitus web resmi

Sejarah sunting

Masa awal sunting

Pada awal kurun ke-20, perselisihan antara Kaum Tua dengan Kaum Muda di Minangkabau merambat ke Sumatra Timur. Beberapa tokoh Kaum Muda seperti Syekh Mahmud al-Khayyat, Syekh Abdul Hamid Mahmud Asahan, Syekh Hasyim Muda, dan Tengku Fakhruddin getol menyiarkan pandangan mereka yang berisi kritik terhadap praktik keagamaan Kaum Tua.[1] Serangan tersebut ditangkis oleh para ulama Kaum Tua dengan Syekh Hasan Maksum, mufti Kesultanan Deli, sebagai figur utama Kaum Tua.[2]

Perseteruan antara dua kubu tersebut menjadi bahan pembicaraan di Debating Club Maktab al-Islamiyah Tapanuli (MIT), Medan sejak 1928. MIT didirikan pada Mei 1918 oleh para ulama Kaum Tua dari Mandailing, Tapanuli.[3] Pada 30 November 1930, para pelajar dan guru agama MIT mendirikan Al Jam'iyatul Washliyah. Beberapa tokoh yang terlibat dalam pendirian Al Washliyah antara lain H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis, H. Abdurrahman Syihab, H. Ismail Banda, H. Yusuf Ahmad Lubis, H. Adnan Nur Lubis, H. Syamsuddin, H. Sulaiman, dan lain-lain. Ketua pertama Al Washliyah dijabat oleh H. Ismail Banda.[4]

 
Gedung Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) Medan di belakang Masjid Lama Gang Bengkok, kini menjadi Museum Al Washliyah.

Al Washliyah mendapat dukungan dari beberapa ulama Kaum Tua Sumatra Timur seperti Syekh Muhammad Yunus, Syekh Ja'far Hasan, Syekh Ilyas Kadi, dan Syekh Hasan Maksum yang juga membina lembaga Kaum Tua dari para pelajar Melayu, Al Ittihadiyah.[2][5] Dukungan dari alim ulama yang sebagian besar memiliki hubungan dengan kesultanan-kesultanan di Sumatra Timur memberikan akses kepada Al Washliyah dalam menyebarkan pengaruh dengan mendirikan madrasah-madarasah Al Washliyah, menjadi penyelenggara hari-hari besar Islam di lingkungan kesultanan, dan lain-lain. Al Washliyah mengadakan pawai Maulid Nabi secara besar-besaran di Medan pada 1934 dan 1935 dengan mengundang murid-murid dan para pengurus Al Washliyah se-Sumatra Timur.[4]

Pada 1933, Al Washliyah mengirimkan misi dakwah ke Porsea, Tapanuli yang terdiri dari H. Abdul Kadir, H. Yusuf Ahmad Lubis, H. Haslim, dan H. Abdurrahman Syihab. Misi dakwah tersebut berhasil mengislamkan banyak penduduk Porsea sehingga pada tahun berikutnya, Al Washliyah mengirim banyak guru ke Tanah Batak. Keberhasilan Al Washliyah dalam penyebaran Islam di Porsea mendapat banyak pujian dari berbagai kelompok Islam, termasuk di antaranya ialah Kaum Muda dari Muhammadiyah Sumatra Timur yang pada masa itu sering berseteru dengan Al Washliyah yang tradisionalis.[4]

Pergantian kepengurusan pada awal pembentukan Al Washliyah cenderung singkat, yakni sekitar 6-12 bulan. Setelah bertambahnya cabang Al Washliyah di luar Deli, tokoh-tokoh Al Washliyah di Medan mengadakan muktamar pembentukan pengurus besar pada 29 Juli 1934. Musyawarah tersebut menghasilkan H. Abdurrahman Syihab dan H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis sebagai Ketua I dan Ketua II Pengurus Besar Al Washliyah.[6]

Keterlibatan dalam politik sunting

Al Washliyah bergabung ke Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada 5 Agustus 1941. Sebagian besar tokoh Al Washliyah ditunjuk menjadi pemegang tugas zending Islam oleh MIAI setelah para petinggi MIAI mendengar kesuksesan Al Washliyah dalam berdakwah di daerah non-Muslim seperti Porsea. Ketika MIAI dibubarkan oleh Jepang dan digantikan dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 14 Oktober 1943, Al Washliyah turut bergabung ke organisasi baru tersebut.[4][7]

Masyumi sejak dari pembentukannya merupakan kendaraan politik Al Washliyah selama Orde Lama. Saat Nahdlatul Ulama memtuskan untuk menjadi partai politik terpisah dari Masyumi pada 1952, Al Washliyah bersama dengan Al Ittihadiyah dan Persatuan Ummat Islam menjadi kelompok tradisionalis yang masih bertahan di Masyumi, disusul kemudian dengan masuknya Mathla'ul Anwar dan Nahdlatul Wathan ke Masyumi setelah memisahkan diri dari NU. Pada Pemilu 1955, para politisi Al Washliyah terpilih sebagai anggota DPR dan Konstituante mewakili Masyumi.[8]

Setelah Masyumi dibubarkan pada 1960, Al Washliyah mengalihkan pilihan politiknya kepada Parmusi. Parmusi bergabung ke PPP pada masa Orde Baru.[7]

Lihat pula sunting

Rujukan sunting

  1. ^ "Ulama Kaum Muda di Sumatera Utara dan Sifat 20; Sumbangan Tengku Fachruddin Serdang (1885-1937 M)". Tarbiyahislamiyah. 8 Agustus 2020. Diakses tanggal 3 November 2021. 
  2. ^ a b Ja'far (2015). "Tarekat dan Gerakan Sosial Keagamaan Shaykh Hasan Maksum". Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam. 5 (2): 269–294. 
  3. ^ Ya'qub, Abubakar (2020). Sejarah Maktab al-Islamiyah Tapanuli. Medan: Perdana Publishing. 
  4. ^ a b c d Hasanuddin, Chalidjah (1988). Al-Jam'iyatul Washliyah 1930-1942: Api dalam Sekam di Sumatera Timur. Bandung: Penerbit Pustaka. 
  5. ^ "Syekh Muhammad Yunus: Syekhul Ulama Al-Jam'iyatul Washliyah Medan". Tarbiyahislamiyah. 10 Juli 2020. Diakses tanggal 3 November 2021. 
  6. ^ Sulaiman, Nukman (1956). Peringatan Al Djamijatul Washlijah ¼ Abad. Medan: PB Al Djamijatul Washlijah. 
  7. ^ a b "Kemana Al Washliyah Mau Kita Bawa? Bag. III". Kabar Washliyah. 13 November 2019. Diakses tanggal 7 November 2021. 
  8. ^ Batubara, Ismed (2015). Dinamika Pergerakan Al Washliyah Dari Zaman Ke Zaman. Medan: Perdana Publishing.