Aimaro hena taje

(Dialihkan dari Aimaro Hena Taje)

Aimaro Hena Taje yaitu tarian tradisional penyambutan yang hidup dan berkembang dalam budaya orang Port Numbay, khususnya orang Kayu Batu.[1] AImaro Hena Taje muncul dari bentuk rasa hormat mereka kepada para tamu, sehingga setiap tamu yang datang disambutnya dalam bentuk tarian, dan dilakukannya sejak zaman nenek moyang, yang kemudian diwariskan secara turun temurun.[1] Tarian Aimaro Hena Taje biasanya diiringi lagu yang sangat keras (ruha meka) dan sangat banyak membutuhkan tenaga serta teknik pernapasan yang baik, sebab ada beberapa bagian nada yang yang harus ditahan dalam waktu yang cukup lama dan tidak semua orang mampu melakukannya.[1] Aimaro Hena Taje ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional Tahun 2018, berbarengan dengan 225 karya budaya seluruh Indonesia dan 7 budaya lainnya di provinsi Papua.[2] Kini, tari AImaro Hena Taje mulai mengalami mati suri, bahkan sudah hampir punah.[1] Hal tersebut terjadi setelah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk bernyanyi lagu penyambutannya telah meninggal serta untuk mencari pengganti yang memiliki kemampuan yang sama sangatlah sulit.[1] Kalaupun ada, penguasaannya terhdap lagu tersebut akan sangat sedikit.[1] Lagu yang dinyanyikan dalam AImaro Hena Taje berjumlah sepuluh lagu.[1] Keindahan tariannya terdapt pada penari wanitanya yang menari secara berdua-duaan, hal tersebut sesuai dengan arti dari Aimaro Hena Taje sendiri, yaitu satu hati satu tujuan.[1] Sedangkan kekuatan dari tarian ini, digambarkan pada penari laki-lakinya. Jadi, dalam Aimaro Hena Taje sebagai tarian penyambutan merupakan tarian kebersamaan yang penuh dengan perasaan suka cita, dan gembira serta menggambarkan suasana kebersamaan serta kegotongroyongan suku bangsa Kayu Batu dalam menjalani kehidupannya.[1]

Busana dan Aksesoris Tarian sunting

Pada zaman dulu, busana dan aksesoris yang digunakan dalam tarian bentuk dan modelnya ada yang sama ada yang beda dibandingkan dengan busana atau kostum serta aksesoris tarian yang digunakan pada zaman sekarang, dan tentunya beda bahan baku yang digunakannya.[1] Dalam tarian tradiosional, tarian kreasi dan tarian modern busana dan aksesoris merupakan salah satu unsur penting, sebab mempunyai fungsi sebagai alat untuk mempertegas tarian dan identitas pemiliknya.[1] Selain itu kelengkapan pada tarian juga baik busana ataupun properti mempunyai fungsi dan jenis dari tarian tersebut.[1] Antara busana dan aksesoris antara laki-laki dan perempuan memiliki fungsi yang berbeda.[1] Busana dan aksesoris pada penari wanita biasanya memiliki fungsi untuk memperindah dan menunjukkan sisi feminim dari wanita tersebut, sedangkan pada pria berfungsi sebagai menunjukkan sisi kegagahan, ketegasan, dan kewibawaan seorang penari pria.[1] Penggunaan aksesoris, busana dan alat musilkpun berlaku pula pada tarian tradisional Aimaro Hena Taje pada suku bangsa Port Numbay, di tanah Papua tersebut. Adapun beberapa alat musik pengiringnya di antaranya:

  1. Emburk, yaitu alat musik alat musik tiup yang terbuat dari kulit bia besar yang pada sampingnya dibuat lubang sebagi tempat untuk meniup.[1] Emburk secara umum dikenal dengan sebutan triton.[1]
  2. Nintiji adalah tifa tradisional, tifa yang digunakan dalam tarian penyambutan adalah tifa berukuran kecil, dan agak sedang, sehingga gampang dipegang pada saat menari.[1] Pada badan nintiji biasanya dibuat motif seperti ubur-ubur dan lain-lain.[1] Tifa ukuran kecil digunakan oleh penari pria, dan tifa agak sedang digunakan oleh pemimpin tarian dan pendamping penari, yang berada pada sayap kiri dan kanan dari penari.[1]

Dalam tarian penyambutan sukubangsa Kayu Batu terdapat motif-motif yang dipakai pada perhiasan atau asesoris tarian, tifa, dan badan seperti muka, punggung dan kaki dari para penari.[1] Motif-motif yang digunakan dalam tarian adalah motif-motif umum yang terdapat dalam budaya suku bangsa Kayu Batu seperti; imafangge yaitu motif khusus ondoafi, caisfalle atau cicak, dan ficay atau ubur-ubur, milik klen Makanuay, motif broncena yaitu ular hitam putih yang hidup dilaut, dan motif saumakau, yaitu motif sau yaitu ikan moncong panjang, dan makau yaitu ikan terbang, dan beberapa motif tumbuhan seperti sayur paku, dan motif-motif lainnya. Sedangkan motif-motif khusus marga-marga yang ada dalam suku bangsa Kayu Batu, tidak digunakan, sebab dikhawatirkan pada saat menari, ada penonton yang menanyakan nenekmu siapa, apabila penari tersebut tidak bisa menjawab maka motif yang digunakan bisa diambil oleh penarinya tersebut.[1] Hal ini karena suku bangsa Kayu Batu memiliki hubungan dengan orang-orang suku bangsa; Tobati, Kayu Pulau, Skow, dan Nafri, Pada setiap tarian baik tarian tradisional maupun tarian modern, terdapat formasi.[1] Formasi dalam tarian tradisional dibuat berdasarkan kehidupan sehari-hari dari masyarakat pemilik tarian tersebut, oleh sebab itu dalam formasi terdapat makna.[1]

Gerakan dan Makna Tarian sunting

Gerakan merupakan variasi yang terdapat dalam tarian, dalam tarian penyambutan terdapat beberapa gerakan has yang di antaranya:

1. Gerakan Kaki Melangkah

Yaitu gerakan dasar yang aktivitasnya sama dengan gerakan melangkah yang sering dilakukan sehari-hari, bedanya pada gerakan ini agak menukik seperti halnya gerakan kuda-kuda pada karate.[3] Gerakan ini merupakan salah satu gerakan utama yang dilakukan dari awal sampai akhir tarian.[3] Adapun makna yang terkandung dalam tarian penyambutan tersebut adalah nilai-nilai serta pikiran positif, yang salah satunya dapat diamati pada gerakan kaki yang diawali dengan kaki kanan. Hal tersebut menggambarkan hal positif, yaitu bahwa orang Kayu Batu yakin apa yang dilakukan akan memberikan manfaat yang baik untuk orang lain dan mereka pun harus tetap berusaha meskipun mendapatkan halangan.[3]

2. Gerakan Badan

Yaitu gerakan membungkuk dan tegak pada bagian badan, gerakan badan membungkuk biasanya dilakukan pada awal tarian penyambutan, dan bagian gerakan tegak dilakukan pada formasi selanjutnya.[3] Adapun maknanya di antaranya, gerakan membungkuk mempunyai makna bahwa membungkuk merupakan sikap sopan dan santun serta menggambarkan bahwa di dalam kehidupan sosial dan budaya suku Kayu Batu yang di dalamnya terdapat aturan dan tatakrama yang senantiasa mengatur mereka bagaimana cara bergaul dan berkomunikasi.[3]

3. Gerakan Kepala

Yaitu gerakan kepala ke kiri dan ke kanan, dan pada gerakan kepala juga merupakan gerakan utama sama seperti gerakan kaki melangkah dan juga gerakan tangan yang akan dilakukan dari awal hingga akhir tarian.[3] Gerakan tersebut terinspirasi dari cara burung camar saat memangsa ikan dari langit, maknanya adalah dalam kehidupan, manusia harus senantiasa mawas diri dan mengoreksi diri serta melihat situasi sesama kita di mana kita diharuskan untuk saling membantu.[3]

4. Gerakan tangan

Yaitu gerakan tangan yang diayunkan atau memukul tifa, yang merupakan gerakan utama pada tarian.[3] Makna dari gerakan tangan adalah dalam kehidupan kita harus saling bergotong-royong dan tolong-menolong.[3]

Referensi sunting