Abdullah bin Jud’an
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. (Juli 2025) |
Abdullah bin Jud’an bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin Murrah adalah seorang tokoh terkemuka dan pemimpin dari Bani Taym. Ia merupakan sepupu dari ayah sahabat Nabi, Abu Bakar Ash-Shiddiq.[1]
Pada masa jahiliah, Abdullah bin Jud’an dikenal sebagai sosok yang sangat dermawan. Namun, kehidupannya tidak selalu demikian. Ia pernah menjalani masa-masa sulit sebagai seseorang yang hidup dalam kemiskinan dan keterjerumusan dalam berbagai tindak kriminal. Kondisi tersebut membuatnya dijauhi oleh keluarga, kerabat, dan kaumnya sendiri. Ia ditolak dan diabaikan oleh lingkungannya.[1]
Masuk Gua
suntingSuatu hari, dalam keadaan bingung dan putus asa, ia berjalan menyusuri pelosok Makkah. Di tengah kegelisahannya, ia melihat sebuah celah pada tebing gunung dan menduga bahwa tempat tersebut menyimpan bahaya. Ia pun mendekatinya dengan harapan menemukan akhir dari penderitaannya.[2]
Saat mendekati mulut gua, ia melihat sosok ramping yang dalam kegelapan tampak seperti seekor ular dalam posisi siaga menyerang. Didorong oleh rasa takut dan keputusasaan, ia seketika terkejut dan menyadari bahwa dirinya sesungguhnya tidak ingin mengakhiri hidup. Ia membayangkan ular tersebut akan menyerang dan secara refleks meloncat untuk menghindari gigitan.[2]
Setelah beberapa saat, ia mulai tenang dan menyadari bahwa objek tersebut tidak bergerak. Saat ia memperhatikannya lebih dekat, ternyata benda yang disangka ular itu adalah sebuah patung berbentuk ular yang terbuat dari emas, dengan mata dari batu zamrud berharga.[2]
Abdullah bin Ju’dan kemudian memecahkan bagian kepala dari patung ular tersebut dan melangkah masuk ke dalam gua. Ternyata, gua itu merupakan kompleks pemakaman para penguasa dan raja dari suku Jurhum. Di antara mereka terdapat nama al-Harits bin Madhadh, salah satu raja yang telah lama menghilang dan tidak diketahui keberadaannya.[1]
Di atas kepala jenazah-jenazah tersebut terdapat lembaran dari emas yang memuat informasi mengenai tanggal wafat dan luas wilayah kekuasaan masing-masing raja. Selain itu, di sekeliling makam tersimpan berbagai perhiasan, batu permata, emas, dan perak dalam jumlah yang sangat banyak.[1]
Abdullah bin Ju’dan kemudian mengambil sebagian dari harta tersebut sesuai kebutuhannya, lalu keluar dari gua dan menandai lokasinya agar dapat dikunjungi kembali. Setelah kembali kepada kaumnya, ia membagikan sebagian dari harta tersebut kepada mereka. Perbuatannya itu membuat dirinya dicintai dan dihormati oleh masyarakatnya.
Seiring waktu, Abdullah bin Ju’dan diangkat menjadi pemimpin (Sayyid) bagi kaumnya. Ia dikenal karena kedermawanannya dan sering memberi makan kepada masyarakat. Setiap kali persediaan hartanya menipis, ia akan kembali ke gua tersebut, mengambil sebagian dari harta yang tersisa, lalu kembali untuk membantu kaumnya.
Kisah ini disebutkan oleh sejarawan Abdul Malik bin Hisyam dalam kitab At-Tijān, serta oleh Ahmad bin Amr dalam karya Rayy al-‘Athasy wa Uns al-Wahsy.[1]