Irigasi atau pengairan merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian. Pada zaman dahulu, jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun, irigasi dapat dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu per satu. Di indonesia, irigasi model seperti ini biasa disebut menyiram. Irigasi telah berlangsung sejak zaman Mesir Kuno, hingga saat ini telah banyak metode irigasi.

Irigasi pada lahan pertanian di New Jersey.
Padi muda dan padi yang mendekati usia panen di Bogor. Irigasi memungkinkan tanaman pertanian untuk ditanam tanpa mengikuti musim.

Sejarah Irigasi di Indonesia

sunting

Irigasi Mesir Kuno dan Tradisional Nusantara

sunting

Sejak Mesir Kuno telah dikenal dengan memanfaatkan Sungai Nil. Di Indonesia, irigasi tradisional telah juga berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat juga cara bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan membendung kali secara bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang bersambung. Ada juga dengan membawa ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.

Sistem Irigasi Zaman Hindia Belanda

sunting

Sistem irigasi adalah salah satu upaya Belanda dalam melaksanakan tanam paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam tanam paksa tersebut mengupayakan agar semua lahan yang dicetak untuk persawahan maupun perkebunan harus menghasilkan panen yang optimal dalam mengeksploitasi tanah jajahannya.

Sistem irigasi yang dulu telah mengenal saluran primer, sekunder, ataupun tersier. Tetapi sumber air belum memakai sistem waduk serbaguna seperti Tennessee Valley Authority (TVA) di Amerika Serikat. Air dalam irigasi lama disalurkan dari sumber kali yang disusun dalam sistem irigasi terpadu, untuk memenuhi pengairan persawahan, di mana para petani diharuskan membayar uang iuran sewa pemakaian air untuk sawahnya.

Waduk Jatiluhur 1955 di Jawa Barat dan Pengalaman TVA 1933 di Amerika Serikat

sunting

Tennessee Valley Authority (TVA) [2] yang diprakasai oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Franklin D. Roosevelt pada tahun 1933 merupakan salah satu waduk serbaguna yang pertama dibangun di dunia.[1] Resesi ekonomi (inflasi) tahun 1930 melanda seluruh dunia, sehingga TVA adalah salah satu model dalam membangun kembali ekonomi Amerika Serikat.

Isu TVA adalah mengenai: produksi tenaga listrik, navigasi, pengendalian banjir, pencegahan malaria, reboisasi, dan kontrol erosi, sehingga di kemudian hari, proyek TVA menjadi salah satu model dalam menangani hal yang mirip. Oleh sebab itu, proyek Waduk Jatiluhur merupakan tiruan yang hampir mirip dengan TVA di AS tersebut.

 
Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Bendungan Jatiluhur adalah bendungan terbesar di Indonesia.


Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (±9 km dari pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda, dengan panorama danau yang luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Prancis, dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 miliar m3/tahun dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia.

Jenis Irigasi

sunting

Irigasi Permukaan

sunting

Irigasi permukaan adalah pengaliran air di atas permukaan dengan ketinggian air sekitar 10–15 cm di atas permukaan tanah. Irigasi permukaan merupakan sistem irigasi yang menyadap air langsung di sungai melalui bangunan bendung maupun melalui bangunan pengambilan bebas (free intake) kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan pertanian. Di sini dikenal saluran primer, sekunder, dan tersier. Pengaturan air ini dilakukan dengan pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapat air lebih dulu.

 
Saluran primer sistem irigasi Bendung Bila, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan
 
Pintu air yang berfungsi membagi saluran primer menjadi tiga buah saluran sekunder

Irigasi Lokal

sunting

Sistem ini air disalurkan dengan cara pemipaan. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun, air yang disebar hanya terbatas sekali atau secara lokal.

Irigasi dengan Penyemprotan

sunting

Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian menetes ke akar.

Irigasi Tradisional dengan Ember

sunting

Di sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di samping itu juga pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember.

Irigasi Pompa Air

sunting

Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudian dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah.

Irigasi Tanah Kering dengan Terasisasi

sunting

Di Afrika yang kering dipakai sistem ini, terasisasi dipakai untuk penyaluran air.

Pengalaman Penerapan Jenis Irigasi Khusus

sunting

Irigasi Pasang-Surut di Sumatra, Kalimantan, dan Papua

sunting

Dengan memanfaatkan pasang-surut air di wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Papua dikenal apa yang dinamakan Irigasi Pasang-Surut (Tidal Irrigation). Teknologi yang diterapkan di sini adalah: pemanfaatan lahan pertanian di dataran rendah dan daerah rawa-rawa, di mana air diperoleh dari sungai pasang-surut di mana pada waktu pasang air dimanfaatkan. Di sini dalam dua minggu diperoleh empat sampai lima waktu pada air pasang. Teknologi ini telah dikenal sejak Abad XIX. Pada waktu itu, pendatang di Pulau Sumatra memanfaatkan rawa sebagai kebun kelapa. Di Indonesia terdapat 5,6 juta Ha dari 34 Ha yang ada cocok untuk dikembangkan. Hal ini bisa dihubungkan dengan pengalaman Jepang di wilayah Sungai Chikugo untuk wilayah Kyushu, di mana di sana dikenal dengan sistem irigasi Ao-Shunsui yang mirip.

Irigasi Tanah Kering

sunting

Di lahan kering, air sangat langka dan pemanfaatannya harus efisien. Jumlah air irigasi yang diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta sarana irigasi yang tersedia.

Ada beberapa sistem irigasi untuk tanah kering, yaitu:

  • Irigasi tetes (drip irrigation),
  • Irigasi curah (sprinkler irrigation),
  • Irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation), dan
  • Irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation).

Untuk penggunaan air yang efisien, irigasi tetes[2] merupakan salah satu alternatif. Misal sistem irigasi tetes adalah pada tanaman cabai.

Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi sumber air irigasi adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan (groundwater) melalui pemetaan karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan informasi mengenai sebaran, volume dan kedalaman sumber air untuk mengembangkan irigasi suplemen.

Deteksi air bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan Terameter.

Pengalaman Sistem Irigasi Pertanian di Niigata Jepang

sunting

Sistem irigasi pertanian milik Mr. Nobutoshi Ikezu di Niigata Prefecture. Di sini terlihat adanya manajemen persediaan air yang cukup pada pengelolaan pertaniannya. Sekitar 3 kilometer dari tempat tersebut tedapat sungai besar yang debit airnya cukup dan tidak berlebih. Air sungai dinaikkan ke tempat penampungan air menggunakan pompa berkekuatan besar. Air dari tempat penampungan dialirkan menggunakan pipa-pipa air bawah tanah berdiameter 30 cm ke pertanian di sekitarnya. Pada setiap pemilik sawah terdapat tempat pembukaan air irigasi tersebut. Pembagian air ini bergilir berselang sehari, yang berarti sehari keluar, sehari tutup. Penggunaannya sesuai dengan kebutuhan sawah setempat yang dapat diatur menggunakan tuas yang dapat dibuka tutup secara manual. Dari pintu pengeluaran air tersebut dialirkan ke sawahnya melalui pipa yang berada di bawah permukaan sawahnya. Kalau di tanah air kita pada umumnya air dialirkan melalui permukaan sawah. Sedangkan untuk mengatur ketinggian air dilakukan dengan cara menaikkan dan menurunkan penutup pintu pembuangan air secara manual. Pembuangan air dari sawah masuk saluran irigasi yang terbuat dari beton sehingga air dengan mudah kembali ke sungai kecil, tanpa merembes terbuang ke bawah tanah. Pencegahan perembesan air dilakukan dengan sangat efisien.

Pengalaman Irigasi Perkebunan Kelapa Sawit

sunting

Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama bagi produksi kelapa sawit. Kekeringan menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan distribusi asimilat terganggu, berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman baik fase vegetatif maupun fase generatif. Pada fase vegetatif kekeringan pada tanaman kelapa sawit ditandai oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan terhambatnya pertumbuhan pelepah. Pada keadaan yang lebih parah kekurangan air menyebabkan kerusakan jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah. Pada fase generatif kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya jumlah bunga jantan, pembuahan terganggu, gugur buah muda, bentuk buah kecil dan rendemen minyak buah rendah.

Manajemen irigasi perkebunan kelapa sawit, yaitu: membuat bak pembagi, pembangunan alat pengukur debit manual di jalur sungai, membuat jaringan irigasi di lapang untuk meningkatkan daerah layanan irigasi suplementer bagi tanaman kelapa sawit seluas kurang lebih 1 ha, percobaan lapang untuk mengkaji pengaruh irigasi suplementer (volume dan waktu pemberian) terhadap pertumbuhan vegetatif kelapa sawit dan dampak peningkatan aliran dasar (base flow) terhadap performa kelapa sawit pada musim kemarau, identifikasi lokasi pengembangan dan membuat untuk empat buah dam parit dan upscalling pengembangan dam parit di daerah aliran sungai.

Lihat pula

sunting

Rujukan

sunting
  1. ^ [1]
  2. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-08-17. Diakses tanggal 2008-06-18. 

Pranala luar

sunting