Terapi elektrokonvulsif

Terapi elektrokonvulsif yang disingkat ECT (Electroconvulsive Therapy) atau yang juga dikenal sebagai terapi kejut listrik (Electro shock Therapy) merupakan suatu jenis pengobatan untuk gangguan jiwa dengan menggunakan aliran listrik yang dialirkan ke tubuhnya.

Terapi elektrokonvulsif
Intervensi
ICD-10-PCS[1]
ICD-9-CM94.27
MeSHD004565
Kode OPS-3018-630
MedlinePlus007474

Awalnya, pasien diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui elektrode yang dipasang di kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak yang tidak dominan. Empat sampai enam kali pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.

ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. Pada masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia. Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien sering kali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta sering kali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik. Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan.

Pelaksanaan sunting

Terapi elektrokonvulsif dilaksanakan di rumah sakit untuk pengobatan pasien yang mengalami kegelisahan atau kedaruratan psikiatri. Pasien dengan tingkat kegelisahan yang tinggi harus ditempatkan di dalam instalasi rawat intensif selama satu atau dua hari. Tujuannya untuk menenangkan pasien. Setelah tenang, pasien dapat dipindahkan ke ruangan yang lain. Pemilihan ruangan baru ditentukan oleh klasifikasi kebutuhan perawatan dan pengobatan pasien.[1]

Pelaksanaan terapi elektrokonvulsif hanya dilakukan kepada pasien yang memiliki indikasi gangguan depresif berat, mania dan pada beberapa kasus skizofrenia. Ketiga indikasi tersebut merupakan indikasi yang terjelas untuk dapat mengadakan terapi elektrokonvulsif. Terapi elektrokonvulsif secara umum dilakukan sebanyak 6–12 kali. Dalam sepekan, terapi dilakukan hanya 2–3 kali.[2] Terapi elektrokonvulsif yang diberi modifikasi diterapkan anestesi umum dengan memberikan relaksan otot dan oksigenasi.[3]

Kegunaan sunting

Terapi elektrokonvulsif merupakan salah satu percobaan awal dalam diagnosis pasien dengan gangguan skizoafektif tipe depresif. Terapi ini dilakukan bersama dengan percobaan lain, yaitu percobaan antidepresan. Kedua percobaan ini menjadi prasyarat sebelum pengambilan keputusan atas pasien mengenai kondisi tidak responsif terhadap terapi antidepresan.[4]

Efek samping sunting

Terapi elektrokonvulsif dapat membantu mengatasi gejala skizofrenia yang tidak memberikan tanggapan terhadap psikoterapi atau antidepresan. Namun, terapi ini memiliki beberapa efek samping yaitu konvusi, delirium, gangguan daya ingat, dan aritmia jantung ringan. Efek samping yang menjadi permasalah utama dari terapi elektrokonvulsif adalah kehilangan daya ingat.[5] Besarnya risiko dari terapi elektrokonvulsif membuatnya hanya dipertimbangkan untuk dilakukan jika jenis penanganan lain tidak efektif atau mengandung kontraindikasi. Penggunaan terapi ini juga dapat dipertimbangkan pada penanganan yang memerlukan respons yang cepat.[6]

Referensi sunting

  1. ^ Chuzaifah, Y., dkk. (2019). Laporan Pemantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: “Hukuman Tanpa Kejahatan” Dimensi Penyiksaan dan Daur Kekerasan terhadap Perempuan dengan Disabilitas Psikososial di Lokasi Serupa Tahanan (RSJ dan Pusat Rehabilitasi) (PDF). Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. hlm. 60. 
  2. ^ Agustina, Marisca (2018). "Pemberian Terapi Elektrokonvulsif (ECT) Terhadap Peningkatan Fungsi Kognitif Klien GangguanJiwa". Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan Indonesi. 8 (3): 444. 
  3. ^ Sharma, Kriti (2016). Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia (PDF). Human Rights Watch. hlm. II. ISBN 978-1-6231-33351. 
  4. ^ Surbakti, Ranintha br (2014). "A 30 Years Old Man with Depressed Type of Schizoaffective Disorder" (PDF). Jurnal Medula Unila. 3 (2): 93. 
  5. ^ Nandinanti, I. N., dkk. (2015). "Efek Electro Convulsive Therapy (ECT) terhadap Daya Ingat Pasien Skizofrenia di RSJ Prof. HB. Sa'anin Padang". Jurnal Kesehatan Andalas. 4 (3): 884. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-10. Diakses tanggal 2022-03-22. 
  6. ^ Fadli, F. dkk. (2019). Bunga Rampai Apa Itu Psikopatologi: Rangkaian Catatan Ringkas tentang Gangguan Jiwa (PDF). Lhokseumawe: Unimal Press. hlm. 99–100. ISBN 978-602-464-072-9. 

Pranala luar sunting