Teologi dalit adalah cabang teologi Kristen yang membicarakan tema pembebasan terhadap sistem kasta di India.[1][2] Teologi Dalit muncul sekitar tahun 1980 sebagai bentuk keprihatinan terhadap kemiskinan dan peminggiran yang dialami oleh kasta rendah di India.[2] Salah satu tokoh penting yang menjadi pionir Teologi Dalit adalah M. Azariah, seorang Uskup di kota Madras.[3] Tokoh-tokoh lain, seperti Rettamalai Srinivasan & Ayyankali merupakan tokoh dan aktivis kaum Dalit pada tahun 1900-an.

Contoh masyarakat miskin yang termasuk kaum dalit.

Etimologi sunting

Dalit dalam bahasa Sanskerta berarti 'patah', 'diinjak-injak', 'tertindas'.[2][3] Entah ada hubungan atau tidak, kata Dalit mirip dengan kata Ibrani dal yang juga berarti 'patah' atau 'diinjak-injak'.[3] Dengan demikian, secara etimologi kaum Dalit adalah orang-orang yang 'patah' atau tertindas.[3] Orang-orang ini hidup dalam tekanan ekonomi dan sosial.[3] Kaum Dalit biasanya bisanya bekerja sebagai pekerja sewaan oleh para tuan tanah.[1] Mereka juga adalah orang-orang yang terlempar dari kasta.[1] Secara ekonomi kaum Dalit termasuk miskin, pekerjaan mereka menjadi budak dan memiliki penghasilan yang sangat rendah, sedangkan secara politis mereka tidak memiliki kuasa.[1] Mereka juga merupakan kaum minoritas yang tidak dapat bersosialisasi, bahkan penggunaan fasilitas-fasilitas umum misalnya sumur dan kuil dilarang digunakan.[1] Dari sisi keagamaan kaum Dalit dikenal sebagai kaum yang tercermar dalam ritus keagamaan.[1]

Latar belakang munculnya teologi dalit sunting

Sistem kasta sunting

Sistem Kasta adalah suatu cara mengorganisasi masyarakat.[1] Sebuah kasta bersifat turun-temurun.[1] Kasta ini sekaligus mencerminkan pekerjaan seseorang.[1] Di India terdapat empat kasta yaitu: Brahman (imam/cendikiawan), Ksatria (prajurit/pejuang), Waisya (pedagang), dan Sudra (pekerja/petani).[1] Kaum Dalit adalah kelompok tersendiri yang tidak masuk dalam keempat kasta ini.[1] Mereka adalah orang-orang yang yang terbuang dalam kelompok masyarakat India, sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK), pemulung dan pengemis.[1]

Kemiskinan sunting

 
Kemiskinan merupakan salah satu pemicu lahirnya teologi dalit di India

Kemiskinan di India terlihat pada penduduknya, di mana sebagian sangat kaya dan banyak sekali yang miskin.[4] Situasi yang terjadi pada tahun 1944 yaitu India sedang mengalami kelaparan di mana-mana, terdapat perbedaan tajam antara kelompok sosial (di mana sekelompok kecil kaya sementara yang banyak yang miskin.[4] Selain itu ditambah lagi karena adanya kemasabodohan di antara kelompok sosial, khususnya oleh mereka yang kaya terhadap mereka yang miskin.[4] Berdasarkan sensus kepada masyarakat India tahun 1961, dari 439 juta jiwa penduduk India, terdapat 64 juta jiwa yang termasuk dalam kelompok Dalit.[5] Kemudian pada tahun 1971 tercatat 80 juta kaum Dalit dari total 548 juta penduduk India. Pada tahun 1981, hasil sensus di Tamil Nadu kaum Dalit mencapai lebih dari 18 persen.[5] Bahkan pada tahun 1991 sekitar 138 juta orang adalah kaum Dalit dari 846 juta total penduduk India.[5]

Pemikiran teologis sunting

Teologi Dalit terinpirasi oleh ideologi yang menyerukan pembebasan terhadap segala bentuk penindasan penindasan yang terdapat di seluruh dunia.[6] Semangat pembebasan ini disesuaikan pada konteks India dengan ajakan untuk mencoba mengakui dan membangun kembali kehidupan komunitas yang difokuskan pada kaum Dalit.[5] Hal ini dikarenakan kaum Dalit dianggap sebagai orang yang tak tersentuh dan orang yang tak terlihat.[2][3] Masuknya Kekristenan di India menyebabkan munculnya Teologi Dalit.[2][5]

Teologi Dalit juga merupakan refleksi yang timbul dari masyarakat di India karena adanya sistem kasta yang berlaku bagi siapa saja yang tinggal di India.[1] Teologi Dalit menegaskan adanya hubungan dengan pain-pathos sebagai ranah berteologi yang mewakili kebudayaan dan keagamaan kaum Dalit.[2] Selain itu, Teologi Dalit juga dihubungkan dengan Yesus.[2] Penderitaan komunitas kaum Dalit mempunyai persamaan dengan penderitaan yang Yesus alami.[2] Hal ini diartikan oleh kaum Dalit dari Kristologi di India.[4][7]

Beberapa orang mengatakan bahwa berteologi Dalit hanya dapat dilakukan oleh para Dalit itu sendiri, yang telah mengalami penindasan.[1] Namun kita harus menyadari bahwa Allah tidak terbatas, Allah berpihak kepada semua orang baik kepada kaum Dalit atau bukan Dalit.[1] "Kuasa dan kekuatan yang besar" dan "menggemparkan" menunjuk kepada keperluan kaum Dalit untuk berusaha memperjuangkan hak-hak mereka.[1] Tujuannya adalah martabat manusia sebagai umat Allah yang setara (humanisme).[1] Teologi Dalit juga bersifat doksologis.[1] Bagi kaum Dalit yang menjadi Kristen dari agama Hindu merupakan pengalaman eksodus (keluaran) yang membebaskan.[1] Pengalaman ini mengandung pengharapan eksodus dari para kaum Dalit untuk mendapatkan pembebasan sepenuhnya.[1] Akan tetapi perlu diingat bahwa kaum Dalit tidak akan dibebaskan jika sistem kasta sebagai penataan masyarakat tidak turut diubah.[1] Kemudian yang terjadi adalah berteologi Dalit juga merupakan bagian dari orang lain yang bersosialisasi dengan mereka.[1]

Para Dalit yang termasuk Kristen merasakan pengasingan ganda.[3] Mereka termarginalkan oleh kelompok kaya dan para penguasa non-Dalit.[3] Selain itu, mereka juga tersiksa dalam gereja-gereja arus utama, di mana anggapan mereka dalam gereja akan mendapatkan emansipasi.[3]

Yesus dan kaum dalit sunting

Karya Allah pada kebangkitan Yesus merupakan realitas Eskatologis.[8] Kebangkitan menunjukkan bahwa Yesus berada di dalam ruang dan waktu, bukan terpisah melainkan merupakan sebuah totalitas.[8] Hal tersebut tidak hanya sebuah sejarah melainkan sebagai bentuk keterlibatan secara penuh dan mendalam antara zaman Yesus dengan masa manusia sekarang, karena tidak mungkin tercapai realitas Eskatologis tanpa manusia ikut berproses di dalam sejarah.[8] Pendekatan seperti ini dapat dianalogikan terhadap Yesus dan kaum Dalit dengan melihat keterlibatan Teologi dalam kehidupan nyata, partsisipasinya dalam keprihatinan, serta impian untuk memperjuangkan kelompoknya.[8]

Yesus dalam kehidupannya juga memberikan perhatian kepada orang miskin dan tersiksa, para pendosa, orang asing, orang Samaria, dll yang dianggap sama dengan kaum Dalit.[3] Yesus tidak menarik diri atau menolak mereka, melainkan ikut serta dan menghabiskan banyak waktu pelayanan kepada mereka.[3] Dalam kitab Injil Yesus menyebut kalangan ini dengan beberapa sebutan seperti "domba tanpa gembala" (Markus 6: 34) dan mengakui mereka sebagai "saudara-saudara Ku" (Markus 3: 34).[3] Kemudian Yesus memperjelas ungkapan "saudara-saudara Ku" dengan menggambarkan mereka sebagai orang yang kelaparan, kehausan, mereka yang tidak berpakaian, orang yang tidak dikenal, orang yang sedang sakit, seperti yang terdapat dalam Injil Matius 25: 31-46.[3] Menurut Yesus, kelompok seperti kaum Dalit merupakan target pelayanan di dunia dan termasuk objek dari kematian Yesus di kayu Salib.[3] Yesus sebagai seorang Dalit menjadi pintu masuk menemukan formulasi Teologi Dalit.[3] Dalam beberapa konteks Kristus dapat dilihat sebagai pembebas.[3] Teologi pembebasan dalam komunitas Dalit menjadi sebuah harapan karena Allah yang ikut menderita.[3] Sehingga rumusan Teologi Dalit sama dengan Teologi Pembebasan dan Teologi Harapan.[3]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v (Inggris) Michael Alamadoss. Teologi Pembebasan Asia (terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 40-42, 47-50, 50-53.
  2. ^ a b c d e f g h (Inggris) Virginia Fabella & R.S. Sugirtharajah (eds). The SCM Dictionary of Third World Theologies. London: SCM Press. Hlm. 64-65.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Inggris) R.S. Sugirtharajah & Cecil Hargreaves (eds). Readings In Indian Christian Theology Vol 1. London: SPCK. Hlm. 37.
  4. ^ a b c d (Inggris) A.A. Yewangoe. Theologia Cruicis Di Asia (terj). Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 38-39, 69-76, 84-90.
  5. ^ a b c d e (Inggris) Sathianathan Clarke. Dalits and Christianity: Subaltern Religion and Liberation Theology in India. New Delhi: Oxford University Press. Hlm. 59-61, 64-65.
  6. ^ (Inggris) Aloysius Pieris. An Asian Theology of Liberation. Edinburgh: T&T Clark. Hlm. 104-105.
  7. ^ (Inggris) Volker Kuster. The Many Faces of Jesus Christ: Intercultural Christology. London: SCM Press. Hlm. 79-88.
  8. ^ a b c d (Inggris) Douglas J. Elwood. Teologi Kristen Asia (terj). Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 106-107, 112.