Poci Russell, kadang-kadang dijuluki poci selestial, atau poci kosmik adalah analogi yang dicetuskan oleh filsuf Bertrand Russell (1872–1970). Russell menulis:

Bertrand Russell

Apabila aku mengusulkan bahwa antara Bumi dan Mars ada poci keramik yang mengitari matahari dalam orbit elips, tidak akan ada yang mampu menyangkal pernyataanku karena aku telah menambahkan bahwa poci itu terlalu kecil untuk dilihat oleh teleskop tercanggih kita. Namun bila aku tetap berkata begitu, karena pernyataanku tak bisa dibantah, adalah sifat akal manusia untuk meragukannya, sehingga pernyataanku akan dianggap omong kosong. Tetapi jika keberadaan poci semacam itu ditegaskan dalam buku-buku kuno, diajarkan sebagai kebenaran suci setiap Minggu, dan ditanamkan dalam pikiran anak-anak di sekolah, keengganan untuk memercayai keberadaannya akan menjadi tanda sebuah keanehan dan menggiring orang yang meragukannya ke psikiater pada abad pencerahan atau kepada anggota Inkuisisi pada masa lebih awal.[1]

Analisa sunting

Filsuf Paul Chamberlain berkata bahwa analogi tersebut memiliki kesalahan logika dengan beranggapan bahwa klaim kebenaran positif harus dibuktikan, sementara klaim kebenaran negatif tidak perlu.[2] Menurutnya, semua klaim kebenaran harus dibuktikan, dan poci dalam analogi tersebut memiliki beban lebih besar untuk dibuktikan, bukan karena negativitasnya, tetapi karena trivialitasnya, dengan argumentasi "Ketika kita menggantikan karakter normal dan serius seperti Plato, Nero, Churchill, atau George Washington dan digantikan dengan karakter fiksional, maka adalah jelas bahwa siapa pun yang menyangkal keberadaan figur-figur ini memiliki beban pembuktian yang sama, atau bahkan lebih besar, daripada orang-orang yang menyatakan bahwa mereka ada."[2]

Filsuf Peter van Inwagen berargumen bahwa meskipun analogi poci Russel merupakan karya retoris yang baik, namun argumen logikanya tidak jelas, dan usaha untuk menjelaskannya akan menunjukkan bahwa argumen poci Rusel sangat tidak kuat atau tidak meyakinkan.[3] Filsuf lain, Alvin Plantinga menyatakan bahwa ada kesalahan yang terletak di pusat argumen Russell. Argumen Russel berasumsi bahwa tidak ada bukti keberadaan poci teh tersebut, tetapi Platinga tidak setuju:

Jelaslah bahwa kita memiliki banyak bukti melawan "pociisme". Misalnya, sejauh yang kita ketahui, satu-satunya cara sebuah poci bisa sampai ke orbit mengelilingi matahari adalah apabila ada negara dengan kemampuan luar angkasa yang cukup untuk mengirimkan poci ini ke luar angkasa. Tidak ada negara dengan kemampuan seperti itu yang akan membuang-buang sumber dayanya untuk mengirimkan sebuah poci ke orbit. Lebih lanjut, kalaupun ada negara yang melakukannya, maka beritanya akan ada di seluruh dunia; kita pasti akan mendengar akan hal tersebut. Tetapi kita tidak mendengar berita seperti itu. Ada banyak sekali bukti untuk melawan "pociisme".[4]

Filsuf Gary Gutting menolak analogi poci Russell dengan alasan yang mirip, dengan argumen bahwa analogi Russell tidak memberi theisme bobot yang semestinya. Gutting menunjukkan bahwa ada banyak orang yang kompeten dan berakal sehat yang mendasarkan pada pengalaman pribadi dan argumen yang mendukung keberadaan Tuhan. Maka dari itu, untuk menolak keberadaan Tuhan begitu saja, tampak tidak adil.[5]

Kritikus literatur James Wood mengatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan jauh lebih masuk akal daripada kepercayaan kepada poci keramik, karena Tuhan adalah suatu konsep yang besar dan agung, yang tidak dapat disangkal keberadaannya dengan referensi kepada poci selestial atau penyedot debu, yang tidak memiliki konsep keagungan dan kebesaran yang sama, dan karena Tuhan tidak bisa direifikasi, tidak dapat dibendakan.[6]

Filsuf lain, Brian Garvey, berargumen bahwa analogi poci ini gagal digunakan terhadap agama, karena dengan poci ini, orang yang percaya maupun tidak percaya hanya tidak setuju terhadap keberadaan satu benda di alam semesta, dan mungkin memiliki persamaan kepercayaan lain terhadap alam semesta, yang tidak sama halnya dengan perbedaan antara seorang theis dan atheis.[7] Garvey berpendapat bahwa hal ini bukan semata-mata masalah kaum theis mengajukan teori keberadaan sesuatu dan kaum atheis menyangkalnya, namun masing-masing pihak memberikan penjelasan alternatif mengapa seluruh alam semesta ada dan seperti apa adanya:

Kaum atheis tidak hanya menyangkal keberadaan sesuatu yang diyakini kaum theis, namun kaum atheis juga berpandangan bahwa alam semesta bukan seperti apa adanya karena Tuhan. Alam semesta adalah seperti apa adanya karena sesuatu yang bukan Tuhan, atau tidak ada alasan sama sekali alam semesta tersebut seperti apa adanya.[7]

Filsuf Eric Reitan memberikan kontra-argumentasi bahwa kepercayaan kepada Tuhan berbeda dari kepercayaan kepada poci, karena poci adalah benda fisik, sehingga pada prinsipnya dapat dibuktikan, dan memandang bahwa dari apa yang kita ketahui tentang dunia fisik, maka tidak ada alasan yang bagus untuk berpikir bahwa kepercayaan kepada poci Russell dapat dibenarkan.[8][9]

Referensi sunting

  1. ^ Bertrand Russell: Apakah Tuhan Itu Ada?
  2. ^ a b Chamberlain, Paul (2011). Why People Don't Believe: Confronting Six Challenges to Christian Faith. Baker Books. hlm. 82. ISBN 978-1-4412-3209-0. 
  3. ^ van Inwagen, Peter (2012). "Russell's China Teapot". Dalam Łukasiewicz, Dariusz; Pouivet, Roger. The Right to Believe: Perspectives in Religious Epistemology. Frankfurt: Ontos Verlag. hlm. 11–26. ISBN 9783110320169. 
  4. ^ Gutting, Gary (February 9, 2014). "Is Atheism Irrational?". The New York Times. Diakses tanggal July 27, 2016. 
  5. ^ Gutting, Gary (August 11, 2010). "On Dawkins's Atheism: A Response". The New York Times. Diakses tanggal November 27, 2018. 
  6. ^ Wood, James (18 December 2006). "The Celestial Teapot". The New Republic (27). 
  7. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama garvey
  8. ^ Reitan, Eric (2008). Is God a Delusion?. Wiley-Blackwell. hlm. 78–80. ISBN 978-1-4051-8361-1. 
  9. ^ Reitan, Eric. "Contributors". Religion Dispatches. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-06-03. Diakses tanggal 2019-11-04.