Tapussa dan Bhallika

Tapussa dan Bhallika adalah dua orang pedagang bersaudara yang menjadi umat Buddha awam pertama yang hanya berlindung kepada Buddha dan Dhamma karena persaudaraan anggota Sangha belum terbentuk pada saat itu.[1][2] Tapussa dan Bhallika juga merupakan umat Buddha awam yang mempersembahkan dana makanan pertama kepada Buddha.[2]

Tapussa dan Bhallika mempersembahkan dana makanan kepada Buddha, lukisan di Kuil Chedi Traiphop Traimongkhon, Hat Yai

Menurut teks-teks Vinaya awal dan Anguttara Nikaya, "dua pedagang bernama Trapusa (Pali: Tapassu atau Tapussa) dan Bhallika (Pali: Bhalliya) mendatangi Buddha delapan minggu setelah pencerahannya dan mempersembahkan kue nasi dan madu".[3] Ini merupakan makanan pertama yang disantap oleh Buddha setelah berpuasa selama tujuh minggu, tepatnya pada hari ke-50 setelah pencerahan sempurna.[4][5]

Kehidupan sunting

Tapussa dan Bhallika, dua bersaudara, tinggal di Ukkala, sebuah kota di muara Sungai Irāvatī, Myanmar, yang dibangun oleh orang-orang dari Orissa (Ukkala, Utkala). Namun, mereka berasal dari Balhik, yang saat ini dikenal sebagai Balakha, berjarak 18 km di sebelah barat Majār-e-shareef, Afghanistan.[4] Beberapa sumber lainnya menyebutkan, kedua bersaudara tersebut berasal dari Pokkharavati, yang dianggap sebagai Carasadda saat ini, terletak di tepi Sungai Svata, dua puluh sembilan kilometer dari kota Peshawar.[6]

Pada masa Buddha Gautama, sebelum Buddha mencapai pencerahan sempurna, mereka terlahir sebagai putra seorang pedagang keliling yang membawa barang-barang dagangannya menggunakan karavan besar, dari satu tempat ke tempat lain. Sang kakak bernama Tapussa dan dan sang adik bernama Bhallika. Mereka menjadi perumah tangga dan melakukan perdagangan bersama, menggunakan karavan yang terdiri dari lima ratus kereta yang ditarik lembu.[7]

Perjumpaan dengan Buddha sunting

Pada hari pertama dari minggu kedelapan setelah pencerahan Buddha, saat fajar, ketika Buddha sedang duduk di kaki pohon rājāyatana, kedua pedagang bersaudara itu tengah melewati jalan utama, tidak jauh dari pohon itu, dalam perjalanan dagang dari kampung halaman mereka menuju Majjhimadesa. Tiba-tiba kereta-kereta mereka terhenti, seakan tengah terperosok ke dalam lumpur walaupun tanahnya datar dan tak berair.[8]

Seorang dewa, yang merupakan ibu bagi kedua bersaudara itu dalam kehidupan lampau, menyadari kebutuhan yang mendesak dari Buddha untuk mendapatkan makanan dan harus makan hari itu untuk kelangsungan hidupnya, setelah berpuasa selama empat puluh sembilan hari. Dia berpikir bahwa kedua putranya harus dapat mempersembahkan dana makanan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, dengan menggunakan kekuatan psikisnya, dia menghentikan lembu-lembu mereka.[7]

Ketika mereka sedang menyelidiki dan kebingungan untuk menemukan penyebabnya, sang dewa memperlihatkan dirinya di sepucuk dahan pohon dan memberitahukan mereka, "Putra-putra yang baik, di sini sedang berdiam Buddha, yang baru saja tercerahkan. Dia telah terserap dalam kebahagiaan pembebasan tanpa makan selama empat puluh sembilan hari, dan masih duduk di kaki pohon rājāyatana. Pergilah dan hormatilah dia dengan persembahan dana makanan! Perbuatan baik ini akan memberikan kalian kesejahteraan dan kebahagiaan yang banyak untuk waktu yang lama."[8]

Dengan hati yang penuh sukacita, mereka bergegas menjumpai Buddha dengan membawa serta kue nasi dan madu yang mereka bawa dalam perjalanan itu. Setelah memberi sembah dengan hormat pada Buddha dan duduk di tempat yang sesuai, mereka berkata, "Bhante, semoga Bhante berkenan menerima kue nasi dan madu ini agar kami bisa memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama."[8]

Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang pernah diterima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan tidak pernah seorang Buddha yang lampau menerima dana makanan dengan kedua tangannya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam, Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) datang menolong dengan masing-masing membawa satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Buddha. Buddha menerima keempat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaibnya dijadikan satu mangkuk. Dengan demikian, Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika.[5]

Menjadi upasaka pertama sunting

Buddha dengan ramah menerima persembahan dana makanan dari kedua pedagang itu yang tepat waktunya dan menyantap makanan itu setelah puasa panjang.[1] Setelah selesai makan, Buddha menyatakan terima kasih kepada pedagang bersaudara itu, yang menjadi sangat terkesan.[8] Lalu kedua pedagang itu bersujud di kaki Buddha sambil berkata, "O Guru, kami berlindung kepada Yang Mulia dan Dhamma. Biarlah Yang Mulia memperlakukan kami sebagai pengikut awam Yang Mulia sejak hari ini sampai maut menjemput kami."[1]

Dengan demikian, Tapussa dan Bhallika menjadi dua upasaka pertama dari Buddha dengan mengambil Dua Pernaungan (Dvevācikasaraṇagamaṇa)—yakni kepada Buddha dan Dhamma saja. Saat itu, Saṁgha Bhikkhu, persaudaraan anggota Sangha belum terbentuk.[1][8]

Menerima relik rambut Buddha sunting

Setelah menerima Dua Pernaungan, sebelum berangkat untuk melanjutkan perjalanan, kedua bersaudara mengajukan permohonan kepada Buddha, "Yang Mulia, semoga Bhagavā dengan penuh welas asih mengaruniakan sesuatu kepada kami untuk diingat dan dipuja setiap hari." Buddha kemudian mengusap kepalanya dengan tangan kanannya dan memberikan mereka delapan helai rambutnya sebagai relik (kesa dhātu). Mereka menerima relik rambut tersebut dengan penuh hormat dengan kedua tangan mereka. Relik itu lalu disimpan dalam sebuah peti emas dan dibawa pulang.[7][8] Setelah tiba di tempat mereka tinggal, mereka membangun sebuah pagoda untuk menyemayamkan dan memuja relik ini.[1]

Di kemudian hari, ketika Buddha berada di Rājagaha setelah membabarkan khotbah pertamanya, kedua pedagang bersaudara tersebut mengunjunginya dan mendengarkan khotbahnya. Tapussa menjadi seorang sotāpanna, sementara Bhallika memasuki Sangha dan menjadi seorang Arahat.[9]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e Karsan, Sulan (2016). "Pemutaran Roda Dhamma". Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti (PDF). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 25. ISBN 978-602-282-944-7. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-02-15. Diakses tanggal 16 Juli 2020. 
  2. ^ a b "Pencapaian Pencerahan Sempurna Petapa Gotama". Bhagavant. Diakses tanggal 18 Juli 2020. 
  3. ^ Gopinath Mohanty, Dr. C. B. Patel, D. R. Pradhan, Dr. B. Tripathy. "Tapassu and Bhallika of Orissa, Their Historicity and Nativity (Fresh Evidence from Recent Archaeological Explorations and Excavation)" (PDF). Orissa Review (edisi ke-November 2017). hlm. 2. Diakses tanggal 17 Juli 2020. 
  4. ^ a b "Tapussa and Bhallika". Vipassana Research Institute. Diakses tanggal 17 Juli 2020. 
  5. ^ a b Maha Pandita Sumedha Widyadharma (1999). "Riwayat Hidup Buddha Gotama – Bab II – Pelepasan Agung". Samaggi Phala. Diakses tanggal 17 Juli 2020. 
  6. ^ "Myanmar: Teacher-Disciple Tradition". Vipassana Research Institute. Diakses tanggal 18 Juli 2020. 
  7. ^ a b c Ven. Mingun Sayadaw (1990). "Chapter 45a - The Life Stories of Male Lay Disciples - Biography (1): Tapussa and Bhallika". The Great Chronicle of Buddhas. Wisdomlib-The Greatest Source of Ancient and Modern Knowledge. Diakses tanggal 18 Juli 2020. 
  8. ^ a b c d e f Ashin Kusaladhamma (Maret 2015). "Tapussa dan Bhallika, Penderma Makanan Pertama". Kronologi Hidup Buddha. Yayasan Satipaṭṭhāna Indonesia dan Ehipassiko Foundation. hlm. 163-165. Diakses tanggal 18 Juli 2020. 
  9. ^ "1. Bhallika, Bhalliya, Bhalluka Thera". Pali Kanon. Diakses tanggal 19 Juli 2020.