Tanah ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui "sepanjang menurut kenyataannya masih ada". Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataan yang sebenarnya masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya dukungan masyarakat hukum adat bersangkutan atau pimpinan adat tertinggi di suatu wilayah daerah pusat pemerintahan adat[1].

Hukum Tanah sunting

Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa pasal dari UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu Pasal 1 angka 6 yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat; dan pasal 5 ayat (1) yang membagi status hutan hanya negara dan hutan hak. dengan demikian, hutan ulayat (adat) bukan merupakan hutan negara, sehingga hutan adat merupakan entitas tersendiri disamping hutan negara dan hutan hak, sesuai dengan yang terdapat dalam peta marga indeeling residentie staat Drukkerij sebelum Indonesia merdeka tahun 1930, peta ini menjadi dasar Negara dalam menentukan hutan ulayat adat[2][3].

Tanah adat merupakan tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat dan dikelola sesuai dengan adat istiadat mereka, yang bertentangan dengan penguasaan hukum yang biasanya diperkenalkan pada masa kolonial. Kepemilikan bersama merupakan salah satu bentuk kepemilikan tanah adat. Sejak akhir abad ke-20, pengakuan hukum dan perlindungan hak masyarakat adat dan tanah harus menjadi tantangan besar. Kesenjangan antara lahan yang diakui secara formal dan yang dimiliki dan dikelola secara adat merupakan sumber signifikan dari keterbelakangan, konflik, dan degradasi lingkungan.[4]

Di sebagian besar negara, tanah adat tetap menjadi bentuk penguasaan tanah yang dominan[5].

Lihat pula sunting

Pranala luar sunting

Referensi sunting


  1. ^ https://www.hukumonline.com/klinik/a/tanah-ulayat-cl6522
  2. ^ http://repository.stpn.ac.id/463/1/Dinamika-Pengaturan-dan-Permasalahan-Tanah-Ulayat-1-dikompresi.pdf
  3. ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/07/05/dinamika-pengaturan-dan-permasalahan-tanah-ulayat/
  4. ^ https://landportal.org/issues/indigenous-community-land-rights-recounted
  5. ^ https://web.archive.org/web/20090914081933/http://www.ausaid.gov.au/publications/pdf/MLW_VolumeOne_Bookmarked.pdf