Hukum lingkungan menurut Th.G.Drupsten adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam dalam arti seluas-luasnya.[1] Dalam ruang lingkup berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Terkait ini hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan hidup.[1]

Klasifikasi

sunting

Hukum lingkungan klasik (Kuno)

sunting

Hukum lingkungan klasik adalah suatu kelompok hukum lingkungan di mana menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan menggunakan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil maksimal mungkin, serta jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Secara mendasar berorientasi pada penggunaan lingkungan hidup, yaitu use oriented law. Terkait ini ia menampakkan diri sebagai hukum yang sungguh-sungguh bersifat sektoral, "sektoral spesialistik", menonjol terkait sifat serba kaku, dan sukar berubah, maka mudah untuk ketinggalan zaman.[2]

Hukum lingkungan modern

sunting

Hukum lingkungan modern adalah suatu kelompok hukum lingkungan di mana menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia di mana bertujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya untuk menjamin kelestariannya sehingga dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang.[2]

Sumber

sunting

Menurut Danusuproto, hukum lingkungan dapat diperinci berdasarkan sumbernya. Sumber-sumber hukum lingkungan dibedakan dalam beberapa hal sebagai berikut: (a) Sumber Historis (sejarah); (b) Sumber Filsafati; (c) Sumber Formal (menurut bentuknya); dan (d) Sumber Material (menurut isinya).[2] Keempat hal tersebut merupakan sumber hukum lingkungan di mana secara kategoris dapat dibagi ke dalam sumber hukum materil dan sumber hukum formal.

Sumber hukum formal menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut.

Menurut E. Utrecht, bahwa yang ditinjau berupa semua lembaga sosial, yang pada gilirannya diketahuilah apa yang dirasakan sebagai hukum (kaidah yang diberi sanksi oleh penguasa masyarakat) dalam berbagai lemabaga sosial tersebut.[3] Sumber hukum formal mencakup Undang-Undang, Kebiasaan dan adat, traktat, yurisprudensi, dan doktrin.[4]

Menurut Van Apeldoorn, faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misalnya keadaan-keadaan ekonomi, pandangan agama, saat -saat psikologis. Penyelidikan mengenai hal faktor-faktor tersebut memerlukan kerja sama dari berbagai disiplin ilmu di antaranya sejarah, psikologi dan ilmu filsafat.[5] Sehingga dapat dikatakan bahwa sumber hukum dalam arti sosiologis adalah salah satu bagian sumber hukum materil.

Menurut Bellefroid, sumber hukum formal mencakup undang-undang dalam arti luas atau sama dengan peraturan perundang-undangan, kebiasaan, traktat, dan peradilan.[4]

Menurut Edward Jenks, sumber hukum formal meliputi undang-undang, traktat, dan yurisprudensi.[4]

Referensi

sunting
  1. ^ a b "Hardjasoemantri" (2009). Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 42. 
  2. ^ a b c Danusaputro, ST.Munadjat (1985). Hukum Lingkungan, Buku I: Umum. Bandung: Bina-cipta. hlm. 113. 
  3. ^ E., Utrecht (1957). Pengantar Dalam Hukum Indonesia,Cet. Ke-4. hlm. 115. 
  4. ^ a b c Wahid, A.M. Yunus (2018). Pengantar Hukum Lingkungan. Jakarta: Prenamedia Group. hlm. 147–148. 
  5. ^ Apeldoorn, L.J.Van (1973). Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht). Jakarta: Pradnya Paramita.