Suku Huli

suku bangsa di Papua Nugini

Suku Huli adalah masyarakat adat yang tinggal di dataran tinggi bagian selatan negara Papua Nugini yang meliputi beberapa wilayah seperti wilayah Tari, Koroba, Margaraima, dan Komo di Papua Nugini. Populasi suku ini berjumlah sekitar 250.000 orang. Mereka sudah mendimi wilayah dataran tinggi tersebut lebih dari 1000 tahun. Sebagian besar masyarakat suku Huli menggunakan bahasa Huli dan bahasa Tok Pisin, sebagian yang lain menggunakan bahasa lokal lainnya dan bahasa Inggris.

Huli
Haroli
Manusia topeng Huli, Papua Nugini
Jumlah populasi
Lebih dari 250.000[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Tari, Koroba, Margaraima, dan Komo di Papua Nugini
Bahasa
Huli, Tok Pisin, Inggris
Agama
Kepercayaan tradisional, Kekristenan
Kelompok etnik terkait
Masyarakat Papua dari Papua Barat dan Papua Nugini

Sejarah sunting

 
Manusia topeng Huli, Festival Musik Queensland, Cooktown, Australia, 2005.

Ada indikasi bahwa Huli telah tinggal di wilayah mereka selama ribuan tahun dan menceritakan secara panjang sejarah lisan yang berkaitan dengan individu dan klan mereka. Mereka adalah pengelana ekstensif (terutama untuk berdagang) baik di dataran tinggi maupun dataran rendah di sekitar wilayah mereka, terutama di selatan. Huli tidak diketahui orang Eropa sampai November 1934, ketika setidaknya lima puluh dari mereka dibunuh oleh Fox bersaudara, dua petualang yang tidak berhasil mencari emas yang baru saja berpisah dengan penjelajah yang lebih terkenal Mick dan Dan Leahy.[2]

Kehidupan sosial sunting

Sistem kekerabatan sunting

 
Kaum laki-laki dari suku Huli memakai penutup kepala dalam perang.

Suku Huli dikelompokkan ke dalam marga yang disebut (hamigini) dan submarga yang disebut (hamigini emene). Marga dari suku ini mendiami wilayah tertentu dan sistem keanggotaan berdasarkan pada kekerabatan turun menurun.[3]

Submarga merupakan kelompok kecil yang merupakan bagian dari marga yang membentuk tata kemasyarakatan suku Huli. Sistem submarga berlaku secara otomatis atau terjadi dengan peperangan atau perdamaian atau mungkin dengan jalan membayar ganti rugi tanpa melakukan musyawarah dengan marga yang lebih besar. Keanggotaan dari submarga biasanya terbatas pada orang yang secara langsung berketurunan dengan pendiri submarga atau anggota submarga lain. Seorang anggota suku Huli dapat memiliki status beberapa submarga sekaligus dalam satu waktu yang bergantung kepada keturunan dan kerabatnya.

Suku Huli memiliki sistem kekerabatan terbuka. Sebagai contoh seseorang yang berasal dari latar belakang budaya Sunda dapat dijadikan sebagai semi saudara, adik tiri, ataupun sepupu. Juga seseorang yang memiliki latar belakang yang berbeda dapat dengan status bibi dan paman dimata suku Huli dianggap sebagai ibu dan ayah.

Pria dan wanita dari suku Huli secara tradisional bertempat tinggal terpisah. Anak laki-laki tinggal bersama Ibunya dan akan pindah tinggal ke rumah ayah anak laki-laki tersebut menjelang masa pubertas. Laki-laki yang belum menikah berkumpul bersama dalam satu kelompok di dalam sebuah rumah, kebiasaan ini saat ini sudah mulai ditinggalkan dan jarang ditemukan lagi. Gubuk pria secara tradisional berada di pusat perkampungan, umumnya dijadikan sebagai tempat pertemuan dan kegiatan penduduk perkampungan tersebut kadang-kadang gubuk tersebut dijadikan tempat tidur pula. Sedangkan tempat tinggal perempuan berada terpisah dengan gubuk laki-laki. Gubuk mereka berada disekitar gubuk keluarga mereka.

Sistem perekonomian sunting

Suku Huli hidup dengan cara berburu. Umumnya berburu dilakukan oleh kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan dengan cara bercocok tanam dan mengumpulkan tanam-tanaman. Sistem pembagian ini juga berlaku pada saat kaum laki-laki menggarap tanah dan kaum perempuan menanami tanah.

Mereka menerapkan pertanian berpindah. Suku Huli akan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainya setelah tanah yang digarapnya sudah kurang subur untuk ditanami dan memberikan tanah itu kembali gembur. Kaum perempuan suku Huli merupakan petani yang luar biasa. Umumnya mereka menanam jenis tanaman seperti kentang manis yang menjadi bahan makanan pokok. Namun sekarang jenis tanaman yang mereka tanam berkembang ke jenis tanaman lain seperti jagung, kentang, kubis dan lain sebagainya.

Peperangan sunting

Laki-laki di komunitas suku Huli biasa melakukan perang untuk mendapatkan "tanah, babi, dan wanita". Mereka memakai pakaian tradisional, kaum laki-laki menghias badan mereka dengan tanah liat dan memakai penutup kepada tampah untuk upacara adat. Penutup kepala ini juga digunakan untuk peperangan. Sejak usia puber, kaum pria menumbuhkan rambut mereka dan memakai wig, selain itu mereka juga mencat rambut, menambahkan bulu burung dan beberapa jenis bunga yang menghiasi penutup kepala mereka.

Perkawinan sunting

Suku Huli menganut sistem perkawinan poligami. Kaum laki-laki dari suku Huli dapat memiliki beberapa perempuan, tetapi kaum perempuannya hanya memiliki satu laki-laki. Pernikahan harus di luar kerabat dan pernikahan di dalam lingkar saudara terlarang di dalam norma suku Huli.

Sistem pernikahan dapat bersifat perjodohan ataupun dipilih sesuai pasangan. Kaum laki-laki memberikan maskawin berupa babi atau jenis ternak yang lain kepada keluarga perempuan. Mempelai pria juga bertanggung jawab untuk membangun rumah untuk mempelai wanita.[4]

Setelah pernikahan kaum wanita mempunyai peran untuk merawat dan membesarkan anak-anaknya, membuat makanan, pakaian dan bercocok tanam dan merawat babi. Sedangkan kaum pria berburu binatang, menjaga dari binatang buas, membangun peralatan, mengolah lahan dan menjaga anaknya yang sudah berumur lebih kurang 10 tahun. Anak yang berusia sebelum puber dirawat oleh ibunya dan jika sudah puber tinggal bersama ayahnya.

Perceraian sangat jarang terjadi di dalam komunitas suku ini. Walaupun terjadi, umumnya disebabkan karena tidak dapat melahirkan anak. Jika perceraian terjadi, pihak mempelai pria dapat mengambil kembali babi yang sudah diberikan sebagai maskawin.

Referensi sunting

  1. ^ "Papua New Guinea National Population and Housing Census 2011: Final figures", Port Moresby PNG National Statistical Office 2014.
  2. ^ Chris Ballard, "La Fabrique de l'histoire", in Isabelle Merle and Michel Naepels, Les Rivages du temps: Histoire et anthropologie du Pacifique, Paris: L'Harmattan, « Cahiers du Pacifique Sud contemporain », 2003, pp. 111-34.
  3. ^ "Huli History & Language Studies". huliculture.com (dalam bahasa Inggris). The Huli Museum. Diakses tanggal 2 Mei 2023. 
  4. ^ "Suku Huli di Wilayah Tari" www.papuanewguinea.net.

Pranala luar sunting