Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah bakteri gram positif yang menghasilkan pigmen kuning, bersifat anaerob fakultatif, tidak menghasilkan spora, dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan diameter sekitar 0,8–1,0 µm.[1][2] S. aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 37oC dengan waktu pembelahan 0,47 jam.[3] S. aureus merupakan mikroflora normal manusia.[3] Bakteri ini biasanya terdapat pada saluran pernapasan atas dan kulit.[1][4] Keberadaan S. aureus pada saluran pernapasan atas dan kulit pada individu jarang menyebabkan penyakit, individu sehat biasanya hanya berperan sebagai karier.[1] Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang melemah karena adanya perubahan hormon; adanya penyakit, luka, atau perlakuan menggunakan steroid atau obat lain yang memengaruhi imunitas sehingga terjadi pelemahan inang.[1]

Staphylococcus aureus

PenyakitBintit
Pewarnaan GramGram-positif
Taksonomi
SuperdomainBiota
DomainBacteria
KerajaanBacillati
FilumBacillota
KelasBacilli
OrdoCaryophanales
FamiliStaphylococcaceae
GenusStaphylococcus
SpesiesStaphylococcus aureus
Rosenbach, 1884

Infeksi S. aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi, di antaranya bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritits.[1] Sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut piogenik.[1] S. aureus juga menghasilkan katalase, yaitu enzim yang mengonversi H2O2 menjadi H2O dan O2, dan koagulase, enzim yang menyebabkan fibrin berkoagulasi dan menggumpal.[1] Koagulase diasosiasikan dengan patogenitas karena penggumpalan fibrin yang disebabkan oleh enzim ini terakumulasi di sekitar bakteri sehingga agen pelindung inang kesulitan mencapai bakteri dan fagositosis terhambat.[1]

Mikrobiologi sunting

S. aureus termasuk bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di lingkungan dengan rentang konsentrasi zat terlarut (contohnya garam) yang luas, dan dapat hidup pada konsentrasi NaCl sekitar 3 Molar.[3] Habitat alami S aureus pada manusia adalah di daerah kulit, hidung, mulut, dan usus besar, di mana pada keadaan sistem imun normal, S. aureus tidak bersifat patogen (mikroflora normal manusia).[3]

Karakteristik S. aureus sunting

 


S. aureus merupakan bakteri gram positif yang banyak ditemukan pada kulit manusia, selaput lendir pada mulut, hidung, saluran pernapasan, saluran pencernaan, selain itu juga dapat ditemukan dalam air, tanah, susu, makanan, dan udara. S. aureus berbentuk bulat dan terlihat seperti untaian buah anggur ketika diamati dengan mikroskop.

S. aureus merupakan sel yang berbentuk bulat dengan ukuran diameter 0,7–1,2 mikrometer, tersusun dalam koloni yang tidak teratur (pada biakan sering terlihat kokus yang tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai), S, aureus dapat tumbuh pada keadaan aerob sampai anaerob fakultatif, namun pertumbuhan yang terbaik pada kondisi aerob. Pertumbuhan optimal S. aureus terjadi pada suhu 35°C–40°C dan paling cepat pada suhu 37°C, dengan pH optimal 7,0–7,5.

S. aureus dapat memfermentasi karbohidrat antara lain : glukosa, dekstrosa, mannitol, sukrosa, dan laktosa serta dapat menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan gas. S.aureus menghasilkan enzim koagulase dan enzim katalase yang bersifat hemolitik, mereduksi nitrat menjadi nitrit. S. aureus relative resistan terhadap pengeringan, panas (S. aureus tahan pada suhu 50°C selama 30 menit) dan NaCl 7–8%. S. aureus juga menghasilkan enterotoksin yang dalam jumlah tertentu akan meracuni tubuh dan menyebabkan gastroenteteritis atau radang mukosa usus..

Menurut Spicer (2000) S. aureus mempunyai 4 karakteristik khusus, yaitu faktor virulensi yang menyebabkan penyakit berat pada normal hast, faktor diferensiasi yang menyebabkan penyakit yang berbeda pada sisi atau tempat berbeda, faktor persisten bakteri pada lingkungan dan manusia yang membawa gejala karier, dan faktor resistensi terhadap berbagai antibiotik yang sebelumnya masih efektif.

Quorum Sensing sunting

S. aureus memiliki kemampuan Quorum sensing menggunakan sinyal oligopeptida untuk memproduksi toksin dan faktor virulensi .[3]

Patogenisitas S. aureus sunting

Menurut Warsa (1994) dalam Sri Agung. F.K. (2009), sebagian bakteri Staphylococcus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Selain itu, bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan mannitol.

Menurut Sri Agung. F.K. (2009). Infeksi yang disebabkan oleh S.aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S.aureus di antaranya adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat di antaranya pneumonia, mastitis, phlebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomyelitis, dan endocarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindrom syok toksik (Ryan, et. al., 1994; Warsa, 1994).

Keracunan makanan yang disebabkan oleh kontaminasi enterotoksin dari S. aureus, waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan adalah 1,0 µg/gr makanan (Sri Agung. F.K. (2009). Gejala keracunan ditandai dengan mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam (Ryan, et. al., 1994; Jawetz, et. al., 1995).

S. aureus akan sangat bergantung pada kepekaan setiap individu terhadap toksin, jumlah makanan tercemar yang dikonsumsi dan status kesehatan individu tersebut. Pada umumnya makanan dapat tercemar dibawah suhu 4°C. Gejala yang paling umum akibat keracunan enterotoksin adalah mual, muntah, kram pada perut (abdomen), dan diare. Pada tingkatan yang lebih parah terjadi sakit kepala, kram otot, peningkatan denyut nadi, perubahan tekanan darah, dan kadang-kadang sampai pingsan. Cara untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan mengganti cairan, garam, dan mineral yang hilang akibat diare dan muntah (Todar, 2005).

Faktor Virulensi S. aureus sunting

S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya:

Katalase sunting

Katalase merupakan enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus Staphylococcus dari Streptococcus (Ryan et al., 1994; Brooks et al., 1995).

Koagulase sunting

Koagulase merupakan protein ekstraseluler yang dihasilkan oleh S. aureus yang dapat menggumpalkan plasma dengan bantuan faktor yang terdapat dalam serum (Fajar. B.L dan Siti Isrina. O. S, 2015). Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis (Warsa, 1994). Staphylococcus aureus mempunyai dua macam koagulase, yaitu (Sari Wijayanti, 2009) :

1) Koagulase terikat atau faktor penjendalan yang terikat pada dinding sel bakteri. Bila suspensi bakteri dicampur dengan plasma maka enzim tersebut dapat mengumpulkan fibrin yang ada di dalam plasma membentuk deposit pada permukaan selnya. Kemampuan ini diduga untuk menghindarkan sel dari serangan sel fagosit hospes. Koagulase ini dapat dideteksi dengan slide test. Tes ini dilakukan untuk uji cepat atau screening.

2) Koagulase bebas merupakan enzim ekstraseluler yang juga dapat menjendalkan fibrin. Koagulase ini dapat dideteksi dengan uji tabung yang memberikan hasil lebih baik daripada slide test (Anonim, 2006).

Hemolisin sunting

Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisin, dan delta hemolisin. Alfa hemolisin merupakan toksin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada medium darah, toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia.

Beta hemolisin yaitu toksin yang terutama dihasilkan Staphylococcus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin merupakan toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba (Warsa, 1994).

Leukosidin sunting

Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Staphylococcus patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat difagositosis (Jawetz et. al., 1995).

Toksin Eksfoliatif sunting

Toksin eksfoliatif mempunyai proteolitik dan dapat melarutkan matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepithelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyabab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai melepuhnya kulit (Warsa, 1994).

Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST) sunting

Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini dapat menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh (Ryan, et al., 1994; Jawetz et al., 1995).

Enterotoksin sunting

Enterotoksin merupakan enzim yang tahan terhadap panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan yang mengandung karbohidrat dan protein (Jawetz et al., 1995).

Resistensi sunting

Resisten penisilin sunting

Hampir semua isolat S. aureus resisten terhadap penisilin G.[2] Hal ini disebabkan oleh keberadaan enzim β-laktamase yang dapat merusak struktur β-laktam pada penisilin.[2] Untuk mengatasi hal ini, dapat digunakan penisilin yang bersifat resisten β-laktamase, contohnya nafcillin atau oksasilin.[2]

Resisten Metisilin (Methicillin-resistant S. aureus/MRSA) sunting

Sebagian isolat S. aureus resisten terhadap methisilin karena adanya modifikasi protein pengikat penisilin.[2] Protein ini mengodekan peptidoglikan transpeptidase baru yang mempunyai afinitas rendah terhadap antibiotic β-laktam, sehingga terapi β-laktam tidak responsif.[2] Salah satu contoh antibiotik yang digunakan terhadap MRSA adalah vankomisin[5]

Kontrol sunting

Tidak ada vaksin yang efektif terhadap S. aureus.[2] Kontrol infeksi lebih ditujukan pada tindakan menjaga kebersihan, contohnya mencuci tangan.[2]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h Madigan MT, Martinko JM, Dunlap PV, Clark DP. 2008. Biology of Microorganisms 12th edition. San Francisco: Pearson.
  2. ^ a b c d e f g h [WHO] World Health Organization. 2004. Guidelines for Drinking-water Quality 3rd Edition. Geneva: World Health Organization.
  3. ^ a b c d e (Inggris) Prescott LM, Harley JP, Klein DA. 2002. Microbiology. 5th Ed. Boston: McGraw-Hill.
  4. ^ Honeyman AL, Friedman H, Bendinelli M. 2001. Staphylococcus aureus Infection and Disease. New York: Plenum Publishers.
  5. ^ Pollard AJ, McCracken GH, Finn A. 2004. Hot Topics in Infection and Immunity in Children. USA: Springer Science and Business Media Inc.
  • Aprilia, P. R., Santoso, S. A. B., & Harjanti, D. W. (2016). Jumlah Staphylococcus aureus dan kandungan nutrien susu akibat dipping puting menggunakan ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) pada sapi perah penderita mastitis subklinis. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan (Indonesian Journal of Animal Science), 26(1), 43-51.
  • Agung Fitri Kusuma, Sri. (2009). Staphylococcus aureus. Jatinangor, Apt Fakultas Farmasi. Universitas Padjajaran.
  • Cahyono, D. (2013). Kajian Kualitas Mikrobiologis (Total Plate Count (Tpc), Enterobacteriaceae Dan Staphylococcus Aureus) Susu Sapi Segar Di Kecamatan Krucil Kababupaten Probolinggo (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).
  • Herlina, N. F., Afiati, A. D., Cahyo, P. D., Herdiyani, Q., & Tappa, B. (2015). Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus dari Susu Masitis Subklinis di Tasikmalaya, Jawa Barat. In Prosesing Seminar Nasional Masyarakat Biodiversi Indonesia (Vol. 1, No. 3, pp. 413-417).
  • Lestari, F. B., & Salasia, S. I. O. Karakterisasi Staphylococcus aureus Isolat Susu Sapi Perah Berdasar Keberadaan Protein-A pada Media Serum Soft Agar terhadap Aktivitas Fagositosis Secara In Vitro. Jurnal Sain Veteriner, 33(2), 2-3.
  • Miskiyah, M. (2011). Kajian standar nasional Indonesia susu cair di Indonesia. Jurnal Standardisasi, 13(1), 1-7.
  • Wasitaningrum, I. D. A. (2009). Uji resistensi bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dari isolat susu sapi segar terhadap beberapa antibiotik (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
  • Wijayanti, S. (2009). Identifikasi dan Pemeriksaan Jumlah Total Bakteri Susu Sapi Segar dari Koperasi Unit Desa di Kabupaten Boyolali (Doctoral dissertation, Univerversitas Muhammadiyah Surakarta).
  • Tamam, Mh. Badrut. (-). Ciri-Ciri Morfologi Bakteri Staphylococcus aureus. [Online]. Tersedia : https://generasibiologi.com/2016/10/ciri-ciri-morfologi-bakteri-staphylococcus-aureus.html. (internet). (01 Juni 2021).

Lihat pula sunting