Spiral keheningan adalah sebuah teori media yang lebih memberikan perhatian pada pandangan mayoritas dan menekan pandangan minoritas.[1] Mereka yang berada di pihak minoritas cenderung kurang tegas dalam mengemukakan pandangannya. Karena seseorang yang berada pada posisi minoritas sering merasa perlu menyembunyikan “sesuatu”-nya/pendapatnya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Sebaliknya, mereka yang berada di pihak mayoritas akan merasa percaya diri dengan pengaruh dari pandangan mereka dan terdorong untuk menyampaikannya kepada orang lain. Maka dari itu, hal ini berangkat dari asumsi akan adanya ketakutan dari individu-individu akan isolasi dari masyarakat. Ketakutan itu muncul jika individu-individu mempunyai opini yang berbeda bahkan berseberangan dengan opini mayoritas masyarakat. Individu yang opininya berbeda dengan mayoritas masyarakat akan cenderung bungkam (silence) karena takut akan isolasi yang mungkin diterimanya. Secara sosiologis, teori Spiral keheningan mengakui bahwa ketakutan individu akan isolasi ini hanya berlaku pada masyarakat kurang terdidik dan miskin, irasional, dan tidak memiliki dedikasi untuk mengemukakan pendapatnya secara bebas dan bertanggung jawab. Teori ini dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann seorang ilmuan politik asal Jerman lewat tulisannya yang berjudul the spiral of silence. Spiral keheningan dibangun dengan empat unsur pokok,[2] yaitu:

  1. Media Massa
  2. Komunikasi antarpribadi dan jalinan interaksi sosial
  3. Pernyataan individu tentang suatu hal
  4. Persepsi orang lain/kecenderungan pendapat tentang suatu persoalan yang dilontarkan.

Asumsi Teori sunting

Elisabeth Noelle-Neumann sebagai penemu dari teori ini, menjelaskan tiga asumsi sebagai dasar dari teori ini. Ketiga asumsi tersebut berbicara mengenai bagaimana keheningan tersebut terbentuk di kelompok minoritas ketika mereka sedang berada di antara kelompok mayoritas.

Berikut tiga asumsi Teori Spiral Keheningan:[3]

  1. Masyarakat mayoritas mengancam individu yang menyimpang dengan adanya isolasi, dengan demikian kelompok minoritas akan diliputi rasa takut terhadap isolasi orang-orang yang berkuasa.
  2. Rasa takut akan isolasi membuat individu untuk setiap saat mencoba menilai iklim opini.
  3. Perilaku publik dipengaruhi oleh penilaian akan opini publik.

Pendapat Masyarakat sunting

Suatu “pendapat” adalah pernyataan dari sikap, dan dapat berubah-ubah dalam hal intensitas dan stabilitasnya.[1] Menurut noelle-neuman menyatakan bahwa opini adalah derajat persetujuan atau derajat kesepakatan dari suatu masyarakat tertentu. Dalam proses spiral keheningan, opini adalah sama sebagai sesuatu yang dipandang dapat diterima. Dengan memerhatikan hal tersebut, maka noelle-neumann mendefinisikan opini publik sebagai suatu sikap atau perilaku yang dikemukakan seseorang di depan publik jika ia tidak ingin dirinya terisolasi; dalam wilayah perubahan, opini publik adalah sikap yang ditunjukkan seseorang tanpa bahaya isolasi terhadap dirinya.[3] Dengan begitu opini publik mengacu pada suatu persamaan bersama dari suatu populasi atas suatu masalah tertentu. Penerimaan atau pendapat masyarakat sebagai akibat kuatnya kecenderungan orang-orang sekitarnya.[2] Banyak orang yang tidak mengemukakan pandangannya dan memilih diam daripada membicarakan atau membahas pandangannya tersebut. Noelle-neumann menyebut situasi tersebut sebagai spiral keheningan yang terjadi ketika orang mengemukakan opininya karena merasa pandangannya mewakili pandangan yang populer, sedangkan mereka yang merasa opininya tidak mewakili pandangan populer cenderung memilih untuk diam. Proses ini terjadi dalam pola atau bentuk menyerupai sedemikian rupa sehingga satu pendapat akan berakhir dengan publisitas dan popularitas tinggi, sedangkan pendapat lainnya akan berakhir dengan publisitas dan popularitas rendah.[1] Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita menyatakan pandangan atau pendapat kita dalam berbagai cara, kita berbicara dalam suatu komunitas di internet, mungkin seseorang menuliskan pesan tertentu (yang sesuai dengan pandangannya). Menurut teori ini, orang cenderung beranggapan memiliki pendapat yang serupa dari pesan-pesan yang dikemukakan dalam suatu komunitas, sebaliknya orang akan menghindari, cenderung berdiam diri, dengan tidak berkomentar terhadap pesan unik yang disampaikan.

Peran Media sunting

Media berfungsi menyebarluaskan opini publik yang menghasilkan pendapat atau pandangan yang dominan.[1] Sementara individu dalam hal menyampaikan pandangannya akan bergantung pada pandangan yang dominan, sedangkan media pada gilirannya cenderung memberitakan pandangan yang terungkap dan karenanya spiral keheningan berlanjut. Noelle-meumann memaparkan bahwa media tidak memberikan interpretasi yang luas dan seimbang terhadap peristiwa sehingga masyarakat memiliki pandangan terhadap realita secara terbatas dan sempit.

Media massa memiliki tiga sifat atau karakteristik yang berperan membentuk opini publik yaitu ubikuitas, kumulatif, dan konsonan.

Ubikuitas sunting

Mengacu pada fakta. Media merupakan sumber informasi yang luas karena terdapat dimana saja, dengan kata lain, ubikuitas dapat didefinisikan sebagai kepercayaan. Kepercayaan bahwa media terdapat dimana-mana. Itu sebabnya media menjadi instrumen yang sangat penting, diandalkan dan selalu tersedia ketika orang membutuhkan informasi. Untuk itu media berusaha mendapat simpati dari publik terhadap pandangan atau pendapat yang disampaikan.

Kumulatif sunting

Pengaruh timbal balik dalam membangun kerangka acuan. Dalam hal ini media mengacu pada proses media yang selalu mengulang-ulang apa yang diberitakan. Pengulangan terjadi disepanjang program, baik pada satu media tertentu ataupun pada media lainnya, baik yang sejenis maupun tidak.

Konsonan sunting

Konsonan dihasilkan berdasarkan kecenderungan media untuk menegaskan atau melakukan konfirmasi terhadap pemikiran dan pendapat mereka sendiri dan menjadikan pemikiran dan pendapat itu seolah-olah berasal dari masyarakat.

Peran media memberikan kontribusi terhadap munculnya spiral keheningan karena media memiliki kemampuan untuk menentukan dan menyebarluaskan pendangan-pandangan yang dinilai lebih dapat diterima publik secara umum.[2] Dengan demikian, mereka yang memiliki pandangan yang bertentangan dengan pandangan khalayak umum, lebih sulit untuk mendapatkan tempat di media. Pandangan minoritas cenderung dijadikan kambing hitam oleh media.

Kaitannya dengan opini publik,[2] media mempunyai peran luar biasa karena sifat yang terkandung didalamnya (Mc Quail: 1996; 5I)

  1. Media mampu menjangkau lebih banyak orang dan wilayah geografis yang lebih luas. Misalnya media teknologi internet.
  2. Format dan isi media selalu berhubungan dengan publik. Posisi media sering menjadi ruang publik. Misalnya blogger di dunia maya
  3. Media sebagai juru bahasa yang menjelaskan dan memberi makna terhadap suatu peristiwa yang menjadi opini publik. Media bisa menjadi jaringan interaktif yang menghubungkan komunikator dengan khalayak beserta feebacknya. Misalnya isu dialog interaktif lewat sebuah komunitas, chatting, dan soal terorisme.

Realita Dua Iklim Pendapat sunting

Pandangan media dalam menyikapi kasus tertentu adakalanya bertentangan dengan pendapat individu-individu dalam masyarakat. Pandangan media yang mewakili jurnalis adalah kalanya berbeda dengan pandangan masyarakat umum.[1] Noelle-Neumann menyamakan atau menganalogikan situasi tersebut dengan kondisi cuaca yang tidak lazim yang menurutnya menarik dan tampak aneh. Hal yang menarik ialah banyak orang yang memilih untuk diam.

Eksperimen “tes kereta api” sunting

Mempelajari apakah orang akan menyuarakan pendapat mereka atau tidak membutuhkan suatu metodologi yang jelas, dapat diuji, representative, dan dapat diaplikasikan. Untuk membuktikan hal ini, Noelle-Neumann mengonseptualisasikan uji kereta api. Uji kereta api (train test) adalah penilaian mengenai sejauh mana orang akan mengemukakan opini mereka. Menurut Teori Spiral Keheningan, orang dari dua sisi yang berbeda mengenai suatu isu akan bervariasi dalam kesediaan mereka untuk mengungkapkan pandangan mereka ke publik.[4] Dalam tes kereta api,[1] sejumlah responden diminta untuk membayangkan mereka tengah menumpang angkutan umum kereta api, dalam perjalanan lima jam dan duduk bersebelahan dengan orang asing yang mengajak responden untuk membicarakan berbagai hal. Ketika orang asing itu, misalnya berkata kepada responden bahwa ia mendukung calon presiden tertentu, maka responden ditanya apakah ia akan lebih suka memberikan tanggapan ataukah tidak terhadap hal itu. Begitu seterusnya dengan topik lain. Dari penelitian tersebut, menunjukkan sejumlah faktor yang menentukan atau memengaruhi apakah seseorang mau menyatakan pendapat atau menolak menyatakan pendapat, yaitu:[1]

  1. Pendukung dari opini yang dominan lebih bersedia untuk menyuarakan opini dibandingkan mereka yang memiliki opini minoritas.
  2. Orang dari kota-kota besar yang adalah pria berusia antara 45 dan 49 lebih bersedia untuk mnyuarakan pendapat.
  3. Terdapat berbagai cara untuk menyuarakan pendapat, misalnya menempelkan poster, menempelkan stiker pada mobil, dan mendistribusikan selebaran.
  4. Orang akan lebih menyuarakan pendapat jika pendapat ini sesuai dengan keyakinan mereka dan juga sesuai dengan tren terkini dan semangat dari kelompok usianya.
  5. Orang akan menyuarakan pendapat jika itu sejajar dengan pandangan masyarakat.
  6. Orang cenderung berbagi pendapat dengan mereka yang sepakat dibandingkan dengan mereka yang tidak sepakat.
  7. Orang mendapatkan kekuatan akan keyakinan melalui berbagai sumber, termasuk keluarga, teman dan kenalan.
  8. Orang mungkin akan terlibat dalam ayunan menit terakhir (last-minute swing), atau melompat ke sisi opini yang populer pada saat-saat terakhir percakapan.

Peran Minoritas (Hard Core) sunting

Terkadang minoritas yang diam mulai bangkit.[4] Kelompok ini, yang disebut hard core, “tetap berada pada ujung akhir dari proses spiral keheningan tanpa memedulikan ancaman akan isolasi”. Noelle-Neumann melihat bahwa seperti kebanyakan hal dalam hidup, terdapat perkecualian pada setiap peraturan atau teori. Para hard core mewakili sekelompok individu yang tahu bahwa ada harga yang harus dibayar bagi keasertifan mereka. Para penyimpang ini berusaha untuk menentang cara berpikir yang dominan dan siap untuk secara langsung mengonfrontasi siapa pun yang menghalangi mereka.

Kritik Spiral Keheningan sunting

Charles Salmon dan rekan (1985) menyatakan bahwa [5] bahwa teori spiral keheningan gagal mengakomodir keterlibatan ego seseorang dalam sebuah isu. Kadang-kadang, orang mungkin bersedia untuk berbicara karena setiap keinginan mereka terlibat dalam topik (misalnya, jika promosi di tempat kerja tergantung pada ketegasan). Carroll Glynn,dan rekan (1997) mengangkat isu berbagai proses selektivitas, seperti disonansi kognitif. Individu akan menghindari topik yang bertentangan dengan pandangan mereka sendiri. Hanya sedikit dukungan empiris untuk permohonan atas hak mereka bahwa orang-orang berbicara hanya karena mereka memandang dukungan untuk pandangan mereka. J.David Kennamer (1990) mendukung kritik ini: "Cukup sulit untuk membayangkan mana yang pro dengan kehidupan atau sisi yang mendukung tentang memilih sebuah isu untuk menyerah dalam pertarungan karena mereka menganggap diri mereka berada dalam minoritas". Carroll Glynn dan rekan (1985) mencatat dua kekurangan tentang teori spiral keheningan. Pertama, mereka percaya bahwa ketakutan akan keterbatasan mungkin tidak dapat memotivasi orang untuk mengekspresikan pendapat mereka. Mereka mengklaim bahwa Noelle-Neumann tidak secara empiris menguji asumsi bahwa keterbatasan mendorong orang untuk berbicara. Kedua, mereka berpendapat bahwa Noelle-Neumann tidak mengakui pengaruh kepada masyarakat dan kelompok sebagai referensi terhadap pendapat mereka. Mereka percaya bahwa ia berfokus terlalu banyak pada media. Seiring dengan kekhawatiran tersebut, fakta bahwa perkembangan Spiral keheningan bergantung pada kondisi media pada tahun 1985 di Jerman Barat. Keraguan tentang karakteristik media (ubikuitas, kumulatif dan konsonan) menurut teori spiral keheningan dalam diterapkan pada kondisi saat ini atau tidak. Mereka tidak mempertanyakan ikatan yang relatif intim di dalam media Jerman, tetapi mereka bertanya apakah teori ini dapat diaplikasikan atau di dalam kebudayaan yang sempit seperti di Amerika Serikat. Pada akhirnya teori ini memiliki kekurangan.[6] Jika seseorang yang mempunyai pendirian yang sangat kuat, orang tersebug tidak akan mudah mengikuti opini mayoritas yang ada disekitarnya misalnya jika opini ini menyangkut kepercayaan.

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g Morissan (2013). Teori Komunikasi: Individu hingga massa. Kencana Prenada Media Group. ISBN 9786029413687. 
  2. ^ a b c d Nova, Firsan; Rudiatin, Endang (2012). Republic relations: knowing your public is a halfway to win the battle. Media Bangsa. ISBN 9786029811797. 
  3. ^ a b Noelle-Neumann, Elisabeth (2009). "Spiral of Silence". Dalam West, Richard; Turner, Lynn. Introducing Communication Theory: Analysis and Application. McGraw-Hill Education. ISBN 9780073385075. 
  4. ^ a b Noelle-Neumann, Elisabeth (2008). "Spiral of Silence". Dalam West, Richard; Turner, Lynn. Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi Edisi 3 Buku 2. Salemba Humanika. ISBN 9789791749237. 
  5. ^ West, Richard; Turner, Lynn. "24". Introduction Communication Theory. 
  6. ^ Nurudin,M.Si. (2007). Pengantar komunikasi massa. RajaGrafindo Persada. ISBN 9789797695217. 

Bibilografi sunting

  • Alstyne, M. V., & Brynjolfsson, E. (1996). Electronic communities: Global village or cyberbalkans? Paper presented at the International Conference on Information Systems, Cleveland, OH.
  • Anderson, J.A. (1996). Communication theory: epistemological foundations. New York, NY: The Guilford Press.
  • Bradley, N., & Poppen, W. (2003). Assistive technology, computers and Internet may decrease sense of isolation for homebound elderly and disabled persons. Technology and Disability, 14(1).
  • Bowker, A., Bukowski, W., Zargarpour, S., & Hoza, B. (1998). A structural and functional analysis of a two-dimensional model of social isolation. Merrill-Palmer Quarterly, 44, 447-463.
  • Burgoon, J. K., Buller, D. B., & Woodall, W. G. (1989). Nonverbal communication: The unspoken dialogue. New York: Harper & Row.
  • Coleman, S., & Gøtze, J. (2001). Bowling together: Online public engagement in policy deliberation. Retrieved November, 2007, from [1] Diarsipkan 2012-03-18 di Wayback Machine.
  • Cummings, J., Sproull, L., & Kiesler, S. B. (2002). Beyond hearing: Where real-world and online support meet. Group Dynamics: Theory, Research and Practice, 6(1), 78-88.
  • Dahlberg, L. (2001). The Internet and democratic discourse. Information, Communication & Society, 4(4), 615-633.
  • Gastil, J. (2000). Is face-to-face citizen deliberation a luxury or a necessity? Political Communication, 14(4), 357-361.
  • Gimmler, A. (2001). Deliberative democracy, the public sphere and the Internet. Philosophy and Social Criticism, 27(4), 357-361.
  • Gonzenbach, W.J.; King, C.; Jablonski, P. (1999). Homosexuals and the military: an analysis of the spiral of silence. Howard Journal of Communication, 4, 281-296.
  • Gonzenbach, W.J.; Stevenson, R.L. (1994). Children with AIDS attending public school: an analysis of the spiral of silence. Political Communication, 1, 3-18.
  • Gottman, J., Gonso, J., & Rasmussen, B. (1975). Social interaction, social competence, and friendship in children. Child development|Child Development, 46(3), 709-718.
  • Hayes, A. F., Glynn, C. J., & Shanahan, J. (2005a). Willingness to self-censor: A construct and measurement tool for public opinion research. International Journal of Public Opinion Research, 17, 298-323.
  • Hayes, A. F., Glynn, C. J., & Shanahan, J. (2005b). Validating the willingness to self-censor scale: Individual differences in the effect of the climate of opinion on opinion expression, 17, 443-455.
  • Hiltz, S. R., Johnson, K., & Turoff, M. (1986). Experiments in group decision making: Communication process and outcome in face-to-face versus computerized conferences. Human Communication Research, 13, 225-252.
  • Kiesler, S., Siegel, J., & McQuire, T. W. (1984). Social psychology|Social psychological aspects of computer-mediated communication. American Psychologist, 39, 1123-1134.
  • Kraut, R. E., Patterson, M., Lundmark, V., Kiesler, S., Mukhopadhyay, T., & Scherlis, W. (1998). Internet paradox: A social technology that reduces social involvement and psychological well-being? American Psychologies, 53(9), 1017-1032.
  • McDevitt, M., Kiousis, S., & Wahl-Jorgensen, K. (2003). Spiral of moderation: Opinion expression in computer-mediated discussion. International Journal of Public Opinion Research, 15(4), 454-470.
  • McKenna, K. Y. A., & Bargh, J. A. (1998). Coming out in the age of the Internet: Identity "demarginalization" through virtual group participation. Journal of Personality and Social Psychology, 75(3), 681-694.
  • Moody, E. J. (2001). Internet use and its relationship to loneliness. CyberPsychology & Behavior, 4(3), 393-401.
  • Morris, M., & Ogan, C. (2002). The internet as mass medium. In D. McQauil (Ed.), McQuail's Reader in Mass Communication Theory. London: Sage
  • Moy, P.; Domke, D.; Stamm, K. (2001). The spiral of silence and public opinion on affirmative action. Journalism and Mass Communication Quarterly, 1, 7-25.
  • Noelle-Neumann, E. (1993). The Spiral of Silence: Public Opinion - Our Social Skin. University of Chicago Press.
  • Noelle-Neumann, E. (1974). The spiral of silence: a theory of public opinion. Journal of Communication, 24, 43-51
  • O'Connor, R. D. (1969). Modification of social withdrawal through symbolic modeling. Journal of Applied Behavior Analysis, 2, 15-22.
  • O'Connor, R. D. (1972). Relative efficacy of modeling, shaping, and the combined procedures for modification of social withdrawal. Journal of Abnormal Psychology, 79, 327-334.
  • O'Hara, K. (2002). The Internet: A tool for democratic pluralism? Science as Culture, 11(2), 287-298.
  • O'Sullivan, P. B. (1995). Computer networks and political participation: Santa Monica's teledemocracy project. Journal of Applied Communication Research, 23, 93-107.
  • Page, B. I. (1996). Who deliberates? Mass Media in Modern Democracy. Chicago: University of Chicago Press.
  • Rheingold, H. (1993). The virtual community. Homesteading on the electronic frontier: Reading
  • Rice, R. E., & Williams, F. (1984). Theories old and new: The study of new media. In R. E. Rice (Ed.), The new media: Communication, research, and technology (pp. 55–80). Beverly Hills, CA: Sage.
  • Sassenberg, K. (2002). Common bond and common identity groups on the Internet: Attachment and normative behaviors in on-topic and off-topic chats. Group Dynamics, 6(1), 27-37.
  • Scheufele, D. A., & Moy, P. (2000). Twenty-five years of the spiral of silence: A conceptual review and empirical outlook. International Journal of Public Opinion Research, 12(1), 3-28.
  • Schmierback, M.; Boyle, M.P.; McLeod, D.M. (2005). Civic attachment in the aftermath of September 11. Mass Communication and Society, 4, 323-346.
  • Shanahan, J.; Dietram Scheufele, D.A.; Fang Yang; Hizi, S. (2004). Cultivation and spiral of silence effects:the case of smoking. Mass Communication and Society, 4, 413-428.
  • Short, J., Williams, E., & Christie, B. (1976). The social psychology of telecommunications. New York: John Wiley & Sons.
  • Sleek, S. (1998). Isolation increases with Internet use. American Psychological Association Monitor, 29(1), 1.
  • Sproull, L., & Kiesler, S. (1992). Connections: New ways of working in the networked organization. Cambridge, MA: MIT Press.
  • Stromer-Galley, J. (2002). New voices in the political sphere: A comparative analysis of interpersonal and online political talk. Javnost/The Public, 9(2), 23-42.
  • Wallace, P. (1999). The psychology of the Internet. Cambridge, MA: Cambridge University Press.
  • Wanta, W., & Dimitrova, D. (2000). Chatrooms and the spiral of silence: An examination of online discussions during the final 1996 United States presidential election debates|U.S. presidential debate. Paper presented at the International Communication Association, Acapulco, Mexico.
  • Warren, M. E. (2001). What should we expect from more democracy? Radically democratic responses to politics. Political Theory, 24(2), 241-270.
  • Williams, E. (1977). Experimental comparison of face-to-face and mediated communication: A review. Psychological Bulletin, 84, 963-976.
  • Witschge, T. (2002). Online Deliberation: Possibilities of the Internet for deliberative democracy. Paper presented at the Euricom Colloquium Electronic Networks & Democratic Engagement, Nijmegen, The Netherlands.