Song Jiang (宋江) adalah pemimpin perampok budiman pada abad 12, zaman dinasti Song. Kelompoknya aktif di daerah yang pada saat ini adalah Shandong dan Henan, sebelum akhirnya menyerah pada kerajaan. Ia muncul sebagai salah satu tokoh utama dalam novel Tiongkok klasik, Batas Air, sebagai pemimpin dari 108 pendekar gunung Liang.

Song Jiang dalam sejarah sunting

Nama Song Jiang disebut dalam teks sejarah menjelang akhir masa pemerintahan Kaisar Huizong. Beberapa sumber menyebutkan kalau Song Jiang mulai dari Piling Ji mengumpulkan beberapa buronan untuk merampok di jalanan Shandong. Sumber lain menyebutkan kalau ia dan kelompoknya bangkit di daerah Sungai Kuning lalu bergerak ke selatan ke lembah Sungai Huai.

Disebutkan bahwa mereka menyerbu sepuluh daerah militer dan mengganggu pemerintahan daerah Kaifeng. Sebuah dokumen istana oleh pejabat Hou Meng menyebutkan dalam Sejarah Dinasti Song: "Song Jiang dan 36 lainnya menyeberang Qi dan Wei. Tentara pemerintah berjumlah puluhan ribu namun tiada yang berani menentangnya. Tentulah kemampuannya luar biasa. Disebabkan para perampok Qingxi telah bangkit, mengapa tidak memberikan pengampunan pada Song Jiang dan menyuruh dia menyerang perampok Fang La untuk memperoleh pengampunannya." Tidak ada tanggapan kerajaan terhadap usulan Hou ini.

Song Jiang dalam kisah Batas Air sunting

Song Jian dilukiskan sebagai seorang berperawakan pendek dengan mata bagai burung hong dan kulit gelap. Dia adalah tipikal orang yang setia kawan dan pemurah dalam menolong orang lain, dan dikenal di seluruh Shandong Hebei, dengan julukan Hujan Pada Waktunya (及時雨). Ia dikenal mahir dalam ilmu silat dan surat, dan bekerja sebagai pejabat di Yuncheng.

Song Jiang bersahabat dengan perampok budiman Chao Gai dan membantu menyelamatkannya saat dia diburu petugas kerajaan.

Song Jiang adalah kisah sedih ketakberuntungan. Walau apa yang didambanya hanyalah hidup sederhana saja, dia tak kuasa menghindari nasib. Ia menikahi Yan Poxi, dengan ketulusan untuk menolong dia yang yatim piatu. Apa daya si wanita berselingkuh dengan Zhang Wenyuan. Yan mengetahui perbuatannya menolong Chao dan mengancam hendak membocorkannya. Marah, Song Jiang kelepasan membunuh Yan. Dari situlah dia menjadi buronan.

Momen yang menarik adalah ketika dia ditangkap petugas kerajaan, dia menulis puisi pemberontakan dalam keadaan mabuk. Pada mulanya Song Jiang enggan bergabung menjadi perampok, apalagi ketika ayahnya menasehatinya agar tidak menjadi bandit. Apa daya, Song Jiang dicelakakan Huang Wenbing dan siap dihukum mati. Pada saat itulah Li Kui dan para pendekar Liangshan datang menyelamatkannya. Tiada pilihan lain, Song Jiang akhirnya bergabung dengan mereka dan menjadi pemimpin geromboloan Liangshan.

Sayang Song Jiang akhirnya dikenang sebagai seseorang yang tidak bisa memutuskan dengan teguh, tidak tegar. Dia tidak mengira bahwa mimpinya untuk mengabdi pada kerajaan (yang ternyata korup) sebetulnya lebih buruk daripada menjadi perampok budiman. Justru dalam puncak kejayaannya, dia menerima tawaran pemerintah untuk menjadi pejabat kerajaan. Song Jiang yang memang selalu memimpikan menjadi orang 'baik-baik' menerima tawaran itu, tidak mengetahui bahwa ia cuma dijebak.

Kelompoknya kemudian ditugasi menumpas pemberontak Fang La, yang mana merupakan duri terakhir bagi pemerintah. Song Jiang menderita kerugian yang amat sangat hebat karena ekspedisi Fang La ini dan sebagian besar 108 pendekar gugur di sini. Wu Song yang perkasa kehilangan sebelah lengannya di sini.

Sekiranya Song Jiang memutuskan untuk memberontak terhadap kerajaan, tentulah tidak sulit bagi dia. Namun akhirnya, Song Jiang dan kebanyakan tokoh 108 pendekar yang tersisa berakhir tragis, entah dibunuh atau minum racun bunuh diri. Hanya sedikit yang tetirah dari dunia persilatan dengan tenang.

Inilah kisah sedih seorang anak manusia yang budiman dan bercita-cita hidup sederhana, namun berakhir tragis karena tidak bisa memutuskan dengan tegar.