Sistem reproduksi

sistem organ dalam suatu organisme yang bekerja bersama untuk tujuan reproduksi

Sistem reproduksi atau sistem genital adalah sistem organ seks dalam organisme yang bekerja sama untuk tujuan reproduksi seksual. Banyak zat non-hidup seperti cairan, hormon, dan feromon juga merupakan aksesoris penting untuk sistem reproduksi.[1] Tidak seperti kebanyakan sistem organ, jenis kelamin dari spesies yang telah terdiferensiasi sering memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaan ini memungkinkan untuk kombinasi materi genetik antara dua individu, yang memungkinkan untuk kemungkinan kebugaran genetik yang lebih besar dari keturunannya.[2] Sistem reproduksi yang melibatkan organ-organ reproduksi pada makhluk hidup digunakan untuk berkembang biak atau melakukan reproduksi, dengan tujuan untuk melestarikan jenisnya agar tidak punah.[3]

Sistem Reproduksi
Rincian
Pengidentifikasi
Bahasa Latinsystema reproductionis
TA98A09.0.00.000
TA23467
FMA75572, 7160 7160 75572, 7160
Daftar istilah anatomi

Terdapat dua modus utama reproduksi hewan, yaitu reproduksi aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual adalah penciptaan individu baru yang semua gennya berasal dari satu induk tanpa peleburan sel telur dan sperma. Reproduksi seksual adalah penciptaan keturunan melalui peleburan gamet haploid untuk membentuk zigot yang diploid.[4] Sel-sel yang terspesialisasi, yakni gamet, bersatu dalam penyatuan seksual dan menghasilkan zigot. Pada tumbuh-tumbuhan dan hewan tingkat tinggi, gamet-gametnya telah mencapai spesialisasi berderajat tinggi menjadi sperma yang motil dan sel telur yang biasanya pasif dan memiliki cadangan makanan.[5]

Mekanisme fertilisasi memainkan peranan penting dalam reproduksi seksual. Beberapa spesies melakukan fertilisasi eksternal, dan spesies lain melakukan fertilisasi internal. Fertilisasi internal memerlukan perilaku kooperatif, yang mengarah ke kopulasi. Fertilisasi internal juga memerlukan sistem reproduksi yang canggih, termasuk organ kopulasi yang mengirimkan sperma dan reseptakel atau penyangga untuk penyimpanan dan pengangkutannya menuju telur yang matang. Karena fertilisasi eksternal memerlukan suatu lingkungan di mana sebuah telur dapat berkembang tanpa kekeringan atau cekaman panas, maka fertilisasi jenis ini terjadi hampir secara eksklusif di habitat yang lembap.[4]

Hewan sunting

Hewan dapat bereproduksi hanya secara aseksual atau seksual, atau bisa bergantian melakukan kedua modus tersebut. Banyak invertebrata dapat bereproduksi secara aseksual dengan cara pembelahan, pertunasan, gemula, fragmentasi dan regenerasi. Hewan yang bereproduksi secara seksual harus mempunyai sistem yang menghasilkan dan mengirimkan gamet dari satu jenis kelamin ke gamet dengan jenis kelamin lain yang berbeda. Sistem reproduksi tersebut sangat beraneka ragam. Sistem yang paling sederhana bahkan sama sekali tidak memiliki gonad yang jelas. Sistem reproduksi yang paling kompleks mempunyai banyak kumpulan saluran atau kelenjar asesoris yang membawa dan melindungi gamet dan embrio yang sedang berkembang. Diantara vertebrata, beberapa genera ikan, amfibia, dan kadal bereproduksi secara eksklusif melalui suatu bentuk kompleks partenogenesis. Reproduksi seksual menghadirkan permasalahan tertentu bagi hewan yang tidak berpindah-pindah, hewan yang bersarang dalam lubang di dalam tanah, atau bagi parasit, yang kesulitan dalam menemukan lawan jenis. Satu penyelesaian terhadap permasalahan ini adalah hermafroditisme, di mana masing-masing individu mempunyai sistem reproduksi jantan maupun betina. Jenis lain dari hermafroditisme pada hewan ialah hermafroditisme sekuensial, di mana suatu individu mengubah jenis kelaminnya selama masa hidupnya. Pada beberapa spesies hewan tersebut, ada yang bersifat protogini dan protandri.[4]

Vertebrata sunting

Sistem reproduksi vertebrata pada umumnya hampir sama antara hewan dari takson satu dengan lainnya yang tersusun oleh organ reproduksi primer (gonad) dan organ reproduksi sekunder (saluran reproduksi dan kelenjar asesoris), yang membedakan adalah struktur dan bentuk organ reproduksinya. Perbedaan tersebut berhubungan dengan lingkungan tempat hidup, kemampuan reproduksi (jumlah anak yang dilahirkan) dan juga bentuk plasentanya.[6]

Manusia sunting

Pria sunting

Sistem reproduksi pada pria mencakup testis, duktus seminalis, vesika seminalis, kelenjar prostat dan bulbouretral, uretra, skrotum, dan penis. Struktur tersebut secara bersama-sama menghasilkan produk yang unik, yaitu sperma, cairan seminalis, dan androgen. Cairan seminal adalah sekresi yang dikumpulkan dari testis, epididimis, vesikula seminalis, dan prostat serta kelenjar bulbouretra, atau disebut juga semen. Fungsi atau tujuan biologis dari sistem reproduksi pria adalah untuk membentuk dan mengirimkan gametosit (sperma) ke lubang uterus wanita. Pengiriman tersebut diselesaikan melalui suatu aksi persetubuhan, atau koitus, ketika penis yang ereksi disisipkan ke dalam vagina, mengejakulasikan semen.[7] Sistem reproduksi pria menghasilkan hormon-hormon seks jantan, atau androgen, yang mempersiapkan kelenjar-kelenjar dan saluran-saluran tubular pada saluran reproduksi agar berfungsi, serta menghasilkan karakteristik-karakteristik seksual sekunder.[5]

Sepasang testis sebagai organ primer pria dengan bentuk oval, yang terbungkus dalam kantong skrotum. Testis berfungsi sebagai penghasil sperma dan hormon testosteron oleh sel-sel interstitial. Lobus-lobus di dalam testis mengandung tubulus seminiferous yang berbelit-belit dan bergabung menjadi saluran epididimis. Sepasang epididimis, saluran panjang berkelok-kelok terdapat di dalam skrotum, sebagai tempat mengalirnya sperma dan semen meninggalkan testis.[7] Vas deferens merupakan lanjutan langsung dari epididimis. Vas deferens kemudian berlanjut menuju duktus vesikula seminalis, dan bersama-sama membentuk duktus ejakulatorius yang bermuara pada uretra di bagian prostat.[8] Uretra sebagai saluran keluarnya sperma. Sperma diangkut dalam cairan seminal yang tebentuk sepanjang saluran reproduksi pria. Pada manusia, aktivitas sperma dapat berlangsung selama seminggu dalam saluran reproduksi perempuan dan tiga hari dalam jenazah laki-laki.[5]

Wanita sunting
 
Ilustrasi organ reproduksi wanita

Sistem reproduksi wanita mencakup ovarium, tuba uterin (tuba fallopii/oviduk), uterus, vagina, vulva, dan payudara. Kesemua organ-organ ini menghasilkan gamet wanita (ovum) dan hormon-hormon. Tujuan dan fungsi sistem reproduksi wanita adalah untuk memberikan tempat bagi penis pria pada saat koitus dan merupakan tempat dimana ovum yang telah dibuahi dapat tumbuh menjadi bayi, dan memproduksi ASI untuk bayi yang baru lahir.[7]

Gonad wanita adalah sepasang ovarium yang tetap berada di dalam rongga abdominal, ditahan pada posisinya oleh ligamen dan mesenterium yang bermembran tipis. Ovarium berfungsi menghasilkan ovum dan hormon (estrogen dan progesteron). Lebih dari 400.000 sel telur potensial terdapat dalam ovarium, tapi hanya sekitar 400 yang akan menjalani meiosis sempurna. Jika sel telur pada ovarium telah masak, akan dilepaskan dari ovarium, dan peristiwa pelepasan telur dari ovarium disebut ovulasi. Tuba fallopi yang berada di atas ovarium merupakan tempat terjadinya fertilisasi sel-sel telur yang kemudian akan menuju ke uterus. Uterus merupakan tempat berlangsungnya perkembangan embrio yang akan menjadi fetus. Uterus terhubung ke saluran pendek bertepi yang tak rata yang dikenal sebagai vagina.[5] Vagina menerima penis dan semen pada saat koitus, mengeluarkan aliran menstruasi, dan membentuk saluran tempat terjadinya kelahiran. Genitalia eksterna wanita disebut vulva.[7]

Manusia tidak punya musim tertentu bagi aktivitas seksual, seperti hampir semua mamalia lainnya. Koitus dapat terjadi kapan saja dan koitus selain berperan dalam fungsi reproduksi, bisa pula berfungsi hanya sebagai aktivitas untuk mempertahankan seksualitas, yakni dengan menggunakan kontrasepsi. Kontrasepsi adalah mencegah terjadinya pembuahan. Ada beberapa metode, diantaranya yaitu:[5]

  1. IUD diletakkan pada uterus
  2. Kondom
  3. Suntikan
  4. Pil pencegah kehamilan
  5. Implant
  6. Sterilisasi:
    • Vasektomi: mengikat/memutuskan vas deferens pada testis pria. Metode ini ialah jenis kontrasepsi yang terbaik dari segi efektivitas.
    • Tubektomi; mengikat/memutuskan tuba fallopi wanita.

Mamalia sunting

Pada mamalia, telah berkembang suatu strategi cerdik untuk menghadapi habitat terestrial. Tidak saja fertilisasinya berlangsung internal, tetapi embrionya pun berkembang dalam tubuh sang induk betina secara parasitik. Gaya perkembangan macam itu membebaskan mamalia sepenuhnya dari ketergantungan terhadap air bagi reproduksi. Perubahan-perubahan besar pada saluran reproduksi betina merupakan syarat awal bagi keberhasilan mengandung anak. Setidaknya harus ada uterus sebagai tempat embrio berkembang. Selain itu juga harus ada plasenta, yang menyalurkan makanan, oksigen, dan bahan-bahan buangan antara ibu dan anak.[5] Umumnya mamalia berkembang biak dengan cara melahirkan anaknya (vivipar). Ada beberapa mamalia yang tidak melahirkan anaknya, tetapi bertelur, yaitu seperti platipus (Ornithorynchus anatinus).[9]

 
Fetus kanguru di dalam kantung induknya.

Pada mamalia euteria, embrionya berkembang secara keseluruhan di dalam uterus dengan adanya plasenta. Di antara mamalia, marsupial seperti kanguru dan possum menahan embrionya selama periode singkat dalam uterus. Embrio itu kemudian merangkak keluar dan menyelesaikan perkembangan fetusnya dengan cara melekat pada kelenjar susu dalam kantung induknya.[4]

Pada mamalia selain manusia dan primata, terjadi siklus penerimaan atau reseptivitas terhadap aktivitas seksual. Siklus yang disebut siklus estrus, yang serupa namun tidak serumit siklus menstruasi. Hewan yang berada di puncak estrus mengalami dorongan yang kuat untuk kawin. Siklus estrus mempersiapkan saluran reproduksi betina untuk kopulasi.[5]

Aves sunting

Burung jantan mempunyai organ reproduksi berupa sepasang testes yang menghasilkan sperma, dan saluran vas deferens yang bermuara di kloaka. Organ reproduksi burung betina terdiri dari sebuah ovarium, yaitu ovarium kiri yang menghasilkan telur, dan oviduk yang bermuara pada kloaka. Sedangkan ovarium kanan tidak tumbuh sempurna. Burung jantan dan betina tidak memiliki alat kelamin khusus (alat kelamin luar), tetapi hanya mempunyai kloaka.[9] Pada burung, fertilisasi internal dilakukan saat jantan dan betina saling mendekatkan kloaka dalam sebentuk koitus termodifikasi, yang disebut "kecupan kloaka" (cloacal kiss). Jantan tidak memiliki penis, tetapi pada sebagian burung, kloaka jantan masuk ke dalam kloaka betina.[5] Burung menghasilkan telur dari proses fertilisasi. Telur beramnion dengan cangkang kalsium dan protein yang menahan hilangnya air dan kerusakan fisik.[4]

Reptil sunting

Pembuahan pada reptil terjadi di dalam tubuh induk betina (fertilisasi internal). Pada umumnya reptil bersifat ovipar, tetapi beberapa jenis ular dan kadal ada yang bersifat ovovivipar, di mana telur menetas di dalam oviduk. Organ reproduksi reptil betina terdiri dari sepasang ovarium yang menghasilkan sel telur, dan oviduk yang bermuara pada kloaka. Organ reproduksi reptil jantan terdiri dari sapasang testes, epididimis, dan vas deferens. Testis menghasilkan sperma. Hewan jantan memiliki alat kelamin khusus yang disebut hemipenis.[9] Hemipenis yang tak sempurna memasukkan sperma ke dalam vagina betina. Fertilisasi menghasilkan zigot yang diselubungi albumin dan cangkang. Zigot tersebut akan dikeluarkan dari tubuh betina untuk menjalani perkembangan seutuhnya, di bawah asuhan salah satu atau bahkan kedua induk sekaligus.[5] Terdapat 15 spesies kadal whiptail (genus Cnemidophorus) bereproduksi secara eksklusif melalui parthenogenesis.[4]

Amfibia sunting

Sejumlah salamander jantan meletakkan paket-paket sperma pada bagian lantai hutan yang lembap. Salamander betina datang dan mengumpulkan sperma dengan bibir-bibir kloakanya. Fertilisasi akan terjadi dalam saluran reproduksi betina, tetapi telur-telurnya akan diletakkan sepanjang tepi sebuah aliran sungai atau lingkungan lembap lainnya agar berkembang. Dalam peristiwa ini kedua induk tidak pernah bertemu, namun menghasilkan keturunan.[5]

Katak jantan memiliki sepasang testes yang menghasilkan sperma, yang kemudian disalurkan melalui saluran vas efferens dan dikeluarkan melalui kloaka. Sedangkan pada katak betina memiliki organ reproduksi berupa sepasang ovarium yang menghasilkan banyak telur, saluran oviduk yang mengeluarkan selaput telur untuk melindungi sel telur. Sel telur itu akan dikeluarkan melalui kloaka. Katak tidak memiliki alat kelamin khusus yang membantu dalam melakukan kopulasi.[9] Pada katak, fertilisasi eksternal telur terjadi dalam kolam atau aliran sungai. Jantan naik ke atas tubuh betina, dan menekan sisi tubuh betina dengan bantalan-bantalan ibu jarinya yang menebal (bantalan kawin/nuptial pad). Bantalan kawin merupakan karakteristik seksual sekunder katak jantan. Pelukan yang dilakukan oleh katak jantan itu dikenal dengan sebutan ampleksus. Saat serangkaian telur dikeluarkan sebagai respon terhadap penekanan tersebut, sang jantan mengeluarkan cairan yang kaya sperma langsung ke sel-sel telur tersebut, dan fertilisasi itu terjadi di sekitar sepasang katak.[5]

Ikan sunting

Sistem reproduksi pada ikan terdiri dari komponen kelenjar kelamin atau gonad, yaitu ovarium pada ikan betina sedangkan pada ikan jantan disebut testis beserta salurannya. Pada kelompok Teleostei terdapat sepasang ovarium yang memanjang dan kompak, yang terdiri dari oogonia dan jaringan penunjang (stroma). Pada Chondrichthyes, oviduk dengan corong masuk di ujung terletak di bagian depan rongga tubuh. Telur melewati oviduk menuju kloaka dan keluar melalui lubang genital. Ikan Chondrichthyes yang ovipar, bagian depan jaringan oviduknya termodifikasi menjadi kelenjar cangkang, sedangkan ikan yang ovivipar dan vivipar, bagian belakang oviduk membesar menjadi suatu uterus tempat penyimpangan anak ikan selama perkembangan embrioniknya. Testes bersifat internal dan bentuknya longitudinal, pada umumnya berpasangan. Lamprey dan Hagfishes mempunyai testes tunggal. Testes tersusun dari folikel-folikel tempat spermatozoa berkembang. Sebelum sampa pada lubang pelepasan (urogenital pore), spermatozoa yang berasal dari testes terlebih dahulu melewati vasa efferentia, epididimis, vasa defferentia dan menuju lubang genital yang bermuara pada kloaka.[10]

Pada beberapa famili ikan terdapat ikan yang bersifat hermafrodit, mempunyai baik jaringan ovarium maupun jaringan testes. Kedua jaringan tersebut terdapat dalam satu organ dan letaknya seperti letak gonad pada individu normal. Berdasarkan perkembangan ovarium dan atau testesnya, terdapat jenis yang bersifat hermafrodit sinkroni (famili Serranidae), protandri (Sparatus auratus, Sargus annularis, dan Lates calcarifer), protogini, hingga gonokorisme (Anguilla anguilla, dan Salmo gairdneri irideus).[10] Pada berbagai spesies ikan-ikan karang (wrasse), pengubahan jenis kelamin berkorelasi dengan umur dan ukuran. Sebagai contoh, semua wrasse kepala biru Karibia terlahir sebagai betina, tetapi hanya individu yang tertua dan terbesar mengalami perubahan jenis kelamin dan menyelesaikan kehidupannya sebagai pejantan.[4]

Invertebrata sunting

Protozoa sunting

Sistem reproduksi Protozoa secara spesifik dibedakan menjadi dua, yakni secara seksual dan aseksual. Organ reproduksi seksual meliputi gamet jantan dan betina. Sedangkan reproduksi aseksual meliputi pembelahan biner, dan Multiple Fission yang menghasilkan individu identik melalui proses Schizogony dan Sporogony.[11]

Coelenterata sunting

Reproduksi Coelenterata terjadi secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual dilakukan dengan pembentukan tunas. Reproduksi seksual dilakukan dengan pembentukan gamet (ovum dan sperma), yang dihasilkan oleh seluruh Coelenterata berbentuk medusa dan beberapa yang berbentuk polip.[12] Reproduksi aseksual secara pertunasan dapat dijumpai pada golongan hewan Coelenterata, misalnya Hidra dan Ubur-ubur. Pada bagian tubuh Hidra dewasa akan terjadi pertumbuhan ke arah luar berupa tunas atau kuncup, yang merupakan penonjolan dari dinding tubuh. Setelah cukup besar dan matang, tunas akan melepaskan diri dari induknya, dan selanjutnya akan tumbuh menjadi individu baru. Dalam keadaan tertentu, Hidra dapat membentuk gonad yang menghasilkan sel telur dan sperma untuk reproduksi secara seksual.[9]

Ubur-ubur yang memiliki dua bentuk dalam daur hidupnya, yaitu polip dan medusa. Pada bentuk polip, reproduksi terjadi dengan membentuk tunas. Kemudian, tunas melepaskan diri dari induknya menjadi ubur-ubur muda, yang selanjutnya menjadi ubur-ubur medusa dewasa. Ubur-ubur dewasa melakukan reproduksi seksual dengan membentuk sel telur dan sperma, yang masing-masing dihasilkan oleh ovarium dan testis.[9] Fertilisasi terjadi secara eksternal di air, dan menghasilkan zigot yang akan berkembang menjadi larva (planula).[12]

Annelida, Nemathelminthes, dan Platyhelminthes sunting

Annelida umumnya bereproduksi secara seksual dengan pembentukan gamet. Beberapa jenis dapat bereproduksi secara aseksual dengan fragmentasi, kemudian beregenerasi. Organ kelamin jantan (testis) dan organ kelamin betina (ovarium) ada yang terdapat pada satu individu (hermafrodit) dan ada yang terpisah pada individu yang berbeda (gonokoris).[12]

Nemathelminthes umumnya bereproduksi secara seksual. Sistem reproduksinya bersifat gonokoris, organ kelamin jantan dan betina terpisah pada individu yang berbeda. Fertilisasi terjadi secara internal, yang menghasilkan lebih dari seratus ribu telur per hari. Telur dapat membentuk kista, yang dapat bertahan hidup pada lingkungan yang tidak menguntungkan. Cacing Platyhelminthes, misalnya pada Dugesia yang merupakan hewan hermafrodit, reproduksi seksual tidak dapat dilakukan hanya oleh satu individu. Fertilisasi dilakukan secara silang oleh dua individu Dugesia. Reproduksi aseksual dilakukan dengan pembelahan tubuhnya, dan setiap belahannya dapat beregenerasi menjadi individu baru.[12]

Reproduksi aseksual secara fragmentasi terjadi misalnya pada cacing pita. Hewan lain yang dapat berkembang secara fragmentasi ialah cacing Planaria. Tubuh bintang laut dapat membagi diri menjadi beberapa bagian, yang dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu baru yang utuh.[9]

Echinodermata sunting

Echinodermata memiliki sistem reproduksi secara seksual dan aseksual, dan fertilisasi terjadi secara eksternal, yang menghasilkan telur.Telur berkembang menjadi larva yang akan menempel pada substrat dan bermetamofosis menjadi individu dewasa. Terdapat beberapa jenis yang bersifat hermafrodit, dan dioseus. Di setiap lengan terdapat lima pasang gonad yang besar. Reproduksi aseksual dilakukan dengan pembelahan fisi.[11][13]

Moluska sunting

Golongan hewan Moluska, misalnya Bivalvia memiliki system reproduksi secara seksual. Organ reproduksi biasanya terdapat pada dua individu yang berbeda. Organ reproduksi terbuka ke dalam rongga mantel, dan fertilisasi dapat terjadi secara eksternal maupun internal, yang menghasilkan zigot yang berkembang menjadi larva. Pada kelompok Cephalopoda, organ reproduksi berumah dua (dioseus), pembuahan terjadi secara internal dan menghasilkan telur.[12]

Artropoda sunting

Sistem reproduksi Artropoda umumnya terjadi secara seksual. Namun ada juga yang secara aseksual, yaitu dengan partenogenesis. Organ reproduksi jantan dan betina terpisah, masing-masing menghasilkan gamet pada individu yang berbeda (berumah dua). Fertilisasi terjadi secara internal maupun eksternal, dan menghasilkan telur.[12]

Serangga melakukan reproduksi secara seksual, dengan fertilisasi internal. Organ kelamin berumah dua, dengan alat kelamin pada segmen terakhir abdomen. Sepasang gonad dengan sebuah gonopori. Pada umumnya serangga menghasilkan spermatofora yang digunakan untuk memindahkan sperma, sedangkan telur yang telah dibuahi akan dikeluarkan oleh ovipositor.[11][12] Pada serangga, sperma lebah pejantan dapat hidup dalam tubuh lebah ratu selama lebih dari setahun. Pada kebanyakan serangga yang jantannya menghasilkan sperma, fertilisasi terjadi melalui kopulasi.[5] Beberapa insekta meletakkan telur pada tumbuhan, dan lainnya menggunakan tubuh insekta jenis lain untuk mengasuh keturunannya.[12] Partenogenesis mempunyai peranan dala organisasi sosial spesies tertentu dari lebah, tawon, dan semut. Lebah madu jantan (drone) dihasilkan secara partenogenesis, sementara lebah madu betina baik pekerja yang steril maupun betina yang reproduktif (ratu), berkembang dari telur yang dibuahi.[4]

Krustasea memiliki sistem reproduksi yang terdiri dari sepasang testes di dekat jantung, serta vas deferens pada bagian dasar dari pasangan kelima kaki jalannya. Krustasea betina memiliki sepasang ovarium yang terletak dekat dengan jantung, dan saluran telur atau oviduk terbuka pada pasangan kaki ke-tiga. Perkawinan terjadi saat sperma di transfer ke reseptakel sperma yang terletak antara pasangan kaki ke-4 dan ke-5 dari kaki jalan betina. Reproduksi utama pada krustasea dengan cara seksual, dan pada umumnya bersifat berumah dua, tetapi pada beberapa spesies parasit dan sebagian besar teritip bersifat hermafrodit simultan, karena sulit dalam menemukan pasangan. Beberapa krustasea berganti kelamin ketika usia merekea semakin tua. Satu-satunya reproduksi aseksual yaitu secara parthenogenesis, namun ini jarang terjadi.[11]

Sperma pada invertebrata memiliki bentuk dan aktivitas yang sangat bervariasi. Cacing-cacing nematoda parasit seperti Ascaris, araknida (laba-laba), tungau, kaki seribu, dan beberapa spesies kepiting memiliki sperma amoeboid, yang bergerak dengan cara undulasi.[5]

Tumbuhan sunting

Sistem pembiakan, atau bagaimana sperma dari satu tanaman membuahi ovum lain, tergantung pada morfologi reproduksi, dan merupakan penentu yang paling penting dari struktur genetik populasi tanaman nonklonal. Christian Konrad Sprengel (1793) mempelajari reproduksi tanaman berbunga dan untuk pertama kalinya itu dipahami bahwa proses penyerbukan melibatkan baik interaksi biotik dan abiotik.

Tumbuhan dapat berkembang biak secara generatif maupun vegetatif. Reproduksi generatif, pada tumbuhan berbiji (Angiospermae dan Gymnospermae), memerlukan dua sel gamet yang berbeda jenis, yaitu sel kelamin jantan (stamen) dan sel kelamin betina (pistillum). Bunga pada tumbuhan dapat dibedakan berdasarkan alat kelaminnya, yaitu bunga sempurna yang memiliki alat kelamin jantan dan betina di dalam satu bunga, dan bunga tidak sempurna yang hanya memiliki putik atau benang sari saja pada satu bunga. Bunga jantan hanya memiliki benang sari, sedangkan bunga betina hanya memiliki putik. Tumbuhan yang memiliki bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon disebut tumbuhan berumah satu. Sebaliknya tumbuhan yang bunga jantan dan bunga betinanya tidak terdapat pada satu pohon disebut tumbuhan berumah dua.[9]

Di antara semua organisme hidup, bunga, yang merupakan struktur reproduksi angiosperma, adalah yang paling beragam secara fisik dan menunjukkan keragaman yang besar dalam metode reproduksi.[14] Tumbuhan yang bukan tumbuhan berbunga (alga hijau, lumut daun, lumut hati, lumut tanduk, paku dan Gymnospermae seperti konifer) juga memiliki interplay kompleks antara adaptasi morfologi dan faktor lingkungan dalam reproduksi seksual mereka.

Pada sejumlah alga, gamet-gametnya serupa (isogamet). Pada tumbuhan primitif lainnya, misalnya Spirogyra memiliki gamet dengan struktur yang serupa tetapi fungsinya berbeda (heterogami fungsional). Pada alga, generasi gametofit merupakan generasi yang biasanya mendominasi. Pada banyak jenis alga hijau, sama sekali tidak ada tahapan sporofit, dan tidak terjadi pergiliran generasi. Briofita jauh lebih maju daripada alga, karena memiliki organ-organ seksual multiseluler yang membungkus gamet dan melindunginya dari lingkungan darat yang keras. Pada briofita, sperma tersimpan dalam anteridium, sedangkan sel telur tersimpan dalam arkegonium. Pada paku-pakuan, fase dominannya adalah generasi sporofit. Gametofit ditemukan sebagai protalus. Paku-pakuan bersifat berumah tunggal, masing-masing tumbuhan memiliki kedua organ kelamin, jantan dan betina sekaligus.[5]

Fungsi sunting

Reproduksi fungi adalah kompleks, yang mencerminkan perbedaan dalam gaya hidup dan susunan genetik dalam kerajaan organisme yang beragam ini.[15] Diperkirakan bahwa sepertiga dari semua fungi bereproduksi menggunakan lebih dari satu metode propagasi; misalnya, reproduksi dapat terjadi dalam dua tahap yang berbeda dalam daur hidup suatu spesies, teleomorf dan anamorf.[16] Kondisi lingkungan memicu keadaan perkembangan yang ditentukan secara genetik yang mengarah pada penciptaan struktur khusus untuk reproduksi seksual atau aseksual. Struktur ini membantu reproduksi dengan secara efisien menyebarkan spora atau propagul yang mengandung spora.

Reproduksi pada fungi secara aseksual dilakukan melalui pembentukan tunas atau kuncup, serta melakukan proses fragmentasi dan menghasilkan spora aseksual (sporangiospora/konidiospora). Reproduksi seksual dimulai dengan penyatuan hifa yang terdiri dari proses plasmogami dan kariogami, yang menghasilkan spora seksual, yaitu zigospora, askospora, basidiospora.[13]

Referensi sunting

  1. ^ Introduction to the Reproductive System., Epidemiology and End Results (SEER) Program. Diarsipkan 2009-02-28 di Wayback Machine.
  2. ^ Reproductive System 2001 Diarsipkan 2006-10-22 di Wayback Machine. Body Guide powered by Adam
  3. ^ Aryulina, Diah; Muslim, Choirul; Manaf, Syalfinaf; Winarni, Endang W. (2007). BIOLOGI 2 : SMA dan MA untuk Kelas XI. Jakarta: ESIS. hlm. 285. ISBN 978-979-734-550-1. 
  4. ^ a b c d e f g h Campbell, Neil A.; Reece, Jane B.; Mitchell, Lawrence G. (2004). Biologi Jl. 3 Ed. 5. Diterjemahkan oleh Manalu, Wasmen. Jakarta: Erlangga. hlm. 150, 151, 152, 153, 154. ISBN 978-979-688-470-4. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n Fried, George H.; Hademenos, George J. (2006). Schaum's Outlines Biologi Ed. 2. Diterjemahkan oleh Tyas, Damaring. Jakarta: Erlangga. hlm. 136, 142, 143, 145, 146, 148. ISBN 978-979-781-713-8. 
  6. ^ Hayati, Alfiah (2019). Biologi Reproduksi Ikan. Surabaya: Airlangga University Press. hlm. 9. ISBN 978-602-473-177-9. 
  7. ^ a b c d Hamilton, Persis Mary (1995). Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Diterjemahkan oleh Asih, Ni Luh Gede Yasmin. Jakarta: EGC. hlm. 4, 6, 7, 9, 12, 14. ISBN 978-979-448-303-9. 
  8. ^ Heffner, Linda J.; Schust, Danny J. (2006). At a Glance: Sistem Reproduksi Ed. 2. Jakarta: Erlangga. hlm. 24. ISBN 978-979-015-222-9. 
  9. ^ a b c d e f g h Abdullah, Mikrajuddin; Saktiyono; Lutfi (2007). IPA TERPADU SMP dan MTs jilid 3A. Jakarta: ESIS. hlm. 31, 32, 34. ISBN 978-979-734-464-1. 
  10. ^ a b Burhanuddin, Andi Iqbal (2015). Ikhtiologi, Ikan dan Segala Aspek Kehidupannya. Sleman: Deepublish. hlm. 363, 364, 367, 370. ISBN 978-602-280-616-5. 
  11. ^ a b c d Yanuhar, Uun (2018-10-31). Avertebrata. Malang: Universitas Brawijaya Press. hlm. 31, 158, 205, 209, 210. ISBN 978-602-432-554-1. 
  12. ^ a b c d e f g h Aryulina, Diah (2004). BIOLOGI : SMA dan MA - Jilid 1. Jakarta: ESIS. hlm. 207, 212, 216, 220, 226, 229, 234. ISBN 978-979-734-549-5. 
  13. ^ a b Rahmah, Annisa; Dkk (2015). Big Book Biologi SMA Kelas 1, 2, & 3. Jakarta: Cmedia. hlm. 87, 224. ISBN 978-602-1609-74-3. 
  14. ^ Barrett, S.C.H. (2002). "The evolution of plant sexual diversity" (PDF). Nature Reviews Genetics. 3 (4): 274–284. doi:10.1038/nrg776. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-05-27. Diakses tanggal 2016-10-12. 
  15. ^ Alexopoulos et al., pp. 48–56.
  16. ^ Kirk et al., p. 633.

Literatur yang dikutip sunting

Bacaan lebih lanjut sunting

  • Aryulina, Diah (2007). Biologi 2 SMA dan MA Untuk Kelas XI. Jakarta: Esis/Erlangga. ISBN 979-734-550-5.  (Indonesia)

Pranala luar sunting