Reaksi berantai polimerase

metode laboratorium untuk memperbanyak sampel DNA

Reaksi berantai polimerase (bahasa Inggris: polymerase chain reaction, disingkat PCR) adalah metode untuk menciptakan jutaan hingga miliaran salinan dari segmen asam deoksiribonukleat (DNA) tertentu, yang memungkinkan ilmuwan untuk melipatgandakan sampel DNA yang sangat sedikit hingga mencapai jumlah yang cukup untuk dipelajari secara detail. Metode ini ditemukan pada tahun 1983 oleh Kary Mullis, ahli biokimia Amerika Serikat. Secara garis besar, sejumlah kecil urutan DNA diperbanyak secara eksponensial melalui rangkaian siklus perubahan suhu. Banyak pengujian biologi molekuler dan genetika dilakukan dengan PCR, misalnya analisis sampel DNA purba dan identifikasi agen infeksi. Saat ini, PCR merupakan teknik umum yang sangat diperlukan pada laboratorium medis, termasuk untuk riset biomedis dan kedokteran forensik.[1][2]

Alat pengatur siklus suhu yang biasanya digunakan pada teknik reaksi berantai polimerase

Sebagian besar PCR mengandalkan mesin pengatur siklus suhu. Mesin ini membuat bahan-bahan pereaksi mengalami siklus pemanasan dan pendinginan yang berulang. Hal ini memungkinkan terjadinya berbagai reaksi kimia yang bergantung pada suhu, khususnya pelelehan DNA dan replikasi DNA. Ada dua pereaksi utama yang digunakan dalam PCR, yaitu primer (fragmen DNA unting tunggal pendek [oligonukleotida] yang merupakan urutan komplemen wilayah DNA target) dan enzim DNA polimerase. Pada langkah pertama, dua unting DNA heliks ganda dipisahkan secara fisik pada suhu tinggi dalam proses yang disebut denaturasi asam nukleat. Pada langkah kedua, suhu diturunkan dan primer berikatan pada urutan DNA komplementer. Kedua unting DNA tersebut lalu menjadi templat yang ditempeli DNA polimerase untuk merakit unting DNA baru dari nukleotida bebas, bahan penyusun DNA yang ditambahkan sebagai pereaksi. Seiring dengan berlangsungnya PCR, salinan DNA yang dihasilkan dengan sendirinya menjadi templat untuk replikasi berikutnya sehingga tercipta reaksi berantai. Akhirnya, templat DNA asli diamplifikasi (diperbanyak) secara eksponensial.

Hampir semua aplikasi PCR menggunakan DNA polimerase yang tahan panas, seperti Taq polimerase, enzim yang awalnya diisolasi dari bakteri termofilik Thermus aquaticus. Jika polimerase yang digunakan peka terhadap panas, enzim tersebut akan mengalami perubahan sifat pada suhu tinggi pada langkah denaturasi. Sebelum Taq polimerase dipakai, enzim DNA polimerase harus ditambahkan secara manual setiap siklus sehingga proses ini menjemukan dan mahal.[3]

Penerapan teknik ini termasuk kloning DNA untuk pengurutan DNA, manipulasi gen, dan mutagenesis gen; konstruksi pohon filogenetika berbasis DNA atau analisis fungsional gen; diagnosis dan pemantauan penyakit keturunan; amplifikasi DNA purba, analisis profil DNA (misalnya dalam ilmu forensik dan identifikasi orang tua); serta deteksi patogen untuk mendiagnosis penyakit menular.

Prinsip sunting

 
Rangkaian tabung mikro PCR yang masing-masing mengandung campuran pereaksi sebanyak 100 mikroliter 

Reaksi berantai polimerase mengamplifikasi bagian tertentu dari unting DNA (disebut sebagai target DNA). Sebagian besar PCR mengamplifikasi fragmen DNA yang panjangnya antara 0,1 dan 10 kilo pasangan basa (kbp), meskipun amplifikasi fragmen hingga 40 kbp juga dimungkinkan.[4] Jumlah produk hasil amplifikasi ditentukan oleh ketersediaan substrat dalam reaksi, yang makin terbatas seiring dengan berlangsungnya reaksi.[5]

Secara mendasar, PCR membutuhkan beberapa komponen dan reagen,[6] di antaranya

  • templat DNA yang mengandung bagian DNA (target) yang akan diamplifikasi; biasanya diperoleh melalui proses isolasi DNA;
  • DNA polimerase; enzim yang menginisiasi polimerisasi untuk membentuk unting DNA baru; Taq polimerase yang tahan panas sangat umum digunakan karena cenderung tetap utuh selama proses denaturasi DNA bersuhu tinggi;
  • dua jenis primer DNA yang bersifat komplementer terhadap ujung 3 ′ (tiga prima) dari tiap-tiap unting bermakna dan takbermakna dari target DNA (DNA polimerase hanya dapat berikatan dan bergerak dari daerah unting ganda DNA; tanpa primer, tidak ada situs inisiasi unting ganda yang ditempati DNA polimerase untuk berikatan);[7] primer-primer spesifik yang komplementer terhadap bagian DNA target terlebih dahulu ditentukan, dan biasanya dibuat secara khusus di laboratorium atau dibeli dari pemasok biokimia komersial; umumnya, primer tersusun dari 18–28 nukleotida yang mempunyai basa guanina (G) dengan kandungan sitosina (C) sekitar 50–60 persen;
  • deoksinukleosida trifosfat atau dNTP (kadang-kadang disebut "deoksinukleotida trifosfat"; nukleotida yang mengandung tiga gugus fosfat), sebagai blok bangunan (bahan) yang digunakan oleh DNA polimerase untuk menyintesis unting DNA baru;
  • larutan penyangga yang menyediakan lingkungan kimia yang sesuai agar DNA polimerase tetap stabil dan bisa beraktivitas dengan optimal;
  • kation bivalen, biasanya ion-ion magnesium (Mg) atau mangan (Mn); Mg2+ merupakan ion yang paling umum, tetapi Mn2+ dapat digunakan untuk mutagenesis DNA yang dimediasi PCR karena konsentrasi Mn2+ yang lebih tinggi akan meningkatkan tingkat kesalahan selama proses sintesis DNA;[8] dan kation monovalen, biasanya ion kalium (K).

Komponen-komponen tersebut biasanya direaksikan dalam bentuk larutan bervolume 10–200 μl di dalam tabung reaksi kecil (volume 0,2–0,5 ml) yang diletakkan di dalam sebuah alat pengatur siklus suhu. Alat ini memanaskan dan mendinginkan tabung reaksi untuk mencapai suhu yang dibutuhkan pada setiap langkah reaksi (lihat di bawah). Banyak alat pengatur siklus suhu memanfaatkan efek Peltier, yang memungkinkan pemanasan dan pendinginan blok yang memuat tabung PCR hanya dengan membalikkan arus listrik. Tabung reaksi berdinding tipis memungkinkan konduktivitas termal yang menguntungkan untuk mencapai kesetimbangan termal yang cepat. Sebagian besar pengatur siklus suhu memiliki tutup yang dipanaskan untuk mencegah kondensasi di bagian atas tabung reaksi. Alat versi lama yang tidak memiliki penutup berpemanas perlu tambahan lapisan minyak di atas campuran reaksi atau bola lilin di dalam tabung.

Tahapan sunting

Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20–30 kali siklus sesuai kebutuhan. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap. Berikut adalah tiga tahap kerja PCR dalam satu siklus:

  1. Tahap pemisahan, peleburan, pelelehan, atau denaturasi. Pada tahap ini, ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) dan DNA menjadi unting tunggal. Tahap ini berlangsung pada suhu tinggi, yaitu 94–96 °C. Biasanya, pada tahap awal PCR, tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua unting DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi templat bagi primer.
  2. Tahap penempelan. Primer menempel pada bagian DNA templat yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45–60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.
  3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA polimerase yang dipakai. Dengan Taq polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76 °C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.

Seusai tahap ketiga, siklus diulang kembali mulai tahap pertama. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa unting baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat unting DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial.

Cara paling sederhana dalam melakukan analisis hasil reaksi berantai polimerase adalah dengan memasukkan hasil reaksi dan marka berat molekuler ke dalam sumuran dari gel agarose 0,8. Komposisi gelnya hanya sampai 4% dengan mengandung etidium bromida. Hasil reaksi dinampakkan dengan menggunakan transluminator ultraungu. Pada ukuran molekuler yang sesuai, bentuknya akan menyerupai pita.[9]

 
Diagram siklus reaksi berantai polimerase (PCR)

Kegunaan sunting

Isolasi DNA spesifik sunting

PCR dapat mengisolasi fragmen DNA tertentu dari keseluruhan genom dan mengamplifikasi wilayah DNA tersebut secara selektif. Penerapan PCR ini memungkinkan pengembangan teknik lainnya, seperti menghasilkan probe hibridisasi untuk blot Southern dan kloning DNA, yang membutuhkan jumlah DNA yang lebih banyak untuk mewakili wilayah DNA tertentu. PCR mendukung teknik-teknik ini dengan menyediakan sejumlah besar DNA murni sehingga analisis sampel DNA dapat dilakukan, bahkan dari bahan awal yang jumlahnya sangat kecil.

Aplikasi lain dari PCR termasuk pengurutan DNA untuk mengetahui urutan mereka setelah diamplifikasi oleh PCR. Urutan DNA yang diisolasi dipakai untuk mempercepat pengembangan teknologi DNA rekombinan yang melibatkan penyisipan urutan DNA ke dalam plasmid, fag, atau kosmid (tergantung ukuran) atau ke dalam materi genetik organisme lain. Koloni bakteri (seperti E. coli) dapat dengan cepat ditapis oleh PCR untuk menentukan konstruksi vektor DNA yang benar.[10] PCR juga dapat digunakan untuk sidik jari genetik; teknik forensik yang digunakan untuk mengidentifikasi seseorang atau suatu organisme dengan membandingkan DNA mereka melalui beberapa metode berbasis PCR.

 
Hasil elektroforesis dari fragmen DNA setelah diamplifikasi dengan PCR: (1) ayah, (2) anak, (3) ibu. Si anak mewarisi beberapa, tetapi tidak semua sidik jari DNA dari masing-masing orang tuanya, sehingga mendapatkan sidik jari DNA baru yang unik.

Beberapa metode sidik jari PCR memiliki kemampuan diskriminatif yang tinggi dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan genetik antarindividu, seperti orang tua dengan anaknya atau hubungan di antara saudara kandung, dan digunakan dalam pengujian paternitas. Teknik ini juga dapat digunakan untuk menentukan hubungan evolusi di antara organisme ketika jam molekuler tertentu digunakan (yaitu gen RNA ribosomal 16S dan gen recA pada mikroorganisme).[11]

Amplifikasi dan kuantifikasi DNA sunting

Karena PCR mengamplifikasi wilayah DNA tertentu, metode ini dapat digunakan untuk menganalisis sampel yang jumlahnya sangat kecil. Ini merupakan hal penting dalam analisis forensik, ketika hanya sejumlah kecil DNA yang ditemukan sebagai bukti. PCR juga dapat digunakan dalam analisis DNA purba yang berusia puluhan ribu tahun. Teknik berbasis PCR telah berhasil digunakan pada hewan, seperti pada mamut berusia empat puluh ribu tahun, serta pada DNA manusia, seperti analisis mumi dari Mesir hingga identifikasi tsar Rusia dan tubuh Raja Inggris Richard III.[12]

PCR kuantitatif atau PCR waktu-sebenarnya (disingkat qPCR,[13] berbeda dengan RT-PCR) dapat memperkirakan kuantitas (jumlah) urutan DNA tertentu yang ada dalam sampel. Teknik ini sering diterapkan untuk menentukan tingkat ekspresi gen secara kuantitatif. PCR kuantitatif merupakan metode yang telah mapan untuk mengukur akumulasi produk DNA setelah setiap siklus amplifikasi.

PCR kuantitatif memungkinkan kuantifikasi dan deteksi urutan DNA tertentu dalam waktu yang sebenarnya karena mengukur konsentrasi produk saat proses sintesis sedang berlangsung. Ada dua metode pendeteksian dan penghitungan — yang terjadi secara bersamaan. Metode pertama terdiri dari penggunaan pewarna fluoresens yang dipertahankan secara nonspesifik di antara unting ganda. Metode kedua melibatkan probe yang menyandi urutan spesifik yang kemudian diberi label dengan fluoresens. Deteksi DNA menggunakan metode-metode ini hanya dapat dilihat setelah hibridisasi probe dengan DNA komplementernya terjadi. Kombinasi teknik yang bisa digunakan adalah PCR kuantitatif (qPCR) dan transkripsi balik (RT-PCR). Teknik ini, yang disebut RT-qPCR, memungkinkan penghitungan sejumlah kecil asam ribonukleat (RNA). Melalui teknik gabungan ini, RNA duta (mRNA) diubah menjadi DNA komplemen (cDNA), yang selanjutnya diukur menggunakan qPCR. Teknik ini menurunkan kemungkinan kesalahan pada titik akhir PCR,[14] dan meningkatkan kemungkinan deteksi gen yang diasosiasikan dengan penyakit genetik seperti kanker.[15] Laboratorium menggunakan RT-qPCR untuk mengukur regulasi gen dengan akurat. Dasar-dasar matematika yang digunakan untuk penghitungan pada PCR[16] dan RT-qPCR[17] memfasilitasi penerapan prosedur yang akurat bagi data eksperimental dalam penelitian, medis, diagnostik, dan penyakit menular.[18][19][20][21]

Diagnosis medis sunting

Calon orang tua dapat diuji untuk mengetahui statusnya sebagai pembawa genetik, atau anak-anak mereka dapat diuji apakah mereka menderita suatu penyakit genetik seperti fibrosis sistik. Sampel DNA untuk pengujian pralahir dapat diperoleh dengan amniosentesis, pengambilan sampel vilus korionik, atau bahkan dengan analisis sel janin langka yang beredar di aliran darah ibunya. Analisis PCR juga penting untuk diagnosis genetik praimplantasi, ketika sel-sel individu dari embrio yang sedang berkembang diuji mutasinya.

  • PCR dapat digunakan sebagai bagian dari tes yang sensitif untuk mengetahui tipe jaringan, hal yang penting dalam transplantasi organ. Pada 2008, ada usulan untuk mengganti tes golongan darah berbasis antibodi dengan tes berbasis PCR.[22]
  • Banyak jenis kanker yang melibatkan perubahan pada onkogen. Dengan menggunakan tes berbasis PCR untuk mempelajari mutasi ini, rejimen terapi terkadang dapat disesuaikan secara individual. PCR memungkinkan diagnosis dini penyakit tumor ganas seperti leukemia dan limfoma. Tes PCR dapat dilakukan langsung pada sampel DNA genom untuk mendeteksi sel ganas yang spesifik terhadap translokasi dengan sensitivitas yang setidaknya 10.000 kali lipat lebih tinggi daripada metode lain.[23] PCR sangat berguna dalam bidang medis karena memungkinkan isolasi dan amplifikasi penekan tumor. PCR kuantitatif misalnya, dapat digunakan untuk mengukur dan menganalisis sel tunggal, serta mengenali konfirmasi dan kombinasi DNA, mRNA, dan protein.[14]

Diagnosis penyakit menular sunting

PCR memungkinkan diagnosis penyakit menular yang cepat dan sangat spesifik, termasuk yang disebabkan oleh bakteri atau virus.[24] PCR juga memungkinkan identifikasi mikroorganisme yang tidak dapat dibudidayakan atau tumbuh lambat seperti mikobakteri, bakteri anaerob, atau virus yang diperoleh dari kultur jaringan dan hewan model. Dasar untuk aplikasi diagnostik PCR dalam mikrobiologi adalah mendeteksi agen infeksi dan membedakan galur non-patogen dari galur patogen berdasarkan keberadaan gen tertentu.[24][25]

Karakterisasi dan deteksi organisme penyebab penyakit menular telah direvolusi oleh PCR, misalnya:

  • DNA virus dapat dideteksi dengan PCR. Metode ini dapat digunakan untuk analisis diagnostik atau pengurutan DNA genom virus. Sensitivitas PCR yang tinggi memungkinkan deteksi virus segera setelah infeksi dan bahkan sebelum timbulnya penyakit.[24] Deteksi dini seperti ini dapat memberi dokter waktu yang lebih awal untuk memulai penanganan. Jumlah virus (muatan virus) pada penderita penyakit juga dapat dihitung dengan teknik kuantifikasi DNA berbasis PCR. Varian PCR, yaitu RT-PCR, digunakan untuk mendeteksi virus RNA — dalam tes ini, enzim transkriptase balik digunakan untuk menghasilkan urutan DNA yang sesuai dengan RNA milik virus; DNA ini kemudian diamplifikasi seperti metode PCR biasa. RT-PCR secara luas digunakan untuk mendeteksi genom virus SARS-CoV-2.[26]
  • Virus imunodefisiensi manusia (HIV), merupakan target yang sulit ditemukan dan dibasmi. Beberapa pengujian paling awal untuk mengetahui infeksi HIV bergantung pada keberadaan antibodi terhadap virus yang beredar di aliran darah. Namun, antibodi tidak muncul sampai berminggu-minggu setelah infeksi, antibodi maternal mengacaukan deteksi pada bayi yang baru lahir, dan agen terapeutik untuk melawan infeksi tidak memengaruhi antibodi. Tes HIV berbasis PCR telah dikembangkan sehingga deteksi dapat dilakukan sedikitnya terhadap satu genom virus di antara DNA dari lebih dari 50.000 sel inang.[27] Dengan PCR, infeksi dapat dideteksi lebih awal, darah yang didonorkan dapat disaring untuk mengetahui ada tidaknya virus, bayi baru lahir dapat segera diuji untuk mengetahui infeksi, dan efek perawatan antivirus dapat diukur.
  • Beberapa organisme penyebab penyakit, seperti bakteri penyebab tuberkulosis, sulit diambil sampelnya dari pasien dan bersifat lambat tumbuh saat dikultur di laboratorium. Tes berbasis PCR telah memungkinkan deteksi sejumlah kecil organisme penyakit (baik hidup atau mati) dalam sampel dahak yang mudah dikoleksi. Analisis genetik terperinci juga dapat digunakan untuk mendeteksi resistansi antibiotik sehingga terapi yang efektif dapat diberikan. Efek terapi juga dapat segera dievaluasi.
  • Penyebaran patogen penyebab penyakit, misalnya influenza, pada populasi hewan domestik atau satwa liar dapat dipantau dengan PCR. Dalam banyak kasus, kemunculan subtipe virulen baru (seperti H5N1) dapat dideteksi dan dipantau. Subtipe organisme yang bertanggung jawab atas epidemi-epidemi sebelumnya juga dapat ditentukan dengan analisis PCR.
  • Penyakit seperti batuk rejan (pertusis) disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Bakteri ini mengakibatkan infeksi saluran pernafasan akut yang serius pada berbagai hewan dan manusia dan telah menyebabkan kematian banyak anak kecil. Toksin pertusis merupakan protein yang mengikat reseptor sel dengan dua dimer dan bereaksi terhadap beberapa jenis sel, seperti limfosit T yang berperan dalam kekebalan sel.[28] PCR merupakan alat pengujian yang dapat mendeteksi urutan gen toksin pertusis. Karena PCR memiliki sensitivitas tinggi untuk toksin dan waktu penyelesaian yang cepat, PCR sangat efisien untuk mendiagnosis pertusis bila dibandingkan dengan kultur.[29]

Forensik sunting

Perkembangan protokol sidik jari genetik (atau sidik jari DNA) berbasis PCR telah diterapkan secara luas dalam forensik:

  • Dalam penerapannya yang paling diskriminatif, sidik jari genetik dapat secara unik membedakan seseorang dari seluruh populasi manusia di dunia. Dalam hitungan menit, sampel DNA dapat diisolasi dari tempat kejadian perkara dan dibandingkan dengan sampel dari tersangka atau dari basis data DNA yang berisi bukti-bukti sebelumnya atau data narapidana sebelumnya. Versi yang lebih sederhana dari tes ini sering digunakan untuk mengesampingkan (menyingkirkan kemungkinan) orang-orang terduga dengan cepat selama investigasi kriminal. Bukti dari kejahatan yang telah berlangsung puluhan tahun masih dapat diuji sehingga dapat membenarkan atau membebaskan orang yang awalnya dihukum.
  • Forensik DNA telah menjadi cara yang efektif untuk mengidentifikasi atau membebaskan tersangka kriminal melalui analisis bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara. Genom manusia memiliki banyak wilayah berulang yang dapat ditemukan baik di dalam urutan gen ataupun di wilayah nonpenyandi. Secara spesifik, hingga 40% DNA manusia repetitif.[15] Ada dua kategori untuk wilayah repetitif pada DNA nonpenyandi. Kategori pertama disebut pengulangan tandem nomor variabel (VNTR), yang terdiri atas 10–100 pasangan basa dan kategori kedua disebut pengulangan tandem pendek (STR) dan terdiri atas 2–10 pasangan basa berulang. PCR digunakan untuk mengamplifikasi beberapa VNTR dan STR yang umum ditemukan menggunakan primer yang mengapit setiap wilayah repetitif. Panjang fragmen yang diperoleh dari setiap individu untuk masing-masing STR akan menunjukkan alel yang ada. Dengan menganalisis beberapa STR pada seorang individu, satu set alel untuk setiap orang akan cenderung berbeda secara statistik.[15] Para peneliti telah mengidentifikasi urutan genom manusia secara lengkap. Urutan ini dapat dengan mudah diakses melalui situs web NCBI dan telah digunakan untuk banyak hal. Misalnya, FBI telah mengumpulkan sekumpulan situs penanda DNA yang digunakan untuk identifikasi dalam basis data CODIS (Sistem Indeks DNA Gabungan). Basis data ini memungkinkan analisis statistik untuk menentukan probabilitas kecocokan sampel DNA. PCR merupakan alat analisis yang sangat kuat dan signifikan saat digunakan dalam pembuatan profil DNA karena penggunanya hanya memerlukan sedikit DNA target. Misalnya, sehelai rambut manusia dengan folikel yang masih menempel mengandung cukup DNA untuk dianalisis. Sejumlah kecil semen, darah, atau sampel kulit dari bawah kuku juga dapat diambil DNA-nya guna mendapatkan analisis yang konklusif.[15]
  • Penerapan sidik jari DNA yang tidak terlalu diskriminatif dapat membantu dalam pengujian DNA garis ayah, saat DNA seseorang dicocokkan dengan kerabat dekatnya. DNA dari sisa-sisa manusia yang tidak teridentifikasi dapat diuji dan dibandingkan dengan orang lain yang diduga merupakan orang tua, saudara kandung, atau anak-anaknya. Pengujian serupa dapat digunakan untuk mengonfirmasi orang tua kandung dari anak yang diadopsi (atau diculik). Ayah biologis dari bayi yang baru lahir juga dapat dikonfirmasi (atau dikesampingkan).

Penelitian sunting

Pengembangan teknologi sunting

PCR-RFLP sunting

PCR-RFLP merupakan pengembangan paling awal dari reaksi berantai polimerase. Pengembangannya diawali oleh penemuan enzim restriksi. PCR-RFLP bekerja dengan memanfaatkan spesifitas enzim restriksi yang akan memotong DNA sesuai dengan targetnya. Panjang fragmen DNA hasil pemotongan enzim restriksi akan berbeda seiring perbedaan genetik antar kromosom (individu) dan menunjukkan diversitas gen yang ada. PCR-RFLP digunakan dalam studi antropologi molekul untuk aplikasi data polimorfisme. Selain itu, teknik ini digunakan pada kedokteran forensik untuk menentukan dan mengetahui hubungan antarindividu.[32]

PASA sunting

PASA (PCR Ampilification of Specific Alleles) merupakan suatu metode pengembangan reaksi berantai polimerase dengan sifat yang cepat dalam analisis mutasi DNA genomik yang telah diketahui. Teknik ini dikemukakan oleh Newton et al., pada tahun 1989. Nama lain PASA ialah allele-specific PCR (ASPCR) atau Amplification Refracory Mutation System (ARMS). Genotipe dapat dilakukan hanya dengan pemeriksaan campuran reaksi hasil elektroforesis gel agarosa. Metode PASA tidak rumit, nonisotopik dan hasilnya dapat diandalkan. PASA tidak membutuhkan digesti enzim restriksi untuk dapat membedakan heterozigot pada suatu lokus dengan homozigot di dalam salah satu alel. Selain itu, oligonukleotida spesifik alel dan analisis sekuensing dari produk PCR tidak dibutuhkan. Penelitian menggunakan metode PASA dapat dimulai dari polimorfisme mutasi titik apa saja dengan hasil yang sangat cermat. Secara umum, PASA dapat mendeteksi suatu salinan tunggal dari alel mutan dalam 40 salinan normalnya. Teknik ini hanya membutuhkan alel dengan ujung nukleotida 3’ dari primer PCR spesifik . PASA melakukan sintesi dalam dua bentuk primer. Bentuk pertama berupa refraktori terhadap PCR dari cetakan DNA mutan. Bentuk ini dianggap sebagai bentuk normal. Kedua, bentuk mutan refraktori terhadap PCR DNA normal. PASA secara umum digunakan pada penyakit turunan apa saja, karena memiliki kemampuan analisis secara langsung dari lokus mana saja yang diinginkan. Selain itu, PASA mampu melakukan diagnosis prenatal yang akurat dan mampu mendeteksi deteksi heterozigot.[33]

PCR-SSCP sunting

Metode PCR-SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism) dikemukakan pertama kali oleh Orita et al., pada tahun 1989. Alat ini mengambil sedikit bagian dari produk PCR yaitu amplikon, kemudian melakukan denaturasi atasnya, dilanjutkan dengan elektroforesis melalui gel poliakrilamid non denaturasi. Struktur sekunder RNA yang bergantung deret akan terbentuk selama amplikon bergerak melalui gel dan menjauh dari denaturan. Amplikon yang mengandung perbedaan deret substitusional sama halnya akan memiliki mobilitas yang berbeda. PCR-SSCP adalah metode elektroforesis gel yang dapat mendeteksi mutasi dan polimorfisme tetapi tidak dapat mengkarakterisasinya. Prinsip analisis SSCP berdasarkan pada mobilitas elektroforetik molekul dalam matriks gel. PCR-SSCP sensitif terhadap ukuran, muatan, dan bentuk molekul. Pada kondisi nondenaturasi atau kondisi natif, struktur lipatan akan muncul dari interaksi intramolekular yang berdasarkan pada deret nukleotidan DNA untai tunggal. Dalam metode SSCP, target yang diamplifikasi dengan reaksi berantai polimerase berupa deret DNA. Radioisotop digunakan untuk menandai target. Selanjutnya, target didenaturasi, dan dipisahkan dalam bentuk untai tunggal dalam gel poliakrilamid nondenaturasi. Pergeseran mobilitas elektroforetik muncul lebih sering dibandingkan dengan tipe asli dari variasi deret DNA. Kemunculan pita baru dalam autoradiograf yang diperoleh membuat mutasi dapat dideteksi. Metode SSCP hanya membutuhkan teknik keahlian dan instrumentasi minimum karena prinsip kerjanya sangat sederhana bila dibandingkan dengan banyak teknik pemindaian mutasi lainnya.[34]

Metode LAMP sunting

Hasil modifikasi amplifikasi reaksi berantai polimerase menghasilkan metode amplifikasi baru yang disebut metode LAMP. Modifikasi amplifikasi berantai polimerase menjadi metode LAMP hanya dilakukan pada suhu tetap. Bahan yang digunakan berupa empat sampai enam pasang primer gen dengan sekuensing konservasi tinggi pada spesies target.[35]

Sejarah sunting

Metode yang mampu memperbanyak rangkaian DNA dibuat pertama kali oleh Kjell Kleppe dan Gobing Khrana pada 1968. Metode ini dikenal dengan nama reaksi berantai polimerase.[36] Metode ini pertama kali dibuat pada 1985 sebagai bagian dari rangkaian Proyek Genom Manusia.[37] Reaksi berantai polimerase disempurnakan oleh Kary Mullis pada 1986 untuk pengembangan ilmu biologi molekuler, khususnya bagi kedokteran forensik.[38] Mullis memperoleh penghargaan Nobel Kimia pada 1994 berkat temuannya tersebut.[39]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Saiki RK, Scharf S, Faloona F, Mullis KB, Horn GT, Erlich HA, Arnheim N (December 1985). "Enzymatic amplification of beta-globin genomic sequences and restriction site analysis for diagnosis of sickle cell anemia". Science. 230 (4732): 1350–4. Bibcode:1985Sci...230.1350S. doi:10.1126/science.2999980. PMID 2999980. 
  2. ^ Saiki RK, Gelfand DH, Stoffel S, Scharf SJ, Higuchi R, Horn GT, et al. (January 1988). "Primer-directed enzymatic amplification of DNA with a thermostable DNA polymerase". Science. 239 (4839): 487–91. Bibcode:1988Sci...239..487S. doi:10.1126/science.239.4839.487. PMID 2448875. 
  3. ^ Enners, Edward; Porta, Angela R. (2012). "Determining Annealing Temperatures for Polymerase Chain Reaction". The American Biology Teacher. 74 (4): 256–260. doi:10.1525/abt.2012.74.4.9. 
  4. ^ Cheng S, Fockler C, Barnes WM, Higuchi R (June 1994). "Effective amplification of long targets from cloned inserts and human genomic DNA". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 91 (12): 5695–9. Bibcode:1994PNAS...91.5695C. doi:10.1073/pnas.91.12.5695. PMC 44063 . PMID 8202550. 
  5. ^ Carr AC, Moore SD (2012). Lucia A, ed. "Robust quantification of polymerase chain reactions using global fitting". PLOS ONE. 7 (5): e37640. Bibcode:2012PLoSO...737640C. doi:10.1371/journal.pone.0037640. PMC 3365123 . PMID 22701526. 
  6. ^ Joseph Sambrook; David W. Russel (2001). Molecular Cloning: A Laboratory Manual  (edisi ke-3rd). Cold Spring Harbor, N.Y.: Cold Spring Harbor Laboratory Press. ISBN 978-0-879-69576-7.  Chapter 8: In vitro Amplification of DNA by the Polymerase Chain Reaction
  7. ^ "PCR". Genetic Science Learning Center, University of Utah. 
  8. ^ Pavlov AR, Pavlova NV, Kozyavkin SA, Slesarev AI (May 2004). "Recent developments in the optimization of thermostable DNA polymerases for efficient applications". Trends in Biotechnology. 22 (5): 253–60. doi:10.1016/j.tibtech.2004.02.011. PMID 15109812. 
  9. ^ Reviono (2019). Tuberculosis: (UN)stoppable Disease: Deteksi Molekuler untuk Mengungkap Kerentanan TB MDR. Surakarta: UNS Press. hlm. 34. ISBN 978-602-397-291-3. 
  10. ^ Pavlov AR, Pavlova NV, Kozyavkin SA, Slesarev AI (2006). "Thermostable DNA Polymerases for a Wide Spectrum of Applications: Comparison of a Robust Hybrid TopoTaq to other enzymes". Dalam Kieleczawa J. DNA Sequencing II: Optimizing Preparation and Cleanup. Jones & Bartlett. hlm. 241–57. ISBN 978-0-7637-3383-4. 
  11. ^ Pombert JF, Sistek V, Boissinot M, Frenette M (October 2009). "Evolutionary relationships among salivarius streptococci as inferred from multilocus phylogenies based on 16S rRNA-encoding, recA, secA, and secY gene sequences". BMC Microbiology. 9: 232. doi:10.1186/1471-2180-9-232. PMC 2777182 . PMID 19878555. 
  12. ^ "Chemical Synthesis, Sequencing, and Amplification of DNA (class notes on MBB/BIO 343)". Arizona State University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 October 1997. Diakses tanggal 29 October 2007. 
  13. ^ Bustin SA, Benes V, Garson JA, Hellemans J, Huggett J, Kubista M, et al. (April 2009). "The MIQE guidelines: minimum information for publication of quantitative real-time PCR experiments" (PDF). Clinical Chemistry. 55 (4): 611–22. doi:10.1373/clinchem.2008.112797. PMID 19246619. 
  14. ^ a b Garibyan L, Avashia N (March 2013). "Polymerase chain reaction". The Journal of Investigative Dermatology. 133 (3): 1–4. doi:10.1038/jid.2013.1. PMC 4102308 . PMID 23399825. 
  15. ^ a b c d Ninfa, Alexander; Ballou, David; Benore, Marilee (2009). Fundamental Laboratory Approaches for Biochemistry and Biotechnology. United States: Wiley. hlm. 408–10. ISBN 978-0-47008766-4. 
  16. ^ Schnell, S.; Mendoza, C. (October 1997). "Theoretical Description of the Polymerase Chain Reaction". Journal of Theoretical Biology (dalam bahasa Inggris). 188 (3): 313–318. doi:10.1006/jtbi.1997.0473. PMID 9344735. 
  17. ^ Schnell, S.; Mendoza, C. (1997-02-21). "Enzymological Considerations for the Theoretical Description of the Quantitative Competitive Polymerase Chain Reaction (QC-PCR)". Journal of Theoretical Biology (dalam bahasa Inggris). 184 (4): 433–440. doi:10.1006/jtbi.1996.0283. ISSN 0022-5193. PMID 9082073. 
  18. ^ Becker, Sven; Böger, Peter; Oehlmann, Ralfh; Ernst, Anneliese (2000-11-01). "PCR Bias in Ecological Analysis: a Case Study for Quantitative Taq Nuclease Assays in Analyses of Microbial Communities". Applied and Environmental Microbiology (dalam bahasa Inggris). 66 (11): 4945–4953. doi:10.1128/AEM.66.11.4945-4953.2000. ISSN 1098-5336. PMC 92404 . PMID 11055948. 
  19. ^ Solomon, Anthony W.; Peeling, Rosanna W.; Foster, Allen; Mabey, David C. W. (2004-10-01). "Diagnosis and Assessment of Trachoma". Clinical Microbiology Reviews (dalam bahasa Inggris). 17 (4): 982–1011. doi:10.1128/CMR.17.4.982-1011.2004. ISSN 0893-8512. PMC 523557 . PMID 15489358. 
  20. ^ Ramzy, Reda M.R. (April 2002). "Recent advances in molecular diagnostic techniques for human lymphatic filariasis and their use in epidemiological research". Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene (dalam bahasa Inggris). 96: S225–S229. doi:10.1016/S0035-9203(02)90080-5. PMID 12055843. 
  21. ^ Sachse, Konrad (2003). Sachse, Konrad; Frey, Joachim, ed. "Specificity and Performance of Diagnostic PCR Assays". PCR Detection of Microbial Pathogens. Methods in Molecular Biology. Totowa, New Jersey: Humana Press. 216: 3–29. doi:10.1385/1-59259-344-5:03. ISBN 978-1-59259-344-6. PMID 12512353. 
  22. ^ Quill E (March 2008). "Medicine. Blood-matching goes genetic". Science. 319 (5869): 1478–9. doi:10.1126/science.319.5869.1478. PMID 18339916. 
  23. ^ Tomar, Rukam (2010). Molecular Markers and Plant Biotechnology. Pitman Pura, New Delhi: New India Publishing Agency. hlm. 188. ISBN 978-93-80235-25-7. 
  24. ^ a b c Cai HY, Caswell JL, Prescott JF (March 2014). "Nonculture molecular techniques for diagnosis of bacterial disease in animals: a diagnostic laboratory perspective". Veterinary Pathology. 51 (2): 341–50. doi:10.1177/0300985813511132 . PMID 24569613. 
  25. ^ Salis AD (2009). "Applications in Clinical Microbiology". Real-Time PCR: Current Technology and Applications. Caister Academic Press. ISBN 978-1-904455-39-4. 
  26. ^ "Coronavirus: il viaggio dei test". Istituto Superiore di Sanità. 
  27. ^ Kwok S, Mack DH, Mullis KB, Poiesz B, Ehrlich G, Blair D, et al. (May 1987). "Identification of human immunodeficiency virus sequences by using in vitro enzymatic amplification and oligomer cleavage detection". Journal of Virology. 61 (5): 1690–4. doi:10.1128/jvi.61.5.1690-1694.1987. PMC 254157 . PMID 2437321. 
  28. ^ Finger, Horst; von Koenig, Carl Heinz Wirsing (1996). Baron, Samuel, ed. Medical Microbiology (edisi ke-4th). Galveston, TX: University of Texas Medical Branch at Galveston. ISBN 978-0-96311721-2. PMID 21413270. 
  29. ^ Yeh, Sylvia H.; Mink, ChrisAnna M. (2012). "Bordetella pertussis and Pertussis (Whooping Cough)". Netter's Infectious Diseases. Netter's Infectious Diseases. hlm. 11–14. doi:10.1016/B978-1-4377-0126-5.00003-3. ISBN 978-1-43770126-5. 
  30. ^ Hanum; et al. (2018). Morfologi dan Molekuler Padi Lokal Sumatera Selatan (PDF). Palembang: CV. Amanah. hlm. 36. ISBN 978-602-447-191-0. 
  31. ^ Susilowati 2019, hlm. 232.
  32. ^ Maksum, dkk. 2017, hlm. 14-15.
  33. ^ Maksum, dkk. 2017, hlm. 16.
  34. ^ Maksum, dkk. 2017, hlm. 20.
  35. ^ Lisdawati, dkk. (2012). Pedoman Operasional Baku Uji Diagnostik Molekuler: Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP) untuk Deteksi Cepat TB paru (PDF). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. hlm. 16. ISBN 978-602-235-172-6. 
  36. ^ Susilowati 2019, hlm. 233.
  37. ^ Murray, R.K., Granner, D.K., dan Rodwell, V.W. (2009). Biokimia Harper (PDF) (edisi ke-27). Jakarta: EGC. hlm. 89. ISBN 978-979-448-943-7. 
  38. ^ Yudianto, Ahmad (2019). Cell Free Fethal dan Metode Non Invasive dalam Pemeriksaan Identifikasi (PDF). Surabaya: Scopindo Media Pustaka. hlm. 12. ISBN 978-623-6500-10-1. 
  39. ^ Lisdiyanti, Puspita (1997). "Polymerase Chain Reaction: Cara Mudah Memperbanyak DNA" (PDF). Warta Biotek. XI (3-4): 1. ISSN 0215-2835. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-10-16. Diakses tanggal 2021-03-17. 

Daftar pustaka sunting

  1. Maksum, dkk. (2017). Teknik Biologi Molekular (PDF). Sumedang: Alqaprint Jatinangor. ISBN 978-602-6408-21-1. 
  2. Susilowati, Rina Priastini (2019). Kajian Sel dan Molekuler: Hubungannya Dengan Penyakit Pada Manusia (PDF). Banyumas: CV. Pena Persada. ISBN 978-979-3025-78-0. 
  3. Wahyono, Daniel Joko (2017). Diagnosa Molekuler Epstein-Barr: Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring (PDF). Purwokerrto: Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman. ISBN 978-602-1643-47-1. 

Pranala luar sunting