Presidium Dewan Papua

Presidium Dewan Papua (PDP) adalah organisasi resmi masyarakat kesukuan yang pernah ada di wilayah Papua. Dewan ini diklaim merupakan penjelmaan kembali dari Dewan Nugini (Nieuw Guinea Raad) yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda pada Oktober 1961.

Presidium Dewan Papua mewakili sekitar 245 kelompok suku dengan lebih dari 2 juta penduduk asli yang menghuni daerah ini sejak lebih dari 10.000 tahun yang lalu. PDP juga mewakili para transmigran yang dikirim dari berbagai wilayah Indonesia lainnya dalam proyek transmigrasi, khususnya selama pemerintahan Orde Baru.

Organisasi ini pada mulanya didirikan karena adanya gerakan perlawanan rakyat terhadap pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 1-7 Juli 1998. Awal gerakan dimulai dengan menaikkan Bendera Bintang Pagi di seluruh Pulau Papua. Hal ini dipicu karena adanya surat Senator Amerika yang mendesak Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie untuk segera memberikan referendum kepada Timor Leste, Aceh, dan Papua. Alasannya karena ketiga daerah ini tidak jelas status politiknya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Setelah penaikan bendera Bintang Pagi (Morning Star Flag), pada tanggal 7 Juli 1998 pukul 03.00 WIT sekitar 200 lebih jiwa rakyat di Pulau Biak Papua dibunuh oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia). Akibatnya dibentuklah suatu Forum Masyarakat Papua yang diberi nama FORERI Team yang dipersiapkan untuk menghadap Presiden Habibie. Setelah itu Presiden Habibie mengundang 100 tokoh rakyat Papua untuk mendengar secara langsung keluhan rakyat Papua yang disampaikan oleh tim 100 ini. Namun hasil dari tim ini diblokir oleh Pejabat Negara lainnya sehingga menambah emosi Rakyat Papua serta Presiden Habibie pun digusur dari Jabatannya dilarang oleh mencalonkan diri sebagai Presiden ke-4 RI.[butuh rujukan]

Terpilihnya Abdurahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden ke-4 membawa perubahan positif bagi rakyat Papua, misalnya mengizinkan penaikan Bendera Bintang Pagi (bukan Bintang Kejora) asalkan dibawah bendera merah putih, mengizinkan adanya Kongres II Papua yang melahirkan PDP, dan mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Tetapi masa jabatan Gus Dur berlangsung singkat, karena ia dilengserkan oleh parlemen Indonesia dan digantikan oleh Megawati Sukarnoputri.

Hasil dari Komisi Hak Papua (salah satu komisi yang dibentuk Kongres Rakyat Papua pada Mei-Juni 2000 di GOR Jayapura) kemudian diadopsi oleh tim asistensi Otsus untuk kemudian dijabarkan dan menjadi UU Otonomi Khusus Papua.[1]

Kepemimpinan sunting

Pada waktu terbentuknya, PDP dipimpin oleh dua orang ketua, 22 anggota penuh dan 240 wakil dari masyarakat kesukuan di Papua Barat. Untuk kali pertama, jabatan ketua diduduki oleh Tom Beanal (tokoh suku Amungme), dan Theys H. Eluway (pemimpin suku Sentani). Mereka dipilih secara demokratis oleh persidangan umum suku-suku pada 23-26 Februari 2000. Selanjutnya ada tiga orang moderator, yaitu Pdt. Herman Awom, S.Th., Pdt. Dr. Benny Giay, dan Frans Albert Joku. Thaha Alhamid menjadi sekertaris jenderal. Anggota pengurus lainnya adalah Drs. Isack Ayomi, MA, Drs. Don Flassy, MA, Yorrys Raweyai, Muhammad S. Sabuku, Ny. Beatrix Koibur, Pdt. Ketty Yabansabra, Dr. Wilhem Zonggonau, Elieser Awom, John S. Mambor, BA, Fred Suebu, Martinus A. Werimon, Leonard Imbiri, Andy D. Manoby, Yakob Kasimat, Melkianus Mandosir, John O. Ondawame, ditambah 4 orang perwakilan lagi masing-masing dua orang dari Swedia dan Belanda.

Pranala luar sunting

  1. ^ "Sekjen Dewan PapuaThaha Alhamid: Otsus Jalan Menuju Perubahan". SINDOnews.com. 2020-11-04. Diakses tanggal 2023-01-29.