Penyakit autoimun kulit

Penyakit Autoimun Kulit adalah penyakit yang disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan (sistem imun) tubuh pada kulit dimana sel darah putih atau antibodi tubuh yang terlalu kuat sehingga melawan jaringan tubuh sendiri atau protein ekstraselular.[1] Sistem imun tubuh terdiri atas sel darah putih, antibodi, dan substansi lainnya yang berfungsi untuk melawan infeksi atau protein asing. Sistem imun tubuh memiliki kemampuan untuk membedakan sel tubuh sendiri dan sel asing. Namun, pada individu yang terkena penyakit auto-imun, sistem imun kehilangan kemampuan untuk membedakan sel tubuh dengan sel asing sehingga sistem imun akan menyerang sel tubuh sendiri.[1][2] Penyakit autoimun menyerang organ yang bervariasi. Salah satu organ yang dapat diserang pada kasus autoimun adalah kulit. Penyakit autoimun pada lapisan dasar epidermis ditandai dengan kerusakan pada jaringan ikat dan formasi vesikula pada lapisan subepidermis.[3]

Gejala Klinis sunting

 
Pemphigus foliaceus pada anjing: terjadi kerontokan rambut, kulit menjadi merah, dan gatal.

Terdapat berbagai gejala klinis pada kulit akibat penyakit autoimun, diantaranya penyakit kulit, termasuk rasa gatal dan menggaruk yang menetap, lesi, luka, lepuh, dan kerusakan kulit lainnya serta kehilangan pigmen kulit.[2] Terdapat dua kasus penyakit autoimun yang sering ditemukan yaitu Discoid lupus erythematosus (DLE) dan Pemphigus. Discoid lupus erythematosus dapat berkembang menjadi Systemic Lupus Erythematosus (SLE).[4]

Tahap awal DLE ditandai kehilangan pigmen kulit, kulit menjadi merah, dan luka pada hidung.[4] Palatum-nasale yang seharusnya kasar menjadi halus, selain itu dapat terjadi erosi, ulserasi, dan luka pada palatum nasale, nostril, cuping hidung, sekitar mata dan telinga.[4] Bekas-bekas luka dapat ditemukan pada kasus kronis dan parah.[4]

Lesi Pemphigus vulgaris biasanya sangat jelas ditemukan pada rongga mulut.[4] Kadang kala gejala ditandai dengan limpadenopati, tidak mau makan, kelemahan, demam dan sepsis.[4] Pemphigus foliaceus biasanya menyerang telinga dan wajah.[4] Gejala awal ditandai dengan depigmentasi pada palatum nasale, celah pada dorsal mulut, periokular dan telinga, gatal, rasa sakit dan kelemahan tubuh dapat ditemukan pada kasus-kasus tertentu [4]

Proses Kejadian Penyakit sunting

Terdapat dua mekanisme toleransi sistem imun.[3] Mekanisme pertama yaitu seleksi secara positif oleh timus, dimana yang dipilih hanya sel T yang dapat mengenali peptida pada molekul Histocompatability Complex (MHC).[3] Mekanisme kedua yaitu seleksi negatif, dimana sel T yang mengenali antigen-sendiri dengan afinitas yang terlalu tinggi dihapus melalui proses apoptosis dan tidak diizinkan untuk memasuki sirkulasi tubuh. Mekanisme yang menginduksi sistem autoimun pada kulit berkaitan dengan MHC dan gen apoptosis.[3]

Beberapa mekanisme yang berkaitan dengan penyakit autoimun pada kulit yaitu:[3]

  1. pelepasan antigen asing
  2. keberadaan faktor samar dari protein intraselular selama proses inflamasi
  3. aktivasi Sel T yang diinduksi oleh keberadaan antigen sendiri
  4. mimikri molekular oleh fragmen peptida tertentu oleh agen infeksius terhadap protein induk
  5. reaksi imunologis melawan antigen-sendiri yang dimodifikasi.

Diagnosa sunting

Penyakit autoimun dapat didiagnosa berdasarkan keluhan penderita, gejala klinis, hasil sitologi, hasil mikrobiologi yang umumnya negatif terhadap jamur dan bakteri, berbagai diagnosa imunologis, dermatohistopatologi, dan demonstrasi autoantibodi pada jaringan.[5] Diagnosa penyakit autoimun sebaiknya dilakukan dengan biopsi.[4] Biopsi ini biasanya dilakukan apabila hasil kerokan kulit negatif terhadap infeksi bakteri dan fungi, serta hewan telah diberikan terapi antibiotik namun luka tanpa mikroorganisme tetap ditemukan pada pemeriksaan ulang sesudah terapi.[4] Dalam melakukan biopsi, hal-hal yang harus diperhatikan yaitu pemilihan lesi yang tepat, teknik biopsi, dan interpretasi biopsi.[4] Demonstrasi keberadaan autoantibodi pada kulit melalu teknik pewarnaan imunoflorosen merupakan teknik yang bermanfaat namun umumnya tidak terlalu diperlukan.[5]

Terapi sunting

Konsep terapi penyakit autoimun kulit yaitu mengontrol penyebab respon sistem autoimun (tahap induksi) atau mengontrol efek dari penyakit autoimun (tahap peradangan).[5] Kontrol terhadap komponen penginduksi biasanya merupakan obat-obat sitotoksik, seperti agen alkil atau antimetabolit, serta glukokortikoid pada dosis tinggi dalam waktu lama.[5] Pemberian dosis tinggi dapat mengurangi efek negatif akibat pemberian obat dalam jangka panjang, misalnya akibat glukokortikoid.[5] Beberapa obat yang sering digunakan untuk terapi penyakit autoimun kulit, yaitu glukokortikoid, obat sitotoksisk, azathioprine, krisoterapi, siklosporin, tetrasiklin, doksisiklin, niasinamid.[5]

Glukokortikoid merupakan obat yang paling sering digunakan dalam terapi penyakit autuimun kulit.[5] Contoh golongan ini yaitu prednisone dan prednisolon.[5] Glukokortikoid bekerja pada reseptor yang memparalisiskan makrofaga, menghambat kemotaksis sel radang terhadap jaringan, dan bekerja berlalawanan terhadap autoantibodi.[5] Beberapa efek samping pemberian glukokortikoid yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, luka pada lambung, radang pankreas, dan infeksi sekunder.[5]

Contoh obat sitotoksik yaitu agen alkil (misalnya siklofosfamida, Klorambusil) dan antimetabolit yang digunakan untuk menurunkan produksi antibodi.[5] Klorambusil lebih sering digunakan dibandingan Siklofosfamida karena memiliki efek samping yang lebih ringan. Azathioprine merupakan agen anti-metabolit (analog dengan purin).[5]

Krisoterapi menggunakan garam emas. Emas mengkonjugasi substrat lain seperti gula.[5] Emas dapat menghambat kemotaksis sel radang, menurunkan produksi antibodi, menghambat komplemen pengaktivasi, dan menurunkan fagositosis.[5] Efek sampingnya dapat berupa eritrema, eosinofilia, dan trombositopenia.[5] Siklosporin merupakan makrolida fungal yang menghambat aktivasi interleukin-2.[5] Efek sampingnya berupa radang lambung dan usus, gingival hiperplasia, papillomatosis, nefrotoksikosis, dan infeksi sekunder.[5]

Tetrasiklin menekan kemotaksis leukosit dan sinergis dengan Niasinamid.[5] Niasinamid menghambat IgE-mediated mast cell degranulation dan menurunkan pelepasan protease oleh leukost.[5] Doksisiklin dapat berfungsi sebagai imunomodulator.[5] Kombinasi ini sangat baik dan relatif murah, tetapi tidak dianjurkan untuk kasus penyakit autoimun yang parah.[5] Kombinasi terapi ini dianjurkan pada kasus yang ringan, seperti diskoid lupus dan lupoid onikodistrofi.[5]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b (Inggris) Autoimmune Disorders (Auto-immune) Alternative Veterinary Medicine Centre Information Sheet
  2. ^ a b (Inggris) Auto-immune Diseases[pranala nonaktif permanen]
  3. ^ a b c d e (Inggris) Papadogiannakis EI. 2005. Contemporary aspects of the immunopathogenesis of autoimmune diseases of the epidermal basement membrane in the dog. The Journal of the Hellenic Veterinary Medical Society 56(1) p 27-31.
  4. ^ a b c d e f g h i j k (Inggris) Immune-mediated Skin Diseases. Rimini: 50th Congresso Nazionale Multisala SCIVAC
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v (Inggris) Noxon JO. 2008. Diagnosis And Management Of Autoimmune Skin Disease. Iowa: College of Veterinary Medicine, Iowa State University.