Dominasi Mataram di Parahyangan

Budaya Jawa (Jawa: ꦧꦸꦣꦪꦗꦮ) adalah budaya yang berasal dari pulau Jawa bagian tengah dan timur dan dianut oleh masyarakat etnis Jawa, khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Budaya Jawa secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 yaitu budaya Banyumasan, budaya Jawa Tengah-DIY (Mataraman), dan budaya Jawa Timur. Budaya Jawa juga sangat menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Parahyangan atau Parahiyangan (Sunda: ᮕᮛᮠᮡᮀ​​ᮠᮔ᮪) atau Priangan (Belanda: Preanger) adalah wilayah budaya dan pegunungan di provinsi Jawa Barat di Pulau Jawa, Indonesia.[1] Wilayah ini berbatasan langsung dengan kawasan berbudaya Jawa di sebelah timur, sehingga sering terjadi percampuran budaya antara Jawa dan Sunda.

Akulturasi kebudayaan sunting

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa. Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah kembali ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian budaya itu sendiri.[2]

Secara etimologi, istilah akulturasi berasal dari bahasa Latin, yaitu acculturate yang berarti 'tumbuh dan berkembang bersama'. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[3]

Pada mulanya di Priangan hanya terdapat dua daerah yang berdiri sendiri, yaitu Sumedang dan Galuh. Tahun 1595, Galuh ditaklukan oleh Mataram di bawah pemerintahan Panembahan Senopati. Setelah kekuasaan Mataram beralih ke tangan Sultan Agung, Sumedang pun menyerahkan diri kepada Mataram. Pasca pemberontakan Dipati Ukur, berdasarkan Piagam Sultan Agung, Priangan di luar Galuh terdiri dari Sumedang, Sukapura, Bandung, dan Parakan Muncang.

Setelah Sumedanglarang menguasai Tatar Sunda, kerajaan ini menjadi bawahan Kerajaan Mataram. Hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, mereka sepakat untuk berkoalisi menghadapi Banten dan Belanda serta Cirebon. Kedua, Suryadiwangsa, putra Geusan Ulun dari Harisbaya menyerah tanpa perang kepada Mataram terkait peristiwa Madura. Mataram semakin kuat karena penguasa Sumedanglarang setelah Geusan Ulun yaitu Raden Suriadiwangsa pada tahun (1620) datang ke Mataram menemui Sultan Agung untuk menyatakan pengakuan bahwa Sumedang menjadi bawahan Mataram, karena ia takut Mataram akan menyerang Sumedang. Salah satu dampak dari kekuasaan Mataram di Tatar Sunda adalah mulai berubahnya corak produksi. Jika sebelumnya corak produksi masyarakat Sunda cenderung berladang, membangun huma, dan sekaligus berpindah-pindah, maka kekuasaan Jawa mengenalkan corak produksi sawah yang menetap.

Dampak perubahan corak produksi itu membuat egaliterianisme sosial dalam masyarakat ladang berpindah karena memerlukan kerja-kerja komunal yang penuh gotong royong dalam suatu sistem kekerabatan, digantikan oleh hierarki sosial yang makin tegas. Hierarki sosial itu ditegaskan secara konkrit, salah satunya, melalui bahasa. Bahasa Sunda yang sebelumnya tidak mengenal stratifikasi, pelan-pelan mulai mengenal tingkatan yaitu halus, sedang, dan kasar. Hal ini melanjutkan, atau mencerminkan, hierarki bahasa yang juga sudah lebih dulu dikenal di pusat-pusat kekuasaan Mataram di Jawa.[4][5][6]

Mikihiro Moriyama, Guru Besar Department of Asian Studies Nanzan University, Jepang, dalam bukunya yang berjudul "Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, 2005:16-18", mangatakan; “Orang-orang Sunda sangat terpengaruh kebudayaan Jawa setelah pada abad ke-17 mereka ditaklukkan oleh tetangganya, raja Jawa dari Mataram. Bukan hanya ranah kesenian, tapi juga administrasi pemerintahan, gaya hidup, dan bahasa yang terkena dampaknya, selama hampir dua ratus tahun kesusastraan Sunda berkembang menurut estetika Jawa. Kendati kekuasaan Mataram tidak bersifat langsung, namun korespondensi penguasa di Priangan dengan Mataram berlangsung dalam bahasa Jawa yang sudah mengenal hierarki. Bahasa Jawa yang hierarkis itu dianggap perlu dikuasai dan bahkan menjadi ukuran kebangsawanan seseorang.[7]

Kaum menak Sunda mengikuti tradisi literasi yang digunakan bangsawan Jawa. Aksara Jawa digunakan untuk menulis korespondensi di kalangan menak, menulis laporan resmi kepada penguasa Mataram, lalu VOC dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Para menak Sunda menggunakan bahasa Jawa karena pertimbangan gengsi.[8]

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sejarawan dari Universitas Padjajaran, Bandung, Nina Herlina Lubis. Menurutnya, setelah Mataram berkuasa di Tatar Sunda, tentunya Mataram sangat berpengaruh terhadap Sunda baik itu dalam kebudayaan, kesusastraan maupun kesenian. Salah satunya administrasi pemerintahan, yang mana berubahnya tata Kerajaan menjadi kabupaten yang disebut 'Kabupatian Wedana'.

Konsep kekuasaan Jawa masuk ke dalam kepemilikan Sunda. Bahkan setelah kekuasaan Mataram berakhir, pengaruh ini masih tampak nyata. Dalam berbagai sumber histografi tradisional banyak disebut konsep pulung atau wahyu sebagai asal kekuasaan. Selain itu, Mataram berpengaruh pada bahasa. Bahasa tulisan resmi menggunakan bahasa Jawa sedangkan bahasa lisan menggunakan bahasa Sunda.

Tidak dapat dipungkiri, pengaruh budaya terhadap bahasa Sunda masih kental mewarnai sampai saat ini, seperti adanya tingkatan penggunaan bahasa. Berbicara tentang bahasa dalam Sunda terdapat Undak Usuk Bahasa Sunda (UUBS bersumber dari bahasa Jawa yang bermula dari imperialisme yang dilakukan Mataram terhadap Sunda. Mayoritas para ahli bahasa Sunda memandang bahwa bahasa Sunda yang asli tidak mengenal undak usuk. Tidak sedikit kebudayaan Jawa yang masuk ke dalam budaya Sunda, termasuk dalam hal aksara, bahasa, berikut undak-usuk, tentunya.

Albert Frederik Aalbers, seorang peneliti Belanda yang bermukim dan mempelajari sastra Sunda di Cianjur pada 1884 M, mengatakan; "Ketika awal interaksi orang Belanda dengan masyarakat Sunda terjadi, bahasa Sunda sudah "rusak" akibat pengaruh bahasa Jawa Mataram dan bahasa Melayu. Pendapat lain juga menyebutkan sejak abad ke-17 hingga abad ke-19 orang-orang Eropa masih mengalami kebingungan untuk menempatkan bahasa Sunda. Mereka menganggap bahasa di barat Pulau Jawa adalah salah satu dialek bahasa Jawa, sehingga disebut sebagai bergjavaans (bahasa Jawa gunung), karena banyak dituturkan oleh orang-orang yang berada di pegunungan. Sementara bangsawannya menggunakan bahasa yang lebih halus atau lebih terpengaruh bahasa Jawa."[9]

Pada 1815, "Andries De Wilde" memperkenalkan bahasa Sunda ke masyarakat, De Wilde adalah orang pertama yang menyusun kamus bahasa Sunda. Hasil karyanya "Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek: benevens Twee Stukken tot Oefening in het Soendasch (1841)", atau Kamus Belanda-Melayu dan Sunda: beserta Dua Contoh Pemakaian Bahasa Sunda.

Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur. Sedangkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De Wilde. Namun, setelah tradisi cetak dalam bahasa Sunda diperkenalkan dan diproduksi, bahasa dan aksara Jawa tetap digunakan sampe akhir abad ke-19, oleh kalangan menak Sunda, termasuk di lingkungan R.H. Moeh. Moesa, ayahnya Kartawinata.

Dalam buku kumpulan surat yang disusun oleh Danoeredja, Serat-Sinerat (1884), Djaman Djoemenengan Raden Hadji Moehamad Moesa (1929). Di dalamnya disajikan 17 tulisan yang terdiri dari 3 pidato, 2 tulisan lepas, 1 catatan perjalanan, dan 11 surat dari Moehammad Moesa dan anggota keluarganya beserta balasannya. Kesemuanya ditulis dalam bentuk dangding atau geguritan, 4 tulisan berbahasa Jawa dan 13 tulisan menggunakan bahasa Sunda.

Cacarakan sunting

Cacarakan adalah sebutan untuk aksara Jawa yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Sunda yang terutama pernah digunakan di wilayah yang sekarang merupakan bekas keresidenan Priangan.[10] Jenis aksara seperti ini sempat digunakan untuk menulis bahasa Sunda terutama dialek Priangan pada sekitar abad ke-18 sampai awal abad ke-20.[11] Sekarang, aksara ini sudah tidak digunakan lagi dan keberadaannya tergantikan oleh aksara Sunda Baku.[12][13]

Penamaan aksara Cacarakan menjadi aksara Sunda berasal dari buku karangan G.J. Grashuis berjudul “Handleiding voor Aanleren van het Soendaneesch Letterschrift” (Buku Petunjuk untuk Belajar Aksara Sunda) yang terbit tahun 1860 dan berisi pedoman untuk menuliskan bahasa Sunda dengan menggunakan aksara Cacarakan. Dalam perkembangannya, oleh karena itu, aksara Cacarakan disebut pula aksara Sunda. Jadi penamaan tersebut dimulai oleh Grashuis, seorang Belanda yang mempelajari dan menulis buku tentang bahasa Sunda. Dalam hal aksara Cacarakan persentase hasil kreasi orang Sunda hanya sebesar 10%, yakni berupa pengurangan aksara dan sistem pengaksaraannya sesuai kekhasan lafal/bunyi bahasa Sunda.

Gamelan sunting

Referensi sunting

  1. ^ Lentz, Linda (2017). The Compass of Life: Sundanese Lifecycle Rituals and the Status of Muslim Women in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Carolina Academic Press. hlm. 49. ISBN 978-1-61163-846-2. 
  2. ^ Koentjaraningrat. Pengantar. Antropologi Sosial dan Budaya.
  3. ^ Sukidin. Basrowi. Agus wiyaka. Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Insan Cendekia, 2003. Hal 4-5.
  4. ^ A. Sobana Hardjasaputra. (2004). Seri Sundalana: Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.[1]
  5. ^ Pusat Studi Sunda. (2004). Seri Sundalana 3: Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.[2]
  6. ^ Suganda, Her. (2015). Kerajaan Galuh: Legenda, Takhta, dan Wanita. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama. ISBN978-979-8003-67-7
  7. ^ Mikihiro Moriyama. (2005: 16 - 18). Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN9799100232, 9789799100238[3]
  8. ^ Mikihiro Moriyama. (2013). Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN978-602-9402-26-1
  9. ^ Tom van den Berge. Van Kennis tot Kunst: Soendanese Poezie in de Koloniale Tijd, 1993: 13-17.
  10. ^ Permadi 2019, hlm. 262.
  11. ^ Ruhailah 2010, hlm. 49.
  12. ^ Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 343/SK.614-Dis.PK/99
  13. ^ Republik Indonesia 2014.