Pedati Gede Pekalangan

Pedati Gede Pekalangan merupakan satu dari dua kereta besar penganglut barang yang sisa kerangkanya masih bisa terlihat.[1] Sistem rakitan yang digunakan pada pedati Gede Pekalangan adalah sistem bongkar pasang sehingga ukuran panjang pedati bisa disesuaikan dengan kebutuhan daya angkut barang.

Pada tahun 1993, Herman De Vost (mantan direktur museum kereta-kereta istana di Leiden, Belanda) melakukan konservasi terhadap pedati Gede Pekalangan, menurut Herman de Vost, dari hasil penelitiannya panjang pedati Gede Pekalangan adalah 15 meter, lebar 2,5 dan tinggi 3 meter, pedati menggunakan roda sebagai alat geraknya dengan jumlah 12 roda (6 pasang), 6 roda berdiameter 2 meter dan 6 roda yang lainnya yang berukuran lebih kecil berdiameter 1,5 meter, roda pedati dihubungkan oleh semacam as yang terbuat dari kayu bulat berdiameter 15 cm, as ini kemudian dimasukkan ke dalam poros roda yang terbuat dari kayu, menurut almarhum bapak Sudjana (budayawan Cirebon) untuk memperlancar perputaran diporosnya maka digunakanlah getah damar sebagai pelumas.

Herman de Vost mengakui bahwa pedati Gede Pekalangan merupakan maha karya asli dari kebudayaan Cirebon.[1]

Sejarah

sunting

Berdasarkan catatan sejarah dari Belanda yang diterbitkan pada tahun 1931 dengan judul Gedenk Boek der Gemeente Cheribon 1906-1931 dikatakan bahwa pedati Gede Pekalangan dikemudikan dan dirawat oleh seorang juru mudi yang bernama Syeh Maulana yang oleh masyarakat adat Cirebon dikenal dengan nama Syeh Maulana dari Yaman yang bergelar Ki Gede Pekalangan.[1]

Berdasarkan catatan yang pelajari oleh Chairul Salam dan almarhum Elang Yusuf Dendbrata (keluarga kesultanan Kacirebonan yang juga ahli kereta keraton) keduanya sepakat bahwa pedati Gede Pekalangan dibuat pada masa pangeran Walangsungsang yakni pada sekitar tahun 1371[2] Saka (1449 masehi), pedati Gede Pekalangan juga dipergunakan sebagai media dakwah Islam[3] di wilayah pantai utara hingga ke Tegal.

Pada masa pemerintahan Sultan Cirebon kedua yakni Sunan Gunung Jati sekitar tahun 1480, pedati Gede Pekalangan masih digunakan untuk mengangkut bahan bangunan untuk membangun Masjid Agung Sang Cipta Rasa[2]

Pada sekitar tahun 1500an yaitu pada masa pemerintahan Sultan Cirebon Pangeran Mas Zainul Arifin, kesultanan Cirebon memperbolehkan masyarakat untuk membuat pedati-pedatinya sendiri dengan mencontoh teknologi yang digunakan pada pedati Gede Pekalangan.[2]

Pada tahun 1907, pedati Gede Pekalangan pernah terbakar hingga setengah bagiannya hilang[1] sehingga panjangnya hanya menyisakan 8,9 meter.

Almarhum bapak Sudjana berpendapat bahwa pedati Gede Pekalangan merupakan pedati rujukan (bahasa Cirebon: Babone pedati) yang muncul kemudian di Jawa.[2]

Perawatan dan penjagaan

sunting

Perawatan dan penjagaan pedati Gede Pekalangan dilakukan oleh masyarakat Pekalangan dan juga keluarga juru kunci turun temurun yang telah dipercaya oleh pihak kesultanan Kasepuhan[4]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d "Wachid, Yatna Supriatna. 2015. Pedati Gede Cirebon. [[kota Cirebon|Cirebon]]: Dinas Pemuda, Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-02. Diakses tanggal 2016-05-31. 
  2. ^ a b c d Widjianto, Pudjo. 2010. Pedati Gede. Jakarta: Kompas
  3. ^ Ibrahim, Muchataruddin, Julinar Said, Espita Riama, Andi Maryam. 1999. Ensiklopedia Tokoh Kebudayaan Nasional IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
  4. ^ "Priyono, Dimas. 2015. Pedati Gede Pekalangan Kereta Pedati Terbesar di Dunia. Jakarta: Forum Kompas.com". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-08. Diakses tanggal 2016-05-31.