Parahyangan

wilayah geobudaya di Indonesia

Parahyangan (Sunda: ᮕᮛᮠᮡᮍᮔ᮪, Parahyangan) bisa disebut juga sebagai Priangan atau Preanger (Belanda: Preanger) adalah wilayah geobudaya dan pegunungan yang berpusat di provinsi Jawa Barat di Pulau Jawa, Indonesia.[1]

Perkebunan teh di Goalpara, Sukabumi utara pada tahun 1923

Di sebelah barat, wilayah ini berbatasan dengan provinsi Banten, sebelah utara berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta dan wilayah pesisir utara Jawa Barat, sebelah timur berbatasan dengan Sungai Pemali dan Serayu di provinsi Jawa Tengah, dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia.

Etimologi sunting

Nama "Parahyangan" berasal dari Bahasa Sunda yang berarti "tempat tinggal para hyang (dewa)". Parahyangan secara spesifik adalah daerah sekitar pegunungan di selatan Jawa Barat dimana orang Sunda terdahulu mempercayai gunung-gunung sebagai tempat bersemayamnya para dewa.[2]

Legenda Sangkuriang dalam budaya Sunda berisi catatan mengenai danau purba prasejarah di dataran tinggi cekungan Bandung, yang menunjukkan bahwa orang Sunda sudah mendiami wilayah tersebut sejak zaman batu.[3] Pepatah dan legenda Sunda populer lainnya menyebutkan tentang terciptanya dataran tinggi Parahyangan terjadi ketika para hyang (dewa) sedang tersenyum, yang secara tersirat menunjukkan keindahan alam di wilayah ini.[4]

Salah-satu layanan kereta api jarak jauh dari PT. KAI untuk rute Jakarta dan Bandung dinamakan Kereta Api Parahyangan. Sejak bulan April 2010, layanan kereta api ini digabung dengan layanan Argo Gede menjadi Argo Parahyangan.[5]

Sejarah sunting

Wilayah Parahyangan telah menjadi rumah bagi manusia purba sejak zaman prasejarah (setidaknya sejak 9500 SM).[6] Ada beberapa temuan arkeologi prasejarah pemukiman manusia purba, di gua Pawon di kawasan karst Padalarang, Bandung Barat, dan di sekitar danau Bandung purba.[7][8]

Reruntuhan Candi Bojongmenje yang ditemukan di daerah Rancaekek, sebelah timur Kota Bandung menunjukkan bahwa candi ini dibangun dari awal abad ke-7 masehi, sekitar periode yang sama atau bahkan lebih awal dari candi Dieng di Jawa Tengah.[9]

Rujukan sejarah tertua yang tertulis di wilayah Parahyangan berasal dari sekitar abad ke-14, ditemukan dalam Prasasti Cikapundung, di mana wilayah tersebut pernah menjadi salah satu pemukiman dalam wilayah Kerajaan Sunda.[10] Parahyangan adalah bagian dari Kerajaan Sunda dan Galuh yang lampau, dimana kedua kerajaan tersebut dibatasi oleh Sungai Citarum.[11] Di masa kerajaan Hindu-Buddha, wilayah pegunungan di pedalaman Parahyangan dianggap sebagai tempat suci dalam kepercayaan Sunda Wiwitan. Terdapat bebrapa kabuyutan (pusat keagamaan) atau mandala (pusat suci) yang disebutkan dalam teks Sunda kuno dan terletak di beberapa tempat di dataran tinggi Parahyangan, dimana salah-satu letaknya mungkin berada di Jayagiri, sebelah utara Kota Bandung di lereng Gunung Tangkuban Parahu.[12]

Setelah jatuhnya Kerajaan Sunda di abad ke-16, sebagian besar Parahyangan masuk dalam wilayah Kerajaan Sumedang Larang, dengan pengecualian daerah sebelah barat Sungai Cisadane yang dikuasai Kesultanan Banten serta daerah Galuh dan Talaga yang dikuasai Kesultanan Cirebon.[13][14] Kedua kesultanan tersebut sepakat untuk membagi pengaruh di Parahyangan dengan sungai Citarum sebagai batasnya.[15] Pada tahun 1617, Sultan Agung dari Mataram melancarkan kampanye militer di seluruh Jawa dan mengajak Kesultanan Cirebon untuk bergabung dengan Mataram. Pada tahun 1618, pasukan Mataram menaklukkan Ciamis, lalu Sumedang Larang dibawah raja Kusumadinata III menyatakan bergabung dengan Mataram di tahun 1620.[16] sehingga Mataram menguasai sebagian besar wilayah Parahyangan. Wilayah ini lalu diperintah oleh para pangeran ménak (bangsawan Sunda di era Mataram) seperti dari Cianjur, Sumedang, dan Ciamis.[17] Para pangeran ini kekuasaanya diakui oleh Mataram sebagai pewaris sah daerahnya masing-masing dikarenakan adanya klaim bahwa mereka masih keturunan dari raja-raja Sunda seperti Prabu Siliwangi.[18] Meskipun kekuasaan yang dominan di bagian barat pulau Jawa saat itu dipegang oleh Kesultanan Banten dan Cirebon, para bangsawan Sunda di dataran tinggi Parahyangan relatif menikmati kebebasan dan otonomi internal karena adanya pengakuan dan perlindungan dari Mataram. Namun bersamaan dengan berkuasanya Mataram di wilayah ini, Pengaruh budaya Jawa di Parahyangan mulai masuk dan bercampur dengan budaya asli di wilayah ini.

 
Daerah-daerah Gobudaya di Jawa Barat
  Bodebek
  Purwasuka
  Ciayumajakuning

Pada tahun 1630 Sultan Agung mendeportasi penduduk asli Parahyangan ke timur setelah ia dapat menumpas pemberontakan Dipati Ukur di daerah tersebut.[19] Dipati Ukur adalah pemimpin daerah Tatar Ukur (Cekungan Bandung) yang memberontak terhadap Mataram setelah penyerbuan Mataram atas Batavia yang kedua kali mengalami kegagalan.[20]

Kesultanan Mataram terlibat perebutan wilayah di Parahyangan dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang berpusat di Batavia. Mataram secara bertahap melemah setelah melalui Konflik suksesi para pangeran Jawa dan keterlibatan VOC dalam urusan internal istana Mataram. Untuk mengamankan posisinya, raja Mataram saat itu Pakubuwana I membuat konsesi yang signifikan dengan VOC melalui Perjanjian tahun 1705 dimana Mataram menyerahkan banyak wilayahnya yang semula ditaklukan oleh kakeknya Sultan Agung, termasuk Parahyangan sebagai imbalan kepada VOC yang telah membantu menumpas Pemberontakan Trunajaya.[21] Oleh karenanya sejak awal abad ke-18, Parahyangan berada di bawah kekuasaan Belanda, dimana kebijakan tanam paksa di wilayah ini yang dikenal dengan nama Preangerstelsel mulai diberlakukan VOC di tahun 1720.[22][23]

Setelah Parahyangan berpindah kuasa kepada Belanda, wilayah ini lalu mulai dikenal sebagai De Preanger pada masa pemerintahan kolonial. Parahyangan menjadi suatu keresidenan tersendiri di tahun 1818 dengan ibu kotanya yang mula-mula terletak di Tjiandjoer (Cianjur) yang kemudian dipindahkan ke Bandung setelah adanya banyak gempa dan terjadinya letusan Gunung Gede di tahun 1864.[24] Bandung sebagai ibu kota keresidenan baru lambat laun berkembang menjadi pusat pemukiman yang penting.[25] Pada abad ke-19, Belanda telah menguasai sebagian besar Jawa. Melalui adanya pembangunan Jalan Raya Pos oleh Daendels yang menghubungkan kawasan perkebunan Preanger dengan pelabuhan Batavia dan banyak daerah lain di Jawa, Preanger menjadi wilayah yang terbuka untuk investasi, eksploitasi, dan bisnis.[26] Keresidenan Preanger lalu menjadi kawasan perkebunan yang penting dan produktif di zaman Hindia Belanda yang menghasilkan kopi, teh, kina, dan banyak tanaman komersial yang menguntungkan banyak pemilik perkebunan Belanda yang dikenal dengan nama Preanger Planters.[16][27]

Kopi Jawa yang dikenalkan ke seluruh dunia oleh Belanda, sebenarnya adalah kopi yang ditanam di wilayah Preanger. Pada awal abad ke-20, Bandung berkembang menjadi pemukiman penting dan kota terencana. Bandung sebelum perang dirancang sebagai ibu kota baru Hindia Belanda, meskipun Perang Dunia II mengakhiri rencana ini. Setelah Indonesia merdeka, Parahiyangan dianggap sebagai nama sejarah yang romantis untuk kawasan pegunungan di Jawa Barat yang mengelilingi Bandung.

Geografi sunting

 
Wilayah Parahyangan menurut penuturan Bahasa Sunda dialek Priangan (hijau)

Wilayah Parahyangan yang sesungguhnya meliputi hampir seluruh dataran tinggi di Jawa Barat. Tetapi karena perbedaan segi dialek dan budaya maka wilayah Parahiyangan saat ini umumnya meliputi pegunungan tengah dan selatan Jawa Barat saja. Wilayah yang umumnya dimasukkan kedalam Parahiyangan adalah Bandung Raya (meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi), Banjar, Cianjur, Sukabumi, Bogor selatan, Sumedang, Ciamis, Purwakarta, Subang selatan, Garut, dan Tasikmalaya.

Pegunungan sunting

Sesuai dengan namanya, kawasan ini mempunyai banyak gunung ternama seperti Tangkuban Perahu (Bandung, Subang), Ciremai (Kuningan, Majalengka), Gede-Pangrango (Sukabumi, Bogor, Cianjur), Salak (Bogor, Sukabumi), Cikuray (Garut), dan Papandayan (Garut).

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Lentz, Linda (2017). The Compass of Life: Sundanese Lifecycle Rituals and the Status of Muslim Women in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Carolina Academic Press. hlm. 49. ISBN 978-1-61163-846-2. 
  2. ^ Menyelamatkan alam Sunda: dan kajian lainnya mengenai budaya Sunda. Pusat Studi Sunda. 2007. ISBN 978-979-16066-0-8. 
  3. ^ Beta, Toba (2021-02-24). Betelgeuse Incident. Toba Beta Bumi Intitama Sejahtera. 
  4. ^ Kunto, Haryoto (2000). Seabad Grand Hotel Preanger, 1897-1997. Grand Hotel Preanger. 
  5. ^ Riadi, Tri Joko Her. "Bandung Hari Ini: Akhir Perjalanan Kereta Api Parahyangan". BandungBergerak.id. Diakses tanggal 2023-05-01. 
  6. ^ Oris Riswan (1 March 2014). "Tulang jari di Goa Pawon berumur 9.500 tahun lebih". Sindo News. 
  7. ^ "An Extremely Brief Urban History of Bandung". Institute of Indonesian Architectural Historian. Diakses tanggal 2006-08-20. 
  8. ^ Brahmantyo, B.; Yulianto, E.; Sudjatmiko (2001). "On the geomorphological development of Pawon Cave, west of Bandung, and the evidence finding of prehistoric dwelling cave". JTM. Diarsipkan dari versi asli tanggal October 21, 2009. Diakses tanggal 2008-08-21. 
  9. ^ "Candi Bojongmenje". Perpustakaan Nasional Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-08. Diakses tanggal 2022-11-17. 
  10. ^ R.Teja Wulan (9 October 2010). "Prasasti Bertuliskan Huruf Sunda Kuno Ditemukan di Bandung". VOA Indonesia. 
  11. ^ Sudirman, Adi. Ensiklopedia Sejarah Lengkap Indonesia dari Era Klasik Sampai Kontemporer. DIVA PRESS. ISBN 978-602-391-657-3. 
  12. ^ Ekajati, Edi Suhardi (1995). Kebudayaan Sunda: Suatu pendekatan sejarah. Pustaka Jaya. ISBN 978-979-419-192-7. 
  13. ^ Safitri, Dyah; Surtikanti, Ratih; Grataridarga, Niko; Mardiati, Wiwiet (2023-01-13). Naskah Sumber Arsip Statis dengan Narasi Kreatif Tujuan Wisata. uwais inspirasi indonesia. ISBN 978-623-227-951-3. 
  14. ^ Hernawan, Wawan; Kusdiana, Ading (2020-05-12). BIOGRAFI SUNAN GUNUNG DJATI: Sang Penata Agama di Tanah Sunda. LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung. ISBN 978-623-93720-1-9. 
  15. ^ Sanusi, Anwar; Arif, Faisal; Hasyim, Rafan S. (2022-12-26). PERUBAHAN EKSISTENSI SUNGAI DAN PENGARUHNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KOTA CIREBON PADA MASA HINDIA BELANDA TAHUN 1900-1942. Yayasan Wiyata Bestari Samastra. ISBN 978-623-8083-13-8. 
  16. ^ a b Lubis, Nina Herlina (1998). Kehidupan kaum ménak Priangan, 1800-1942. Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. 
  17. ^ Titik balik historiografi di Indonesia. Wedatama Widya Sastra bekerja sama dengan Departemen Sejarah FIB UI. 2008. ISBN 978-979-3258-80-5. 
  18. ^ Riyandi, Rizma (2020-07-01). "Sejarah Menak Terkemuka di Tanah Pasundan (Bag.1) - Ayo Bandung". Sejarah Menak Terkemuka di Tanah Pasundan (Bag.1) - Ayo Bandung. Diakses tanggal 2023-05-01. 
  19. ^ Kiernan, Ben (2008). Blood and Soil: Modern Genocide 1500-2000. hlm. 142. ISBN 9780522854770. 
  20. ^ Ekadjati, Edi S.; Hardjasaputra, A. Sobana; Anggawisastra, Ade Kosmaya; Masduki, Aam (1994-01-01). Empat Sastrawan Sunda Lama. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  21. ^ Lubis, Nina Herlina (2000). Tradisi dan transformasi sejarah Sunda. Humaniora Utama Press. ISBN 978-979-9231-33-8. 
  22. ^ Salura, Purnama (2007). Menelusuri arsitektur masyarakat Sunda. Cipta Sastra Salura. ISBN 978-979-17433-1-0. 
  23. ^ Klein, Jacob Wouter de (1931). Het Preangerstelsel (1677-1871) en zijn nawerking (dalam bahasa Belanda). Waltman. 
  24. ^ "Pemindahan Ibukota Priangan 1864 - Sejarah Bandung". www.sejarahbandung.id. Diakses tanggal 2023-05-01. 
  25. ^ Yulianto, Eko (2020). Geliat kota Bandung: dari kota tradisional menuju modern. Bank Indonesia Institute. ISBN 978-979-8086-60-1. 
  26. ^ Protschky, Susie (2011-01-01). Images of the Tropics: Environment and Visual Culture in Colonial Indonesia (dalam bahasa Inggris). BRILL. ISBN 978-90-04-25360-5. 
  27. ^ "Menyusuri Jejak Preanger Planters". Republika Online. 2016-02-07. Diakses tanggal 2023-05-01. 

Pranala luar sunting

  • Hardjasaputra, A. Sobana (2004). Bupati di Priangan: kedudukan dan peranannya pada abad ke-17 - abad ke-19. Bupati di Priangan dan kajian lainnya mengenai budaya Sunda, hal. 9-65. Pusat Studi Sunda, Bandung.
  • Ajip Rosidi, dkk. (2000). Ensiklopedi Sunda. Pustaka Jaya, Jakarta.