Museum Kayu Wanagama

museum di Indonesia

Museum Kayu Wanagama (Jawa: ꦩꦸꦱꦶꦪꦸꦩ꧀ꦏꦪꦸꦮꦤꦒꦩ, translit. Musiyum Kayu Wanagama) adalah museum khusus yang berhasil didirikan atas gagasan pemikiran yang disampaikan oleh dua orang dosen Universitas Gadjah Mada, yaitu Oemi Hani’in Soeseno dan Etty Suliantoro Sulaiman yang kemudian bekerja sama dengan Perum Perhutani. Gagasan pembangunan museum ini muncul setelah mereka menghadiri kegiatan pameran pada Museum Antropologis di Perancis dan pendirian Jati Centre di Cepu. Pembangunan museum dimulai pada tahun 1995 di kawasan hutan pendidikan Wanagama. Bahan baku bangunan museum berasal dari dua buah rumah kayu buatan tahun 1880 yang disumbangkan oleh Perum Perhutani. Bahan ini diubah menjadi satu bangunan berbentuk rumah panggung. Peresmian Museum Kayu Wanagama dilakukan pada tanggal 8 Agustus 1998 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Muslimin Nasution. Koleksi unggulan dari Museum Kayu Wanagama adalah arca Gupolo yang terbuat dari kayu yang telah berusia 50 tahun.[1]

Sejarah sunting

Pendirian museum kayu Wanagama dirintis oleh para pimpinan Universitas Gadjah Mada dan Perhutani. Pendirian museum ini juga menjadi awal keberadaan Hutan Wanagama. Pembangunan Museum Kayu Wanagama mulai dilakukan pada tahun 1995. Tujuan pembangunan museum ini adalah untuk memperkenalkan kepada masyarakat umum tentang berbagai jenis kayu dan cara pemanfaatannya.[2] Museum ini kemudian diresmikan pada tanggal 8 Agustus 1998 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Menteri Kehutanan Repbulik Indonesia, Muslimin Nasution.[3] Museum Kayu Wanagama berada di Jalan Jogja – Wonosari kilometer 30. Lokasi museum berada di dalam kawasan Hutan Wisata Wanagama, Desa Bunder, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Museum ini dapat dicapai dari arah Kota Yogyakarta yang menuju ke Hutan Wanagama.[4]

Desain sunting

Bentuk bangunan dari Museum Kayu Wanagama adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu.[2] Bahan baku bangunan museum berupa dua buah rumah kayu yang sebelumnya dibuat pada tahun 1880. Bahan ini merupakan sumbangan dari Perum Perhutani. Rumah tersebut kemudian dirombak dan dijadikan sebagai satu bangunan dalam bentuk rumah panggung. Bahan dasar yang digunakan berbeda-beda pada tiap jenis konstruksi bangunan. Bahan bangunan yang digunakan untuk pondasi hingga lantai terbuat dari beton. Bahan bangunan untuk lantai dan dinding adalah kayu. Bahan bangunan untuk pembuatan atap dari genteng adalah tanah. Museum Kayu Wanagama juga menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung yaitu rumah makan, pasar seni, tanaman hutan, pertamanan percobaan, area perkemahan, ruang kelas, asrama, dan gedung serba guna.[3]

Koleksi sunting

Museum Kayu Wanagama memiliki koleksi yang beragam. Koleksinya meliputi berbagai macam perlengkapan rumah, seperti meja dan kursi yang terbuat dari beragam jenis kayu. Pada Museum Kayu Wanagama juga ditemukan barang- barang peninggalan sejarah dari berbagai daerah dan barang-barang pribadi yang pernah menjadi milik tokoh-tokoh penting di Indonesia. Koleksi tersebut seperti meja lurah dari Jepara, Arca Gupolo dari kayu sengon, meja dan kursi mantan Menteri Kehutanan Republik Indonesia yaitu Soedjarwo, fosil kayu jati yang berusia ratusan tahun, Gepyok kayu jati dengan ukiran Jepara, dan berbagai jenis kerajinan tangan yang berbahan kayu lainnya dengan usia yang telah mencapai ratusan tahun.[4]

Referensi sunting

  1. ^ Rusmiyati; et al. (2018). Katalog Museum Indonesia Jilid II. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. hlm. 28. ISBN 978-979-8250-67-5. 
  2. ^ a b "Menyatu dengan Alam di Museum Kayu Wanagama". JogjaSuper : Jasa Transportasi Dan Paket Wisata (dalam bahasa Inggris). 2018-11-26. Diakses tanggal 2020-06-21. 
  3. ^ a b Admin (01-04-2012). "Museum Kayu Wanagama". budaya.jogjaprov.go.id. Diakses tanggal 21-06-2020. 
  4. ^ a b danielkurniawan. "Museum Kayu Wanagama, Mempelajari Hasil Alam (pepohonan dan kayu) Indonesia". Wisata Yogyakarta. Diakses tanggal 2020-06-21.