Museum Asmat

museum di Indonesia

Museum Asmat adalah museum etnografi suku Asmat yang berada di komplek Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur. Pendirian museum dilatarbelakangi ketertarikan orang-orang asing terhadap kekhasan seni ukir Asmat.[1] Keinginan tersebut ditanggapi baik Ibu Tien Soeharto, yang kemudian memprakarsai pendirian Museum Asmat dan meresmikannya pada tanggal 20 April 1986. Berada di atas lahan Taman Bunga Keong Emas dengan luas bangunan 6.500 m², museum ini dapat dicapai melalui dua pintu masuk: berjalan kaki melalui Taman Bunga Keong Emas atau melewati jembatan Taman Aquarium Air Tawar.

Gedung museum mencontoh model rumah Kariwari, rumah pemujaan suku Tobati-Enggros, penduduk asli di tepi Danau Sentani, namun dikembangkan menjadi bangunan berarsitektur modern. Gedung terdiri atas tiga bangunan utama dan dua bangunan penghubung yang masing-masing berbentuk segi delapan, diberi kesan rumah panggung. Setiap bangunan memiliki luas 229,095m² dengan luas penghubung 97,16m².[1] Atapnya berbentuk kerucut tiga setinggi 25 meter berbahan GRC dan pada permukaannya diberi kesan daun rumbia. Di berbagai bagian bangunan diberi ragam hias dengan warna khas Asmat, yakni merah batu bata, putih kapur dan hitam arang.

Koleksi Museum sunting

Ketiga bangunan utama digunakan untuk ruang pameran tetap koleksi museum, sedangkan dua bangunan penghubung sebagian dimanfaatkan untuk ruang pameran tetap dan sebagian lagi untuk ruang administrasi, serta ruang pimpinan museum. Ruang pamer pertama atau A1 bertemakan koleksi suku Asmat dan lingkungannya, misalnya peralatan bekerja, peralatan rumah tangga, pakaian, perhiasan dan juga alat berburu yang terbuat dari tumbuhan dan binatang. Di ruang kedua atau A2 koleksi bertemakan suku asmat dan kebudayaannya, pada ruang ini dipamerkan alat-alat meramu sagu, alat berburu, alat pertahanan dan keamanan serta alat-alat lain. Di ruang terakhir, atau A3 tema koleksinya adalah suku asmat dan kreativitasnya. Pada ruang ini dipamerkan tombak-tombak yang dipenuhi pahatan yang menakjubkan.[1]

Benda-benda pameran berupa benda-benda budaya yang mengandung nilai keperkasaan dan mencerminkan pandangan hidup orang Asmat yang selalu berkait dengan nenek moyang. Ikatan batin dengan nenek moyang itu diwujudkan dalam ukiran perlambang di berbagai benda keseharian. Untuk memudahkan pengunjung memahami kehidupan suku Asmat secara keseluruhan, tata pameran disusun berdasar tema.

Salah satu koleksi yang terkenal adalah Jipai atau piring sagu. Piring ini tercipta sebagai alternatif langkanya tanah liat sehingga sengaja dibuat dari kayu. Piring berbentuk pipih lonjong dan diberi pahatan nenek moyang. Tujuan pemahatan tersebut agar nenek moyang mereka melindungi makanan dari roh-roh jahat. Selanjutnya ada koleksi tengkorak sepasang suami istri. Tengkorak ini diperoleh dari tengkorak yang disimpan suku asmat. Tengkorak tersebut sengaja disimpan sebagai penghargaan kepada orang yang meninggal akibat perang antar suku. Biasanya tengkorak disimpan di bawah bantai, dengan harapan sang arwah dapat menolong permasalah keluarga yang masih hidup.[1]

Tema pameran bangunan pertama berupa Manusia dan Lingkungannya, memamerkan bermacam pakaian adat dan perhiasan, diorama mata pencaharian hidup (menokok sagu), perahu arwah kendaraan roh nenek moyang (wuramon), patung nenek moyang (mbis pole), dan berbagai hiasan perlambang yang menceritakan gejala kehidupan.

Pameran pada bangunan kedua bertema Manusia dan Kebudayaannya, memamerkan peralatan untuk membuat sagu, peralatan berburu, senjata, benda budaya dan upacara, perkusi (tifa), alat musik tiup dari bambu (fu), dan kapak batu (si).

Tema pameran pada bangunan ketiga adalah Manusia dan Hasil Kreatifitasnya, memamerkan seni kontemporer yang merupakan hasil pengembangan pola-pola rancangan seni tradisional. Benda-benda yang dipamerkan berupa hasil seni modern orang Asmat yang mengacu pada permintaan pasar tetapi masih berpijak pada pola rancangan tradisional.

Di samping pameran tetap, Museum Asmat juga menyelenggarakan kegiatan secara berkala dengan tema khusus, misalnya Gelar Lomba Kreasi Tari Gerak Asmat dan Lomba Mewarnai Gambar Ragam Hias Asmat.

Referensi sunting

  1. ^ a b c d Dimyati, Edi (2010). 47 Museum Jakarta. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 85–89. ISBN 978-979-22-5501-0.