Mpu Kuturan

Pendeta besar di Bali

Mpu Kuturan atau Senapati Mpu Rajakerta[1] adalah sebuah nama yang dikenal luas masyarakat Hindu di Bali. Ia hadir di Bali pada masa pemerintahan Udayana Warmadewa dan dikenal melalui sejumlah prasasti yang dikeluarkan oleh raja tersebut. Namun, dalam sejumlah lontar, nama "Mpu Kuturan", tidak menunjuk pada satu sosok melainkan tiga tokoh berbeda yang juga berasal dari masa pemerintahan Majapahit.

Dalam Babad Pasek yang disusun Jro Mangku Ketut Soebandi (2004:20-36), Mpu Kuturan muncul di dua periode terpisah yaitu masa pemerintahan Raja Sri Udayana Warmmadewa tahun çaka 923/1001 Masehi dan pada masa pemerintahan Raja Sri Masula Masuli tahun Caka 1246/1324 Masehi. Dalam lontar Raja Purana Pura Lempuyang, Gamongan, muncul nama Mpu Kuturan bersama keturunan Sri Pasung Grigis dan Sri Jaya Katong sekitar tahun 1324 Masehi, dan banyak opini masyarakat Mpu Kuturan identik dengan Senapati Kuturan (versi Bali).[2]

Tiga tokoh Mpu Kuturan ini dua diantaranya berada dari masa pemerintahan Udayana, dan seorang dari masa Majapahit. Dari masa Udayana, dikenal jabatan Senapati Kuturan yaitu seorang pejabat pemerintahan yang berhubungan dengan "tata kemasyarakatan", dan Mpu Kuturan yang merupakan saudara kandung dari Mpu Baradah. Sementara itu Mpu Kuturan dari Majapahit dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang pembangunan tempat-tempat suci.[3][4]

Di sisi lain, julukan Senapati Kuturan tidak merujuk pada kata "Mpu". Nama ini dipakai sebagai status jabatan pemerintahan. Dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan raja-raja Bali Kuno, Senapati Kuturan muncul dalam berbagai masa pemerintahan, mulai pemerintahan Sri Dharmmodayana Warmadewa (Prasasti Serai çaka 915/993 Masehi) sampai akhir pemerintahan Bali Kuno, Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Prasasti Langgahan çaka 1259/ 1337 Masehi). Selama 344 tahun terdapat tidak kurang dari 18 (delapan belas) jabatan Senapati Kuturan dengan berbagai nama yang menjabat berikut:

  1. De Senapati Kuturan Dyah Kuting (Prasasti Serai çaka 915/993 Masehi, Raja Sri Udayana).
  2. De Senapati Kuturan Dyah Kayop (Prasasti Batur Pura Abang çaka 933/1011 Masehi, Raja Sri Udayana).
  3. De Senapati Kuturan Pu Gawaksa (Prasasti Sembiran çaka 938/1016 Masehi, Raja Sri Ajnadewi).
  4. Sang Senapati Kuturan Mpu Angdona Menang (Raja Sri Ragajaya).
  5. Sang Senapati Kuturan Pu Angurucuk (Prasasti Depa, dan Prasasti Bwahan çaka 1068/1146, Raja Sri Jayasakti).
  6. Sang Senapati Kuturan Wirika Raga (Prasasti Tjampetan çaka 1071/1159 Masehi, Prasasti Sading B çaka 1072/1160 Masehi, Raja Sri Jayasakti).
  7. Sang Senapati Kuturan Pu Jagahita (Prasasti Babandem, Raja Sri Jayasakti).
  8. Sang Senapati Kuturan Pu Angga Menang (Prasasti Dausa, Raja Sri Jayasakti).
  9. Senapati Kuturan Pu Nirjanma (Prasasti Sembiran, Prasasti Kediri, Prasasti Bwahan, Prasasti Sukawana, Prasasti Selat, Prasasti Batunya, Prasasti Cempaga, Prasasti Sukawati, Prasasti Serai, Prasasti Tonja, dll, çaka 1103/1181 Masehi, Raja Jayapangus).
  10. Senapati Kuturan Pu Wahita (Prasasti Pengotan).
  11. Senapati Kuturan Pu Waning Tengah (Prasasti Kintamani D).
  12. Senapati Kuturan Pu Jita Yoga (Prasasti Pengotan D Caka 1103/1181 Maswehi, Raja Sri Jaya Pangus).
  13. Senapati Kuturan Pu Nijasa (Prasasti Pengotan D Caka 1103/1181 Masehi),
  14. Senapati Kuturan Pu Raga Dira (Prasasti Pangsan).
  15. Sang Senapati Kuturan Pu Kandara (Prasasti Pura Kehen B). 27
  16. Sang Senapati Kuturan Pu Bodhisatwa (Prasasti Pengotan AII dan Prasasti Ubung A, Raja Anak Wungsu).
  17. Senapati Kuturan Makakasir Dalang Camok (Prasasti Cempaga çaka 1246/1324 Masehi, dan Prasasti Tumbu çaka 1247/ 1325 Masehi, Prasasti Selumbung çaka 1250/1328 Masehi).
  18. Senapati Kuturan Makakasir Mabasa Sinom (Prasasti Langgahan çaka 1259/ 1337 Masehi, Raja Śri Astasura Ratna Bumi Banten)

Masa Udayana sunting

Dalam pemerintahan Udayana raja dibantu oleh suatu badan penasehat pusat. Dalam prasasti yang tertua (882 M) badan ini disebut dengan istilah "Panglapuan" seperti Somahanda Senapati di Panglapuan. Belakangan penasehat pusat itu disebut dengan "Pakiran-kirani jro makabaihan" yang beranggotakan beberapa orang senapati dan beberapa Pendeta Siwa dan Budha.

Dalam kaitannya dengan senapati tersebut antara lain kita dapatkan di dalam prasasti Serai. Dalam prasasti ini disuratkan:

Senapati ser nayaka di pasamaksa palapknan maka suprati-baddha makadi mpungku sogata maleswara sarbwa dinganga syumbul da senapati pinatih dyah mahogram, da senapati dalam bunut buncang, da senapati wrasabha tuha pradhana, da senapati Kuturan dyah kuting, da senapati waranasi tuhagato, da senapati maniringin tuha tabu, samgat tuhan jawa, tuha maranjaya, samgat ser krangan tuhan naruh sangat adhi karana pura tuha tangun,...

Artinya:

"ditetapkan didalam pertemuan dari yang mulia senapati, ser, nayaka dalam persidangan lengkap dan juga dihadiri oleh pendeta Siwa dan Budha dan juga para pejabat yang mulia senapati Pinatih yang bernama Dyah Mohagra, senapati Dalem Bunut bernama Tuha Buncang, senapati Wrasabha bernama Tuha Pradana, senapati Kuturan bernama Dyah Kuting. Senapati Waranasi bernama Tuha Gato, Senapati Maniringin bernama Tuha Tabu, samgat Tuhan Jawa bernama Tuha Maranjaya, samgat ser Kerangan bernama Tuhan Naruh, sangat Adhikaranapura bernama Tuhan Tangun, samgat Nayakan bernama Kalula Tuha Tangun,..."

Dalam prasasti ini jelas disebutkan jabatan senapati Kuturan, yang dijabat seseorang bernama Dyah Kuting. Jabatan ini berderet dengan jabatan lainnya yang berkaitan dengan kerja operasional seperti penentuan batas wilayah, wajib pajak, pembagian air dan sebagainya.[3]

Masa Majapahit sunting

Sejumlah lontar yang tersimpan dalam berbagai perpustakaan lontar di Bali menyuratkan bahwa Mpu Kuturan juga berasal dari masa Majapahit atau Wilwatikta, yang datang ke Bali untuk mengajarkan tata cara membuat bangunan suci sekaligus untuk menghidupkan dan menyucikan bangunan tersebut.

Lontar Mpu Kuturan bernomor 172/2.IIIb[a] tersimpan di Gedong Kertya Singaraja menyuratkan sebagai berikut:

"Nihan widisastra anugraha de bhatara Jagatnatha ri sira Mpu Kuturan, ya tika hana aji sastragama katama de sang prabhu ring jagat, sangke pawarah Mpu Kuturan witeng wilwatikta, duking sira Mpu Kuturan kutus mara ing basukih, ngawangun meru ring basukih, panembahing ratu Bali, katular meru mas ring giri sumeru, mwang lingganing parhyangan bumi sami pakandanya, waluya ring mahameru, mwang lingganing pasamuan agung, matata lingganing meru, hana cendet, aluhur ring basukih,..."

Artinya:

"Inilah ajaran yang merupakan anugrah Sang Hyang Jagatnatha kepada Mpu Kuturan, yaitu ajaran sastra agama yang menjadi pegangan para raja dalam pemerintahannya, lewat ajaran Mpu Kuturan yang datang dari Wilwatikta atau Majapahit, ketika Mpu Kuturan diutus datang ke Besakih, membangun meru di Besakih yang menjadi sungsungan para raja di Bali, dengan mencontoh meru mas di Gunung Sumeru, serta segala bentuk parhyangan diuraikan tata cara membangunnya, sehingga seperti yang terdapat di Gunung Mahameru. Hal itu menyebabkan meru-meru tertata susunannya ada yang pendek namun ada juga yang tinggi, sebagai mana kita temui di Pura Besakih."

Sementara itu dalam Lontar Mpu Kuturan nomor 753.IIIb[b] yang juga tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja yang berasal dari Desa Pagesangan, Lombok Barat ada disuratkan:

"Nihan ling nira Mpu Kuturan ring Majapahit, duk angwanguna meru ring Besakih, kramanya yan meru tumpang 5, tumpang 7, tumpang 9. tumpang 11, ikang mangkana ana padagingannya inenah mangkana. Nihang patatannya yan matumpang 11, ring dasarnya mesi pinda prabot manusa mawadah kawali waja, tekaning siap mas mwang selaka, kacang mas, kacang selaka, tumpeng mas, tumpeng selaka, sampyan mas, sampyan selaka, panjeneng mas, panjeneng selaka, bebek mas, bebek selaka. Ring dasar pisan badawang mas, badawang selaka, naga mas, naga selaka, pada mamata mirah, tekeng pripih mas selaka tembaga, jaum 4 katih mas selaka tembaga wesi, mwah podi mirah weh nya manut wilaning tumpang......"

Artinya:

Ini adalah ajaran Mpu Kuturan yang berasal dari Majapahit, ketika ia membangun meru di Pura Besakih, mencakup meru bertumpang 5, 7, 9, 11. Ada "Padagingan" yang ditaruh di dalamnya. Tata caranya adalah sebagai berikut, kalau bertumpang 11, pada dasar meru tersebut berisi berbagai simbol perabotan manusia dimasukkan didalam cecupu, termasuk simbol ayam, terbuat dari emas dan perak, biji juga dalam bentuk emas dan perak, simbol gunung dari emas dan perak berbagai hiasan dari emas dan perak, serta itik juga dari emas dan perak. Di dasar meru ditempatkan simbol penyu dari emas dan perak serta simbol naga dari emas dan perak bermata mirah, jarum 4 biji dari emas perak tembaga dan besi serta podi mirah jumlahnya menurut tumpang meru tersebut.

Dalam lontar terakhir diuraikan dengan detail berbagai bentuk upakara dalam rangka membangun tempat suci dan bangunan suci yang diwariskan dan dijadikan pedoman membangun tempat suci. Mpu Kuturan yang satu ini adalah tokoh agama yang memiliki spesialisasi dalam bidang bangunan suci. Ia hadir di Bali, datang dari Majapahit, selanjutnya membangun meru-meru yang ada di Pura Agung Besakih.[3]

Bibliografi sunting

Lontar-lontar berikut dianggap merupakan warisan tulisan Mpu Kuturan:

  • Lontar Indik Ngangun Parahyangan (Perihal Membangun Kawasan Suci dan Pura). Lontar ini berisi berbagi aturan membangun desa yang berporos pada parahayangan/pusat pemujaan. Desa pertama-tama harus punya titik pivot, baik sekala-nisaka, yang mana berupa perempatan jalan, atau titik strategis balai desa dan atau parahyangan (pura Pagaduhan, Bale Agung, atau Puseh).[5]
  • Lontar Dharma Pamaculan (Perihal Pedoman dalam bercocok tanam, irigasi, membangun bendungan dan ritual serta kalender pertanian terkait). Pertanian subak adalah tulang punggung keberlangsungan dan ketahanan pangan di Bali. Pedoman bertaninya disebut Lontar Dharma Pamaculan. Lontar ini menyebutkan bahwa ajaran ini merupakan warisan Mpu Kuturan. Tidak hanya menyangkut kalender bertani padi, tapi juga dikombinasikan ketaatan kalender ini dengan kalender ritual. Pemikiran mendisiplinkan atau menertibkan kalender tanam dan ilmu bertani dengan ritual keagamaan sangat penting dalam mengikat atau mengarahkan para petani tradisional.[5]
  • Lontar Kusuma Dewa (Pedoman dalam Pemujaan dan Etika Kependetaan/Kepamangkuan). Kepemangkuan (Kependetaan Pemangku) di Bali tidak terpisahkan dengan Sangkulputih. Bahkan Sangkulputih dapat disebut sebagai peletak dasar sistem kepemangkuan di Bali. Beberapa sarjana dan peneliti Belanda menyinggung selintas sosok Sangkulputih. Semuanya tidak ada yang secara khusus mengkajinya. Namun demikian, Roelof Goris berpendapat bahwa Sangkulputih tidak lain adalah Mpu Kuturan sendiri. Kepemangkuan Dewa Tattwa, Kusuma Dewa disebutkan sebagai warisan Kuturan. Dalam Lontar Usana Dewa ditulis Mpu Kuturan-lah yang mengajarkan cara-cara mendirikan tempat pemujaan atau kahyangan seperti Kahyangan Jagat di Bali. Lontar ini merupakan kompilasi mantra dan doa-doa kepemangkuan yang dinyatakan sebagai warisan Mpu Kuturan. Lontar ini mempertegas bahwa disamping arsitektur parahyangan, ia juga menyusun buku manual bagi para pemangkunya. Lontar Kaputusan Kusuma Dewa dan Kaputusan Mpu Kuturan berisikan ajaran yang paralel. Ini menujukkan bahwa perhatiannya pada pengembangan parahyangan atau tata kehidupan spiritual sebuah desa tidak bisa terjaga kalau tidak ada panduan kependetaan yang menjadi garis-garis pokok menegakkan etika, agama dan ritual di pedesaan di Bali.[5]
  • Lontar Taru Pramana (Perihal Tumbuhan Berkasihan atau resep-resep herbal untuk menjaga kesehatan). Lontar Taru Pramana berisi daftar tumbuhan obat yang menjadi petunjuk dalam menjaga kesehatan masyarakat. Taru Pramana merupakan salah satu naskah yang memuat jenis-jenis tumbuhan obat yang tertulis dalam lembaran daun lontar yang karakteristik informasinya menjadi tonggak pengetahuan tumbuhan obat dan sistem kosmologi yang melekat di dalamnya. Taru pramana artinya kekuatan: pramana berarti khasiat dan taru berarti tumbuhan. Usada taru pramana adalah naskah pengobatan (usada) berbentuk dialog dalam pengungkapan cara pengobatannya.[5] Pembuka lontar tersebut menyebutkan:

    Disebutkan ada seorang mpu bernama “Mpu Kuturan”, seorang dukun sidiwakia, selalu dingin tangan jika mengobati orang sakit. Disebutkan tidak pernah gagal menangani orang sakit sekalipun pasiennya telah parah. Suatu masa ia sangat kecewa setiap pasien yang diobatinya kebanyakan menemukan ajalnya. Pada saat itu, ia menanggung “erang” (rasa malu) yang tak terhingga, kemudian bersemedi. Datanglah Betari Khayangan. Setelah mendengar Sabda tersebut akhirnya Empu Kuturan pun mengetahui nama pepohonan sebagai obat. Selanjutnya pohon itu datang satu demi satu untuk menyatakan kegunaan masing-masing.

Referensi sunting

  1. ^ "Babad Bali". www.babadbali.com. Diakses tanggal 2024-03-28. 
  2. ^ Suka Ardiyasa, I Nyoman (Maret 2018). "Peran Mpu Kuturan dalam Membangun Peradaan Bali (Tinjauan Historis, Kritis)" (PDF). PURWADITA. 2 (1): 23–32. 
  3. ^ a b c "Misteri Mpu Kuturan". phdi.or.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-20. 
  4. ^ Ki Dharma Tanaya, Warta Hindu Dharma NO. 418, Desember 2001.
  5. ^ a b c d e f "Lontar Mpu Kuturan; Sosok Historis atau Mitos?". tatkala.co (dalam bahasa Inggris). 2021-07-25. Diakses tanggal 2021-07-28. 

Catatan kaki sunting

  1. ^ disalin dari Bangli, tanggal 15 Oktober 1941[5]
  2. ^ disalin dari Pagesangan, Lombok, tanggal 6 Oktober 1956[5]