Linguistik forensik

Merupakan Sebagai Alat Bantu Untuk Pembuktian

Lingustik forensik (Forensic Linguistics) merupakan cabang dari linguistik yang menganalisis atau meneliti kebahasaan yang digunakan sebagai alat bantu pembuktian di peradilan dan bidang hukum.[1] Linguistik forensik merupakan gabungan dari dua disiplin ilmu yaitu ilmu linguistik dan ilmu forensik. Linguistik merupakan ilmu bahasa, sedangkan ilmu forensik berasal dari istilah dalam bahasa Yunani yaitu forensis yang berarti publik atau forum.

Perkembangan sunting

Dalam tradisi politik Romawi, forum merupakan ruang publik yang menjadi tempat untuk mendiskusikan dan memperdebatkan isu-isu politik dan kebijakan. Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu forensik menjadi bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu menjawab secara ilmiah tentang bukti-bukti yang terkait dengan penegakan hukum. Mengingat bahwa bukti-bukti yang tertinggal setelah tindak kejahatan tidak hanya berupa bukti non verbal, seperti senjata, peluru, sidik jari, dan lain-lain, tetapi juga dapat meninggalkan bukti verbal, yaitu bahasa, maka untuk keperluan pembuktian apakah bahasa yang tertinggal itu dapat menjadi bukti untuk kasus kejahatan tersebut diperlukan suatu kajian ilmiah. Hasil kajian ilmiah atas bahasa dalam kaitannya dengan penegakan hukum inilah yang disebut sebagai linguistik forensik.[2]

Penerapan metode linguistik pada permasalahan hukum merupakan salah satu fungsi linguistik forensik sebagai ilmu terapan di mana berbagai teori linguistik dapat diterapkan dalam analisis sampel kebahasaan dalam sebuah proses penyidikan. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa para linguis forensik menerapkan pengetahuan dan teknik linguistik ke sampel bahasa yang terlibat dalam (1) kasus atau proses hukum atau (2) perselisihan pribadi antara pihak-pihak yang pada tahap selanjutnya dapat mengakibatkan tindakan hukum.[3]

Ilmu ini mulai dikenal semenjak tahun 1980-an dan sangat diperlukan dalam penganalisisan bukti komponen peradilan berupa bahasa demi kepentingan investigasi dalam kasus perdata dan pidana.[4] Pada tahun 1990-an cabang ini sudah mapan, seiring dengan makin banyak pengacara yang mengakui keberadaan para ahli linguistik forensik yang sangat membantu dalam memberikan pembuktian dalam persidangan.[4] Dalam peradilan suatu kasus hukum, linguistik forensik dilakukan oleh saksi ahli bahasa. Hukum di Indonesia menyatakan bahwa keterangan saksi ahli adalah alat bukti yang sah.[5]

Tataran linguistik yang berkaitan dengan linguistik forensik adalah fonetik akustik, analisis wacana, dan semantik, dan juga berkaitan dengan pragmatik dan psikolinguistik. Aplikasi linguistik forensik mencakup identifikasi suara, interpretasi makna yang diungkapkan dalam hukum dan tulisan hukum, analisis wacana yang dimaksudkan dalam pernyataan lisan dan tertulis (contoh: pengakuan), identifikasi kepenulisan, bahasa hukum, analisis bahasa ruang sidang yang digunakan oleh peserta sidang (yaitu hakim, pengacara, dan saksi), hukum merek dagang, serta interpretasi dan terjemahan yang bisa lebih dari satu bahasa harus digunakan dalam konteks hukum.[6] Sedangkan ruang lingkup kajian linguistik forensik antara lain: (1) bahasa dari dokumen legal, (2) bahasa dari polisi dan penegak hukum, (3) interviu dengan anak-anak dan saksi-saksi yang rentan dalam sistem hukum, (4) interaksi dalam ruang sidang, (5) bukti-bukti linguistik dan kesaksian ahli dalam persidangan, (6) kepengarangan dan plagiarisme, serta (7) fonetik forensik dan identifikasi penutur.[7]

Masalah-masalah yang berada dalam ruang lingkup linguistik forensik, yaitu:

  • identifikasi penutur berdasarkan dialek, gaya bicara, atau aksennya, hingga kadang kala menganalisis tulisan tangan tersangka untuk mendapatkan profilnya;
  • menganalisis isi dan makna tuturan dalam konteks kebahasaan yang dapat digunakan sebagai bukti peradilan.

Sejarah sunting

Frase linguistik forensik pertama kali digunakan oleh Jan Svartvik, seorang profesor linguistik, dalam laporannya, “The Evans Statement: A Case for Forensic Linguistics” pada tahun 1968. Svartvik melakukan analisis terhadap kesaksian Timothy John Evans, seorang sopir truk yang divonis hukuman gantung oleh pengadilan Inggris karena terbukti membunuh Geraldine Evans, seorang bayi berusia 13 bulan yang merupakan anak perempuannya sendiri. Svartvik menganalisis kesaksian Evans di kantor polisi Merthyr Tydfil pada 30 November 1949 dan di Notting Hill pada 2 Desember 1949. Svartvik menemukan perbedaan kesaksian Evans yang disampaikan di dua kantor polisi itu. Secara lebih rinci, Svartvik menjelaskan kesaksian lisan Evans, jika dituliskan, akan menghasilkan dua pernyataan tertulis berbeda, tak hanya pada tataran tanda baca, penyebutan benda tunggal, dan kontraksi kalimat, tetapi juga unit bahasa lebih luas seperti pembagian kalimat. Pada tahun 1950, Evans diganjar hukuman gantung.[3][8]

Ahli Bahasa di Persidangan sunting

Ketika berbicara tentang ahli bahasa yang memberikan bukti di pengadilan, jelas bahwa pengacara dan ahli bahasa memiliki tujuan yang berbeda. Tugas pengacara adalah meyakinkan atau membujuk hakim bahwa terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Tugas ahli bahasa adalah menyajikan pendapat dan menjelaskan pendapat tersebut. Pengacara dapat menginterupsi saksi ahli dan dapat memilih untuk mengabaikan apapun yang dikatakan oleh saksi ahli. Sebaliknya, ahli bahasa adalah saksi dan harus menaati sumpah tidak peduli strategi hukum apa yang dapat digunakan untuk menekan atau memutarbalikkan bukti itu. Pengacara juga bisa bermain-main dengan gagasan 'kerja sama'. Ahli bahasa biasanya akan berusaha untuk bekerja sama, tetapi ahli bahasa dan pengacara mungkin bertentangan tentang apa arti kerja sama dalam praktik dalam contoh tertentu. Ini disebabkan oleh praktik wacana yang berbeda dari para pengacara dan ahli bahasa. Namun demikian, pengacara dan ahli bahasa membawa 'pandangan dunia' yang berbeda ke dalam ruang sidang.[3]

Argumen lain yang dapat digunakan terhadap linguistik forensik adalah bahwa beberapa masalah yang mungkin timbul akibat penggunaan ahli linguistik adalah ketidaktahuan sistem hukum terhadap apa yang dapat dilakukan linguistik forensik dalam kaitannya dengan penyelidikan kasus pidana, dan metode yang valid dan reliabel belum dikembangkan oleh komunitas forensik. Solan (2010) menyatakan bahwa sistem hukum cenderung mengabaikan kemanfaatan ilmu-ilmu lain dan menganggap ahli bahasa forensik belum mengembangkan metode yang dapat diandalkan. Hal ini pada prinsipnya karena analisis yang dilakukan oleh ahli bahasa forensik adalah soal analisis interpretatif. Selain itu, ahli bahasa forensik cenderung direkrut sebagai ahli konsultan. Gray (2010) berpendapat bahwa ketidaktahuan mendasar dalam komunitas hukum terkait dengan pekerjaan lain yang sepenuhnya menyangkut penggunaan bahasa dalam sistem hukum. Situasi ini disebut pedang bermata dua karena di satu sisi pengacara menyadari kebutuhan atas ahli bahasa; di sisi lain, mereka tidak mempercayai para ahli dan kualifikasi mereka, seperti halnya para ahli medis atau ahli lainnya.[8]

Faktanya, mempekerjakan ahli bahasa forensik sebagai saksi ahli memainkan peran penting dalam menyelesaikan kasus pidana, seperti yang digambarkan dalam kasus Unabomber. Pemboman berantai terjadi antara tahun 1978 dan 1995 di beberapa negara bagian di AS, yaitu Illinois, Washington DC, Utah, Tennessee, California, Connecticut, dan New Jersey. Kasus ini diselesaikan oleh James Fitzgerald, seorang pensiunan anggota FBI, pada tahun 1996. Pelaku ditemukan setelah analisis berbasis linguistik dilakukan pada serangkaian surat. Analisis tersebut mencakup sintaksis, diksi, dan fitur linguistik lainnya seperti transposisi kata kerja.[9][8]

Di Indonesia, linguistik forensik pernah diterapkan dalam kasus Akseyna, seorang mahasiswa jurusan biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI angkatan 2013, yang jasadnya ditemukan di Danau Kenanga, Universitas Indonesia. Pemeriksaan awal oleh Polresta Depok: Akseyna diduga bunuh diri lantaran depresi. Polisi mengacu fakta cerita kekecewaan yang diutarakan Akseyna kepada ibunya dan memo bunuh diri yang ditemukan di kamar kos. Kesimpulan Polresta Depok bahwa Akseyna bunuh diri karena depresi dapat dibantah dengan analisis linguistik dengan pendekatan authorship analysis atau analisis kepengarangan untuk memeriksa keaslian memo bunuh diri yang ditemukan sebagai barang bukti. Hasilnya, setelah membandingkan memo dalam kasus Akseyna dengan korpus memo bunuh diri dan beberapa hasil penelitian sebelumnya, ditemukan beberapa fakta bahwa memo bunuh diri Akseyna adalah memo bunuh diri palsu.[10]

Beberapa uraian di atas merupakan urgensi pelibatan ahli bahasa (linguis), atau secara khusus linguis forensik, dalam proses persidangan terutama untuk menyelesaikan kasus-kasus kriminal yang barang buktinya adalah bahasa.

Bidang Kajian sunting

Coulthard dan Johnson (2010) juga menjelaskan bahwa ada tiga bidang utama yang menjadi fokus kajian linguistik forensik sebagai berikut.[8]

Bahasa sebagai Produk Hukum sunting

Bahasa sebagai produk hukum (the language of the law), yaitu menginvestigasi bahasa yang digunakan dalam sistem hukum, khususnya gaya dan register yang digunakan. Bidang ini membicarakan secara mendalam bagaimana suatu bahasa dapat diajarkan dan dipelajari, serta langkah apa yang bisa diambil untuk membuatnya lebih bisa dipahami.

Bahasa dalam Proses Pengadilan sunting

Bahasa dalam proses pengadilan (the language of the legal process), yaitu membicarakan wacana lisan yang terjadi dalam proses hukum yang dikaji dari berbagai perspektif. Bidang ini termasuk pada penggunaan bahasa peserta di ruang sidang, yaitu hakim, pengacara, dan saksi.

Bahasa sebagai Barang Bukti sunting

Bahasa sebagai barang bukti (language as evidence), yaitu berkaitan dengan kepengarangan dan komunikasi yang membutuhkan teori-teori linguistik dalam pemecahannya, mulai dari fonetik dan fonologi, morfologi, sintaksis, pragmatik, dan wacana.

Referensi sunting

  1. ^ John Olsson dan June Luchjenbroers (2014). Forensic Linguistics. Bloomsbury Academic. hlm. xvi. ISBN 9781441186607. 
  2. ^ Mahsun (2018). Linguistik Forensik: Memahami Forensik Berbasis Teks dengan Analogi DNA. Depok: Rajagrafindo. hlm. 13. ISBN 9786024255886. 
  3. ^ a b c Olsson, John, 1951- (2008). Forensic linguistics (edisi ke-2nd ed). London: Continuum. ISBN 978-0-8264-9295-1. OCLC 156830934. 
  4. ^ a b Kushartanti, et.al., ed. (2005). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 225. ISBN 9789792216813. 
  5. ^ "NOMOR 8 TAHUN 1981, UNDANG-UNDANG HALAMAN 3". jdih.kemenkeu.go.id. Diakses tanggal 2020-03-16. 
  6. ^ Sholihatin, Endang (2019). Linguistik Forensik dan Kejahatan Berbahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 26. ISBN 9876232360136 Periksa nilai: invalid prefix |isbn= (bantuan). 
  7. ^ Coulthard, Malcolm, Alison Johnson, dan David Wright (2016). An Introduction to Forensic Linguistics: Language in Evidence. New York: Routledge. 
  8. ^ a b c d Jazila, Nur Inda (2016). "FORENSIC LINGUISTS SHOULD BE HIRED IN THE LEGAL SYSTEM FOR THE SAKE OF THEIR ASSISTANCE IN INVESTIGATING INTO CRIMINAL CASES". scholar.google.nl. Diakses tanggal 2020-08-12. 
  9. ^ "Language Log: Forensic linguistics, the Unabomber, and the etymological fallacy". itre.cis.upenn.edu. Diakses tanggal 2020-08-23. 
  10. ^ Jazilah, Nur Inda. "Memo Bunuh Diri Akseyna dalam Perspektif Linguistik Forensik". tirto.id. Diakses tanggal 2020-08-23.