Lendir laut

jenis materi organik yang ditemukan di laut


Lendir laut atau ingus laut (bahasa Inggris: sea snot) adalah sekumpulan organisme mirip mukus yang ditemukan di laut. Sifatnya yang mirip gelatin dan krim umumnya tak berbahaya, namun dapat mengandung virus dan bakteria, termasuk E. coli.[1] Lendir laut sering muncul di Laut Tengah[2] dan baru-baru ini menyebar ke Laut Marmara.[3]

Lendir laut
Pada musim panas 2021, Laut Marmara di Turki mengalami krisis lingkungan yang merusak karena lendir laut. Populasi ikan asli turun drastis. Foto ini diambil di lepas pantai Pulau Avsa di Turki, menampilkan jaring-jaring ganggang yang membunuh sebagian besar ekosistem laut dan ikan.

Penyebab sunting

Lendir laut terbentuk secara alami ketika alga atau ganggang di laut dipenuhi nutrisi akibat iklim hangat dan pencemaran air. Peristiwa serupa terjadi di Turki pada 2007, tapi juga pernah ditemukan di Laut Aegea dekat Yunani.[4] Pengamat lingkungan menyatakan bahwa sampah rumah tangga dan industri menyebabkan fitoplankton membludak.[3][5] Dengan kata lain, perubahan iklim dan pencemaran telah berkontribusi pada proliferasi bahan organik, yang mengandung berbagai macam mikroorganisme dan dapat berkembang ketika limbah yang kaya nutrisi mengalir ke air laut.

Hal ini didukung oleh pernyataan Professor Hüseyin Erduğan dari Departemen Biologi, Universitas Onsekiz Mart bahwa lendir laut pada dasarnya adalah massa mikroorganisme yang diperkaya oleh komponen limbah yang tidak diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke laut. Lendir sebenarnya adalah eksopolisakarida (biomakromolekul yang terdiri dari residu karbohidrat yang dipancarkan oleh mikroorganisme) dan meskipun polusi memperburuk masalah lendir laut, hal itu pada akhirnya disebabkan oleh mikroorganisme itu sendiri.[6] Lendir memiliki banyak komponen, termasuk berbagai mikroorganisme seperti virus dan prokariota, serta senyawa eksopolimer dengan sifat koloid.[7]

Dampak sunting

Peningkatan jumlah lendir laut di Laut Tengah dan wilayah laut lainnya sejak awal 2009 merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim.[8] Perairan yang menghangat dan bergerak lebih lambat meningkatkan produksi lendir laut dan memungkinkan terjadinya penumpukkan dalam gumpalan-gumpalan besar.[9] Lendir laut pertama kali dilaporkan pada tahun 1729 dan sejak lama dipandang sebagai gangguan bagi industri perikanan dan populasi pesisir.[9] Baru-baru ini, lendir laut muncul tidak hanya sebagai gangguan, tetapi juga sebagai bahaya besar. Gumpalan lendir laut dapat menampung bakteri seperti E. coli yang mengancam flora dan fauna laut, serta manusia yang terpapar air yang terkontaminasi. Lendir laut juga dapat melapisi insang makhluk laut yang ada di dalamnya, memotong oksigen, dan membunuh mereka.[9] Karena sifatnya yang berlendir kental, berbusa, dan menutupi permukaan, lendir laut mengancam kehidupan laut, seperti ikan, mamalia laut, dan terumbu karang.[3]

Pada bulan Juni 2021, lendir laut terlihat di sepanjang wilayah Laut Marmara, yang menghubungkan Laut Hitam ke Laut Aegea.[5] Lendir laut telah menyebar melalui laut selatan Istanbul yang meliputi pelabuhan, garis pantai, dan petak permukaan.[10] Kapal-kapal yang melintasi Laut Marmara kini terpaksa mengarungi limpahan lumpur abu-abu, dan sejumlah nelayan tak bisa berlayar karena lendir merusak motor kapal dan jaring mereka. Para penyelam melaporkan, sejumlah besar ikan dan spesies laut lain mati karena kekurangan oksigen. Selain itu, menurut Profesor Bayram Ozturk dari Pusat Penelitian Kelautan Turki, beberapa spesies menjadi terancam, termasuk tiram, remis, bintang laut.[4]

Penanggulangan sunting

Penanggulangan jangka pendek yang dapat dilakukan adalah mengumpulkan lendir laut dari permukaan laut dan meletakkan penghalang di permukaan laut untuk menghambat penyebarannya.[11] Penanggulangan jangka panjang yang perlu dilakukan adalah meningkatkan dan memastikan pengolahan air limbah,[4] menciptakan kawasan perlindungan laut,[11] dan memperlambat perubahan iklim.[11]

Referensi sunting

  1. ^ Uğurtaş, Selin (2021-05-25). "Turkey struck by 'sea snot' because of global heating". The Guardian. Diakses tanggal 2021-05-26. 
  2. ^ David Gilson (October 13, 2009). "Sea Snot: Climate Change Gets Gross". Diakses tanggal 2013-05-20. 
  3. ^ a b c Lokadata.ID. "Wabah "ingus laut" muncul kembali di Turki, akibat polusi dan perubahan iklim". Lokadata. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-13. Diakses tanggal 2021-06-17. 
  4. ^ a b c "Turki berjanji selesaikan wabah 'ingus laut'". BBC News Indonesia. 2021-06-06. Diakses tanggal 2021-06-17. 
  5. ^ a b SABAH, DAILY (2021-05-30). "Sea snot continues to expand in Marmara Sea". Daily Sabah (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-17. 
  6. ^ SABAH, DAILY (2021-06-10). "Sea snot plaguing Turkey's Marmara Sea may be converted into gas". Daily Sabah (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-17. 
  7. ^ Danovaro, Roberto; Fonda Umani, Serena; Pusceddu, Antonio (2009-09-16). "Climate Change and the Potential Spreading of Marine Mucilage and Microbial Pathogens in the Mediterranean Sea". PLoS ONE. 4 (9). doi:10.1371/journal.pone.0007006. ISSN 1932-6203. PMC 2739426 . PMID 19759910. 
  8. ^ Istanbul, Selin Uğurtaş in (2021-05-25). "Turkey struck by 'sea snot' because of global heating". the Guardian (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-17. 
  9. ^ a b c "Giant, Mucus-Like Sea Blobs on the Rise, Pose Danger". archive.ph. 2012-07-12. Diakses tanggal 2021-06-17. 
  10. ^ "Foto: Pembersihan 'Ingus Laut' Untuk Selamatkan Laut Marmara, Turki". kumparan. Diakses tanggal 2021-06-17. 
  11. ^ a b c "Turkey launches 'sea snot' clean-up to save Sea of Marmara". Reuters. 2021-06-08. Diakses tanggal 2021-06-17.