Dalam wiracarita Ramayana, Kumbakarna (Dewanagari: कुम्भकर्ण; ,IASTKumbhakarṇa, कुम्भकर्ण) adalah saudara kandung Rahwana, raja raksasa dari Alengka. Menurut cerita, Kumbakarna merupakan seorang raksasa yang sangat tinggi dan berwajah mengerikan, tetapi bersifat perwira dan sering menyadarkan perbuatan kakaknya yang salah.[1] Ia memiliki suatu kelemahan, yaitu tidur selama enam bulan, dan selama ia menjalani masa tidur, ia tidak mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.[2] Pada saat kerajaan kakaknya diserbu oleh Rama beserta pasukan wanara, ia dibangunkan dari tidurnya dan berhasil membantai lebih dari 8000 pasukan kera.[3]

Kumbakarna
कुम्भकर्ण
Lukisan Kumbakarna dari India, dibuat pada abad ke-19.
Lukisan Kumbakarna dari India, dibuat pada abad ke-19.
Tokoh dalam mitologi Hindu
NamaKumbakarna
Ejaan Dewanagariकुम्भकर्ण
Ejaan IASTKumbhakarṇa
Kitab referensiRamayana
AsalKerajaan Alengka
Golonganraksasa
AyahWisrawa
IbuSukesi (Kaikesi)
SaudaraKuwera, Rahwana, Surpanaka, Wibisana
AnakKumba dan Nikumba

Arti nama sunting

Dalam bahasa Sanskerta, secara harafiah nama Kumbhakarna berarti "bertelinga kendi".

Keluarga sunting

Ayah Kumbakarna adalah seorang resi bernama Wisrawa, dan ibunya adalah Sukesi (Kaikesi), putri seorang raja detya bernama Sumali. Rahwana, Wibisana dan Surpanaka adalah saudara kandungnya, sementara Kuwera, Kara, Dusana, Kumbini, adalah saudara tirinya.[4] Marica adalah pamannya, putra Tataka, saudara Sumali. Kumbakarna memiliki putra bernama Kumba dan Nikumba. Kedua putranya itu gugur dalam pertempuran di Alengka. Kumba menemui ajalnya di tangan Sugriwa, sedangkan Nikumba gugur di tangan Hanoman.

Anugerah Brahma sunting

 
Lukisan dari India, menggambarkan para raksasa membangunkan Kumbakarna dengan berbagai senjata dan berteriak di telinganya. Lukisan dibuat pada abad ke-17, kini disimpan di British Museum.

Saat Rahwana dan Kumbakrana mengadakan tapa, Dewa Brahma muncul karena berkenan dengan pemujaan yang mereka lakukan. Brahma memberi kesempatan bagi mereka untuk mengajukan permohonan. Saat tiba giliran Kumbakarna untuk mengajukan permohonan, Dewi Saraswati masuk ke dalam mulutnya untuk membengkokkan lidahnya, maka saat ia memohon "Indrāsan" (takhta Dewa Indra), ia mengucapkan "Nīndrasan" (tidur abadi). Brahma mengabulkan permohonannya. Karena merasa sayang terhadap adiknya, Rahwana meminta Brahma agar membatalkan anugerah tersebut. Brahma tidak berkenan untuk membatalkan anugrahnya, tetapi ia meringankan anugrah tersebut agar Kumbakarna tidur selama enam bulan dan bangun selama enam bulan. Pada saat ia menjalani masa tidur, ia tidak akan mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.[5]

Peran di Alengka sunting

Kumbakarna sering memberikan nasihat kepada Rahwana, menyadarkan bahwa tindakannya keliru. Ketika Rahwana kewalahan menghadapi Rama, maka ia menyuruh Kumbakarna menghadapinya. Kumbakarna sebenarnya tahu bahwa kakaknya salah, tetapi demi membela Alengka tanah tumpah darahnya dia pun maju sebagai prajurit melawan serbuan Rama. Kumbakarna sering dilambangkan sebagai perwira pembela tanah tumpah darahnya, karena ia membela Alengka untuk segala kaumnya, bukan untuk Rahwana saja, dan ia berperang melawan Rama tanpa rasa permusuhan, hanya semata-mata menjalankan kewajiban.[6]

Pertempuran dan kematian sunting

 
Lukisan pertempuran terakhir Kumbakarna, dibuat pada masa kesultanan Malwa di India (abad ke-17), kini menjadi koleksi Metropolitan Museum of Art.

Saat Kerajaan Alengka diserbu oleh Rama dan sekutunya, Rahwana memerintahkan pasukannya untuk membangunkan Kumbakarna yang sedang tertidur. Utusan Rahwana membangunkan Kumbakarna dengan menggiring gajah agar menginjak-injak badannya serta menusuk badannya dengan tombak. Kemudian 1000 gajah menginjak badannya, sehingga mata Kumbakarna mulai terbuka, lalu para utusan segera mendekatkan makanan ke hidung Kumbakarna. Setelah diinjak ribuan gajah, serta menyantap makanan yang dihidangkan, Kumbakarna benar-benar terbangun dari tidurnya.[7]

Setelah bangun, Kumbakarna menghadap Rahwana. Ia mencoba menasihati Rahwana agar mengembalikan Sita dan menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan kakaknya itu adalah salah. Rahwana sedih mendengar nasihat tersebut sehingga membuat Kumbakarna tersentuh. Tanpa sikap bermusuhan dengan Rama, Kumbakarna maju ke medan perang untuk menunaikan kewajiban sebagai pembela negara.[6] Sebelum bertarung Kumbakarna berbincang-bincang dengan Wibisana, adiknya, setelah itu ia berperang dengan pasukan wanara.

Dalam peperangan, Kumbakarna banyak membunuh pasukan wanara dan banyak melukai prajurit pilihan seperti Anggada, Sugriwa, Hanoman, Nila, dan lain-lain. Dengan panah saktinya, Rama memutuskan kedua tangan Kumbakarna. Namun dengan kakinya, Kumbakarna masih bisa menginjak-injak pasukan wanara. Kemudian Rama memotong kedua kaki Kumbakarna dengan panahnya. Tanpa tangan dan kaki, Kumbakarna mengguling-gulingkan badannya dan melindas pasukan wanara. Melihat keperkasaan Kumbakarna, Rama merasa terkesan dan kagum. Namun ia tidak ingin Kumbakarna tersiksa terlalu lama. Akhirnya Rama melepaskan panahnya yang terakhir, bernama Indrastra (senjata Indra). Panah tersebut memisahkan kepala Kumbakarna dari badannya dan membawanya terbang, lalu jatuh di pusat kota Alengka. Versi lain menyebutkan bahwa kepalanya sempat menghantam benteng dan gedung-gedung, sebelum jatuh ke laut.[8] Berita kematian Kumbakarna membuat Rahwana merasa lemas dan celaka.[9]

Referensi sunting

  1. ^ Valmiki; Vyasa (19 Mei 2018). Delphi Collected Sanskrit Epics (Illustrated) (dalam bahasa Inggris). Delphi Classics. ISBN 978-1-78656-128-2. 
  2. ^ Parameswaran, Mangalam R. (19 April 2013). The Ramayana of Valmiki (A condensed version of Valmiki's epic): , published by Manipal Universal Press (dalam bahasa Inggris). Manipal Universal Press. ISBN 978-93-82460-08-4. 
  3. ^ Valmiki; Venkatesananda, Swami (1 Januari 1988). The Concise Ramayana of Valmiki (dalam bahasa English). SUNY Press. ISBN 978-0-88706-862-1. 
  4. ^ Rajagopalachari. RAMAYANA retold by C. Rajagopalachari. hlm. 83. 
  5. ^ Murty, Sudha (2018-09-25). The Upside-Down King: Unusual Tales about Rama and Krishna (dalam bahasa Inggris). Penguin Random House India Private Limited. ISBN 978-81-8475-417-9. 
  6. ^ a b Rajagopalachari. RAMAYANA retold by C. Rajagopalachari. hlm. 168–169. 
  7. ^ Venkataraman, M. (2022-06-03). A few gods and goddesses of Hinduism (dalam bahasa Inggris). Venkataraman M. 
  8. ^ Aravamudan, Krishnan (2014-09-22). Pure Gems of Ramayanam (dalam bahasa Inggris). Partridge. ISBN 978-1-4828-3720-9. 
  9. ^ Mani, Vettam (1975). Puranic encyclopaedia : a comprehensive dictionary with special reference to the epic and Puranic literature. Robarts - University of Toronto. Delhi : Motilal Banarsidass. hlm. 450. 

Pranala luar sunting