Kehutanan internasional


Kehutanan Internasional adalah bidang kajian yang membahas kehutanan dari perspektif masyarakat internasional.

Pengertian dan Sejarah Kehutanan Internasional sunting

Perhatian masyarakat internasional terhadap hutan dan permasalahan dalam bidang kehutanan telah berlangsung sejak lama. Dalam artikel tentang World Foresty Congres (WFC) yang dimuat dalam Wikipedia berbahasa Inggris dinyatakan bahwa WFC pertama telah diadakan pada 1926 di Kota Roma, Italia. WFC merupakan pertemuan tingkat internasional dalam bidang kehutanan yang paling besar dan paling penting. Penyelenggaraan kongres ini dilaksanakan di bawah bantuan Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO), walaupun pengorganisasiannya biasanya diselenggarakan oleh negara yang menjadi tuan rumah (penyelenggara) kongres tersebut. FAO merupakan salah satu organisasi resmi yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi permasalahan pangan dan pertanian dalam arti luas. Penyelenggara WFC dapat kita pandang sebagai salah satu bentuk perhatian masyarakat dunia dalam bidang kehutanan.[1]

Pada sekitar paruh kedua, Abad ke-20. Dunia mulai berhadapan dengan permasalahan lingkungan hidup akibat merebaknya berbagai jenis polusi yang terbentuk sebagai hasil sampingan dari proses produksi dalam berbagai industri. Gejala ini terjadi pada industri-industri besar yang menggunakan pembakaran bahan bakar yang berasal dari fosil sebagai menggunakan pembakaran bahan bakar yang berasal dari fosil sebagai pembangkit energinya. Hutan sebagai salah satu bentuk ekosistem merupakan bagian penting dari unsur-unsur lingkungan hidup yang menjadi salah satu komponen penting dalam proses timbal-balik antar komponen lingkungan hidup lain dalam proses produksi yang terjadi dalam industri tersebut.

Dalam perkembangan sejarah industri tercatat bahwa akibat makin tingginya kerusakan lingkungan hidup oleh polusi industri, maka masyarakat dunia mulai memusatkan perhatiannya terhadap permasalahan ini, peristiwa yang dapat kita anggap sebagai awal perhatian formal masyarakat dunia terhadap permasalahn lingkungan hidup adalah diselenggarakannya Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia (The United Nation Conference on the Human Environment) pada tanggal 5-6 Juni 1972 di kota Stockholm, Swedia.

Pelaksanaan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dapat kita pandang sebagai saat mulainya secara formal masyarakat dunia memerhatikan permasalahan dalam bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang bersifat Global. Sungguhpun demikian, permasalahan Kehutanan dan Lingkungan Hidup sejak peristiwa tersebut belum secara nyata menggerakkan para ilmuwan untuk mengkaji secara khusus permasalahan Kehutanan Internasional sebagai sebuah kajian Ilmiah yang sistematis, sehingga dapat membentuk sebuah ilmu tersendiri dalam ilmu kehutanan. Kajian yang bersifat khusus dan sistematis terhadap permasalahan kehutanan yang bersifat global baru saja terjadi setelah diadakannya konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan (The United Nations Conference on Environment and Development) yang diadakan di Kota Rio De Jeneiro,Brazil pada 3-14 Juni 1992. Sejak saat itu, berbagai perguruan tinggi besar di dunia mulai menawarkan mata kuliah yang berisi kajian terhadap permasalahan kehutanan yang bersifat global. Materi utama yang menjadi bahan kajian adalah berbagai dokumen yang dihasilkan dari berbagai forum internasional dalam bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta perkembangan luas dan keadaan hutan dunia serta perkembangan hidup yang memiliki perkembangan luas dan keadaan hutan dunia yang memiliki perkembangan pengelolaannya. Kelompok permasalahan terakhir ini biasanya dimuat dalam pengelolaannya. Kelompok permasalahan terakhir ini biasanyan dimuat dalam dokumen state of the world’s Forest yang dihasilkan melalui kegiatan forest resources assessment (FRA) yang diselenggarakan oleh FAO setiap sepuluh tahun sejak 1948.[1]

Bidang kajian baru dalam Ilmu Kehutanan yang muncul setelah diadakan UNCED diberi nama Kehutanan Internasional (International Foresty). Kehutanan Internasional merupakan salah satu bidang kajian dalam ilmu kehutanan yang membahas perkembangan luas dan keadaan hutan dunia berikut penyebarannya serta permasalahan dalam bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang bersifat lintas batas wilayah satu negara atau lebih. Kajian ini biasanya dikemas dalam satu mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa pascasarjana dalam bidang ilmu Kehutanan atau yang berhubungan dengan Ilmu Kehutanan.

Ruang Lingkup Kajian Kehutanan Internasional sunting

Kehutanan Internasional merupakan bidang kajian baru dalam Ilmu Kehutanan. Bidang Ini membahas keadaan dan perkembangan hutan dunia, berbagai permasalahan kehutanan yang bersifat internasional atau permasalahan global kehutanan, perkembangan konsepsi dan kegiatan-kegiatan internasional dalam bidang kehutanan dan lingkungan, skema pengurusan hutan yang melibatkan pihak-pihak internasional, perbandingan pengurusan dan pengelolaan hutan antara negara-negara di dunia, serta Lembaga-lembaga internasional yang bergerak dalam bidang kehutanan dan pengelolaan lingkungan hidup secara umum.

Kajian Internasional dalam bidang kehutanan mulai mencuat pada saat keberadaan hutan dan fungsi hutan di dunia mulai terancam keberlanjutannya, sedangkan bukti-bukti ilmiah tentang tingginya ketergantungan kehidupan di muka bumi ini terhadap keberadaan dan fungsi hutan makin terungkap. Selain itu, fungsi hutan dalam menghasilkan jasa ekologis yang sangat penting dalam menyangga sistem kehidupan di muka bumi ini bersifat global. Dan tidak mengenal batas-batas wilayah administrasi pemerintahan maupun letak geografis di muka bumi.

Mengingat perhatian dan kepedulian masyarakat internasional terhadap permasalahan global kehutanan dan lingkungan hidup sangat tinggi, maka aspek ini sering kali menjadi faktor dominan dalam menentukan hubungan perdagangan dan politik internasional antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Oleh karena itu, perhatian terhadap bidang ini di masa-masa yang akan datang sangat diperlukan. Untuk itu maka memperkenalkan bidang kajian yang telah dibuat sebelumnya kepada seluruh mahasiswa Pendidikan tinggi bidang Kehutanan dan Ilmu-ilmu Lingkungan pada umumnya sangat diperlukan. Selain itu, diharapkan kepada seluruh elemen Pendidikan terutama dalam bidang kehutanan.

Permasalahan Global Kehutanan sunting

Beberapa permasalahan dalam bidang kehutanan yang bersifat global dan monopoli saat ini dan di masa mendatang dapat dikelompokkan ke dalam lima aspek kelompok permasalahan, yaitu aspek sejarah, aspek ekologis hutan, aspek industri kehutanan dunia, aspek sosial-budaya, dan aspek geopolitik adapun rincian tentang pengertian berikut penjelasan setiap aspek tersebut seperti dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

Aspek Sejarah sunting

Selama sepuluh ribu tahun terakhir, luas penutupan hutan dunia telah berkurang sekitar sepertiganya dari keadaan mula-mula, yaitu dari 6,3 milliar hektar menjadi tinggal 4,2 milliar hektar saja. Padahal pada tahun 1995 diperkirakan luas hutan dunia hanya tinggal 3,45 milliar hektar. Menurut Allan dan Lanny luas penutupan hutan boreal relatif mantap, sedangkan luas hutan pada daerah beriklim sedang sedikit meningkat. Akan tetapi luas hutan tropika terus berkurang dengan laju pengurangan. Diseluruh dunia pada akhir tahun 1980-an diperkirakan sekitar 17 juta hektar/tahun. Ancaman terhadap keberadaan hutan tropika sejak tahun 1980-an sama bersarnya dengan tekanan yang pernah dialami oleh hutan di daerah boreal dan daerah temperate pada beberapa abad yang lalu.

aspek fungsi lingkungan (ekologis) hutan yang bersifat global sunting

Jasa lingkungan yang dapat dihasilkan oleh hutan seperti untuk konservasi terhadap tanah dan air, menyediakan habitat untuk flora dan fauna yang beraneka ragam, tempat penyimpanan atau persediaan keanekaragaman hayati (reservoir of biodiversity) yang sangat kaya serta peran hutan yang sangat besare dalam proses siklus ekologis misalnya dalam mengendalikan siklus karbon, oksigen, unsur hara, air, dan siklus iklim dunia) pada saat ini telah menjadi perhatian utama para ilmuwan dan para pembuat kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup pada tingkat nasional dan internasional. Pentingnya aspek lingkungan dalam pengelolaan hutan, sehingga peran hutan dalam memelihara keanekaragaman hayati dan pengendalian iklim dunia telah dijadikan sebagai konvensi internasional tersendiri dan dinegosiasikan antara negara-negara di dunia dalam proses konferensi PBB untuk lingkungan dan pembangunan (United Nation Conference on Environtment and Dvelopment, UNCED) yang diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.

Aspek industri kehutanan dunia yang terus meningkat sunting

laju peningkatan permintaan terhadap hasil hutan diseluruh dunia biasanya sejalan dan bahkan melebihi besarnya laju pertumbuhan penduduk dunia. Perkiraan besarnya laju permintaan terhadap hasil hutan di dunia pada tiga dekade ke depan diperkirakan sebesar 3% per tahun. Diperkirakan pula beberapa negara berkembang yang pada mulanya merupakan negara eksportir hasil hutan, pada saat ini dan beberapa tahun ke depan akan berubah menjadi negara pengimpor hasil hutan. Kecenderungan seperti itu meningkat dari tahun ketahun. Kenyataan ini, ditambah dengan ketiadaan dana yang cukup untuk investasi dalam kegiatan penghutanan kembali, pengelolaan hutan, dan perlindungan hutan telah mengakibatkan terjadinya kehilangan hutan pada beberapa bagia di dunia.

Aspek sosial, budaya dan kepentingan umum sunting

Hutan memegang peran penting dan luas dalam aspek sosial dan budaya masyarakat pada beberapa bagian di muka bumi. Mengingat pentingnya peran hutan ini, pada saat ini pembahasan tentang konservasi dan pembangunan berkelanjutan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang (intergeneration responbility) telah mmenjadi isu etika global dan menjadi pusat perhatian masyarakat dunia (World Commission on Environment and Development). Di luar kepentingan itu, hutan juga berfungsi dalam menyediakan berbagai bentuk jasa untuk kepentingan umum, berupa ilmu pengetahuan (penelitian dan pengembangan), kualitas sumber daya manusia (Pendidikan dan pelatihan), serta fungsi budaya dan keagamaan (realigi).

Aspek Geopolitik sunting

Hutan memunculkan permasalahan lingkungan global yang bersifat khas. Hal ini mengingat hutan secara fisik berada dalam wilayah suatu negara yang berdaulat, tetapi peran dan jasa lingkungan hutan berpengaruh secara kuat dan positif terhadap wilayah di muka bumi melebihi batas wilayah kekuasaan negara tempat hutan tersebut berada. Demikian pula dampak neagatif yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan sebagai contoh, dikemukakan oleh Maini dan Ullsten beberapa hal sebagai berikut.

  1. Kesalahan pengelolaan terhadap hutan yang terdapat dalam wilayah DAS pada sungai yang melintasi batas negara (international rivers) yang dilakukan oleh suatu negara dapat mengakibatkan dampak negatif bagi kepentingan konservasi tanah dan air pada beberapa negara tetangganya.
  2. Polusi udara yang terjadi dalam wilayah suatu negara akibat terbawa angina dapat terangkat ke wilayah negara tetangganya.
  3. Peran hutan dalam memengaruhi siklus karbon dan oksigen serta perubahan iklim dunia yang dipikul oleh hutan yang terdapat dalam wilayah kekuasaan suatu negara, fungsinya melewati batas-batas negara tersebut.

Berdasarkan pertimbangan faktor-faktor tersebut, maka permasalahan kehutanan yang dapat secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap keberadaan dan kualitas hutan acap kali menjadi faktor yang sangat menentukan dalam pencaturan politik dan perdagangan dunia.[2]

Perkembangan Perhatian Masyarakat Internasional Terhadap Permasalahan Global Kehutanan sunting

Sebagaimana telah diutarakan di Muka, kesadaran akan pentingnya fungsi hutan bagi kehidupan manusia telah muncul sejak berabad-abad yang lalu. Semboyan yang dipopulerkan oleh Raja Inggris, King James, yaitu: ‘No wood, no kingdom!’, merupakan cerminan besarnya kekhawatiran kerajaan inggris terhadap kelangkaan hutan sebagai sumber kayu bakar pada masa itu. Sekarang diketahui kehawatiran Raja Inggris terhadap kelangkaan hutan pada masa itu alasannya masih sangat sederhana, yaitu baru sebatas fungsi hutan yang bersifat sempit, yaitu sumber kayu. Selain itu, permasalahan dalam bidang kehutanan pada masa itu masih merupakan permasalahan kerajaan atau negara masing-masing. Pada belahan dunia yang lain dapat diketahui bahwa kepedulian kerajaan di China terhadap fungsi hidrologis hutan yang dicerminkan dengan membuat peraturan kerajaan untuk melindungi hutan, juga masih bersifat terbatas untuk hutan dalam wilayah kerajaan tersebut. Baru pada pertengahan periode tahun 1900-an masyarakat internasional memberikan perhatian yang khusus terhadap permasalahan kehutanan dan pengurusan hutan di dunia secara Bersama-sama. Beberapa tonggak peristiwa yang dapat dianggap sebagai wujud perhatian masyarakat dunia terhadap permasalahan global kehutanan adalah sebagaimana dijabarkan berikut ini.[3]

Kongres Kehutanan Sedunia ke-5 Tahun 1960 di seattle, Amerika Serikat sunting

Dengan tema kongres Prinsip Manfaat Ganda Hutan ( Multiple Use of Forest Principles ), kongres mendeklarasikan berbagai manfaat yang dapat diberikan oleh hutan. Jadi bukan hanya untuk menghasilkan kayu. Dengan prinsip ini, dinyatakan bahwa masyarakat keturunan internasional mengakui fungsi hutan untuk memberikan manfaat berupa kayu, air, habitat kehidupan liar, sumber makanan ternak, dan tempat untuk rekreasi. Deklarasi ini dapat dianggap menjadi tonggak peristiwa masyarakat dunia menunggalkan pemikiran yang bersifat sempit terhadap fungsi hutan, yaitu hutan hanya menghasilkan kayu.[4]

Deklarasi Stockhlom tentang Lingkungan Hidup Manusia sunting

Deklarasi ini dicetuskan dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia ( The United Nation Conference on the Human Environment ) yang diselenggarakan pada 5-6 Juni 1972 di Stockholm (Swedia). Deklarasi yang dihasilkan dinamakan Deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia ( Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment ). Deklarasi ini menyatakan pentingnya melindungi dan meningkatkan kualitas hidup manusia di dunia. Karenanya, sangat penting bagi seluruh umat manusia dan pemerintahan negara-negara di seluruh dunia untuk memperhatikan dan mempertimbangkan faktor lingkungan hidup dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan dan program pembangunan ekonomi di negaranya. Dikeluarkannya deklarasi ini dianggap sebagai tonggak peristiwa masyarakat dunia memberikan perhatian Bersama terhadap masalah lingkungan hidup. Dalam kaitannta dengan kegiatan pengurusan hutan, deklarasi ini telah mendasari dimasukkannya aspek lingkungan dalam pengelolaan hutan di seluruh dunia.[4]

Deklarasi Jakarta tentang hutan untuk kesejahteraan masyarakat sunting

Deklarasi ini dicetuskan dalam Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 (8th World Foresty Congress) yang diselenggarakan di Jakarta, Indonesia pada 16-28 Oktober 1978 dengan tema Hutan untuk Kesejahteraan Masyarakat ( Foresty for People ). Isi Deklarasi ini pada intinya menegaskan bahwa hutan dunia ( the world’s forest ) harus dipelihara dan dimanfaatkan berdasarkan prinsip kelestarian ( a suistanable basis ) untuk digunakan dan dapat memenuhi kebutuhan manusia di seluruh muka bumi secara berkelanjutan. Dikeluarkannya deklarasi ini dianggap sebagai tonggak peristiwa masyarakat internasional memberikan perhatian Bersama tentang perlunya aspek sosial budaya masyarakat diperhatikan dan dijadikan pertimbangan dalam pengurusan hutan di seluruh dunia.[5]

Deklarasi Rio untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan sunting

Puncak dari berbagai perhatian masyarakat internasional terhadap masalah lingkungan hidup dan pembangunan, termasuk didalamnya pembangunan kehutanan adalah dikeluarkannya Deklarasi Rio untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan ( Rio Declaration on Environment and development ). Deklarasi ini dikeluarkan dalam Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan ( United Nations Conference on Environment and development, UNCED ) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brazil, tanggal 3-14 Juni 1992. Inti dari rangkaian deklarasi ini adalah perlunya dilakukan untuk perlindungan terhadap lingkungan hidup dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan ( suistainable development ). Dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan yang bersifat menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan. Salah satu dukumen yang dihasilkan dalam konferensi ini, yaitu Prinsip-Prinsip Kehutanan ( Principles on Forest ), walaupun merupakan konvensi yang bersifat tidak mengikat (non legally binding authoritive statement of principles ), tetapi disepakati untuk digunakan sebagai pegangan dalam melakukan berbagai kerjasama internasional dalam bidang kehutanan tentunya. Prinsip ini memuat 15 pasal konsensus yang bersifat tidak mengikat dan berlaku untuk semua tipe hutan di seluruh dunia. Prinsip-prinsip ini memuat aturan dasar mengenai aspek pengelolaan, aspek konservasi serta aspek pemanfaatan dan pengembangan. Prinsip-prinsip inilah yang melandasi prinsip pengelolaan hutan lestari atau PHL yang disepakati secara internasional pada saat ini. Prinsip utama yang dipegang dalam PHL adalah dicapainya manfaat-manfaat hutan yang bersifat optimal dilihat dari aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya masyarakat untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara berkelanjutan dan terus-menerus hadir.[1]

Perkembangan Prinsip Pengelolaan Hutan pada Tingkat Internasional sunting

Era Prinsip Kelestarian Hasil (Suistaned Yield Principle) sunting

Dalam era ini hutan dianggap hanya untuk menghasilkan satu tujuan utama yaitu untuk menghasilkan kayu secara terus menerus. Fungsi lain yang dapat diberikan oleh hutan dianggap sebagai hasil ikutan dan karenanya bukan merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam penyusunan rencana pengaturan hasil dalam kegiatan pengelolaan hutan. Prinsip yang digunakan dinamakan prinsip kelestarian hasil. Inti prinsip ini mengatur agar banyaknya hasil kayu yang dapat diperoleh dari setiap satu kesatuan pengelolaan hutan sama banyaknya setiap tahun. Helms mendefinisikan kelestarian hasil sebagai banyaknya hasil yang didapat dan diperoleh dari hutan secara terus-menerus pada tingkat intensitas pengelolaan tertentu atau memepertahankan pencapaian beraneka ragam hasil yang tinggi dari sumber daya alam yang dapat dipulihkan secara periodik, tanpa mengurangi produktivitas lahannya. Akan tetapi dalam praktiknya prinsip ini biasanya dijabarkan dalam ukuran besarnya volume kayu yang sama setiap tahun (m3/tahun), sehingga luas tebangan harus menyesuaikan dengan jumlah volume kayu yang harus diharapkan. Ukuran lain adalah mengusahakan agar luas penebangan yang diusahakan sama setiap tahun (hektar/tahun), sehingga banyaknya volume kayu yang diperoleh berbeda dari tahun ke tahu. Prinsip pertama berlandaskan kepada pengaturan volume hasil yang diharapkan, sedangkan prinsip kedua berlandaskan pada pengaturan luas tebangan yang dib uat sama setiap tahun. Apabila dalam proses pengelolaan hutan itu diberikan masukan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas lahan hutannya, maka hasil yang bersifat lestari itu akan makin bertambah dari tahun ketahun. Prinsip demikian dinamakan prinsip kelestarian hasil yang bersifat meningkat (progressive sustained yield principle).

Dalam era ini tidak ada kesepakatan (konvensi) yang bersifat internasional. Namun yang ada adalah pengaturan dalam pengelolaan hutan pada masing-masing negara. Menurut Osmaton, prinsip kelestarian hasil untuk pertama kalinya dimasukkan dan diuraikan secara tegas dalam hasil untuk pertama kalinya dimasukkan dan diuraikan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan suatu negara adalah dalam Ordonansi Hutan tahun 1669 di Perancis. Dalam Ordanance of Melun tahun 1376 sebenarnya telah pula dicantumkan prinsip ini secara garis besar, tetapi tidak terinci dan tegas sebagaimana dimuat dalam Ordonansi Hutan tahun 1669 tersebut.

Prinsip ini secara ilmiah mulai dipublikasikan pada tahun 1823 oleh Emil Andre dalam sebuah buku yang antara lain memuat rumus untuk pengaturan hasil pada hutan sejenis (homogen) dan seumur (event aged) yang diberinya nama rumus (Austrian Formula). Nama Austrian diberikan sebagai penghargaan kepada salah seorang petugas penilai dan pengumpul pajak Bangsa Austria yang sangat terkenal tetapi tidak diketahui Namanya. Pada tahun 1788 petugas pajak berkebangsaan Austria ini memperkenalkan sebuah prinsip yang menyatakan bahwa pemanfaatan hutan haruslah berlandaskan pada kemampuan hutan dalam memberikan hasil secara teratur dan berkelanjutan.

Berdasarkan prinsi tersebut, CC. Andre, yaitu ayah Emil Andre memuat empat artikel ilmiah yang berhubuungan dengan pengaturan hasil berlandaskan prinsip kelestarian hasil dan diterbitkan dalam jurnal Economic News atau Kabar Ekonomi antara tahun 1811 dan 1812. Berdasarkan artikel-artikel itulah Emil Andre merumuskan Rumus Austrian. Akan Tetapi, jauh sebelum Rumus Austrian dipublikasikan, seorang ahli kehutanan berkebangsaan Jerman, G.I Hartig, pada tahun 1791 telah merumuskan konsep tentang hutan normal, konsep ini kemudian diadopsi, antara lain oleh cotta dan hundeshagen dalam membangun perasaan matematika untuk metode pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu secara terus-menerus.[1]

Pada tahun 1849, Dr. Martin Faustmann merumuskan rumus matematika untuk menghitung nilai lahan yang akan digunakan untuk ditanami pohon sebagai sebuah kegiatan usaha. Menurut rumus tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan dimuat kembali dalam Journal of Economics dengan judul Kalkulasi Nilai Konversi Lahan Untuk Hutan. Adapun rumus matematika yang dibuat oleh Fautsmann tersebut ditujukan untuk menjawab pertanyaan: “berapa nilai lahan untuk suatu hamparan lahan yang akan digunakan untuk menanam pohon sebagai kegiatan usaha?”. Jawaban untuk pertanyaan tersebut menurut Fautsmann akan dapat diperooleh apabila kita merumuskan model untuk usaha penanaman pohon tersaebut sebagai berikut: Anggaplah dalam sebuah hamparan lahan direncanakan untuk ditanam pohon. Apabila pohon sudah mencapai umur tertentu, yaitu umur daur (umur pada saat pohon setiap dipanen), maka pohon-pohon tersebut dipanen. Selanjutnya lahan yang kosong setelah dipanen itu ditanami pohon kembali segera setelah pemanenan dilakukan. Seluruh tahapan penanaman kembali, yumbuh dan pemanenan pohon pada lahan tersebut terus diulangi pada setiap satu daur pohon dalam setiap periode penanamannya dengan tahapan kegiatan yang identic dengan pola piker seperti ini, dalam pandangan Fautsmann nilai lahan akan sama dengan nilai bersih sekarang dari pendapatan usaha menanam pohon pada lahan tersebut sebanyak tidak berhingga kali.

Prinsip banyaknya pengulangan proses (produksi yang lengkap dari penanaman sampai pemanenan untuk selanjutnya ditanami kembali) yang bersifat tidak berhingga ini merupakan ciri utama dan bersifat unik dalam konsep pengelolaan hutan. Ciri inilah yang membedakan konsep awal pengelolaan hutan menurut ilmu kehutanan dengan konsep dalam pengelolaan sumber daya alam lainnnya, termasuk dengan pengelolaan sumber daya alam hayati selain hutan.

Dalam perkembangannya, terhadap rumus untuk mencari nilai lahan untuk tujuan usaha menghasilkan kayu secara lestari yang dibuat oleh fatsmann mendapatkan berbagai kritik dari beberapa pakar ilmu kehutanan, terutama dalam hal penyederhanaan permasalahan yang dibuat sehingga untuk berlakunya memerlukan asumsi-asumsi yang dalam praktik di lapangan sulit dipenuhi. Sungguhpun demikian, prinsip dasar yang dibuat oleh Fautsmann yaitu dengan membuat anggapan adanya jumlah pengulangan proses yang bersifat tidak berhingga sampai saat ini masih dianggap relevan dalam menjelaskan falsafah prinsip kelastarian dalam pengelolaan hutan.

Di Indonesia, konsep hutan normal untuk hutan homogen dan seumur diterapkan dalam pengelolaan hutan tanaman untuk tujuan menghasilkan kayu, terutama pada hutan tanaman jati di Pulau Jawa. Prinsip ini dibawa oleh belanda dan pertama kali dipraktikkan oleh pemerintah hindia belanda dalam pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa yang dilakukan oleh perusahaan Jati yang didirikan pada tahun 1890. Beberapa publikasi hasil penelitian yang dikeluarkan dalam rangka pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa adalah sistem penjarangan Hutan Jati, table tegakan normal jati dan disempurnakan oleh ferguson, serta sifat-sifat silvikultur jati. Metode pengaturan hasil dengan prinsip seperti ini sampai saat ini masih digunakan dalam pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa dan hutan tanaman selain jati di Indonesia.

Pengaturan hasil hutan untuk kayu pada hutan yang tidak seumur, tidak berkembang seperti pada hutan seumur. Metode ini diprakarsai oleh ahli kehutanan berkebangsaan perancis, yaitu F.L de Liocourt yang merumuskan bentuk struktur kegiatan tegakan normal untuk tegakan hutan tidak seumur yang menyerupai bentuk huruf J terbalik. Akan tetapi metode ini tidak berkembang mengingat penerapan konsep pengaturan hasil pada hutan tidak seumur dianggap sulit dan kompleks.

Penerapan metode pengaturan hasil untuk hutan tidak seumur pertama dilakukan oleh Dr. Dietrich Brandis, seorang ahli botani kelahiran Jerman dalam pengelolaan hutan jati di Burma atau sekarang disebut Myanmar pada tahun 1850 sampai 1900. Metode yang dikembangkan oleh brandis ini dinamakan metode pengaturan hasil berdasrkan jumlah pohon dan lebih dikenal dengan sebutan Metode Brandis atau disebut The Method Brandis.

Metode pengaturan hasil pada hutan alam di luar Pulau Jawa yang memiliki banyak jenis atau disebut heterogen dan tidak seumur telah dirumuskan antara lain oleh Suhendang. Metode ini merupakan modifikasi Metode Brandis untuk hutan bersifat heterogen. Metode yang dikembangkan oleh Suhendang dikenal dengan nama Metode Pengaturan Hasil berdasarkan Intensitas Penerbangan Berimbang atau MPH-IPB. Beberapa penelitian hasil pada hutan alam di Indonesia telah pula dikembangkan dan diteruskan hingga saat ini.[1]

Era prinsip manfaat ganda hutan sunting

Penerapan ini dalam pengelolaan hutan tidak mengubah pendekatan metode pengaturan hasil pada hutan seumur. Akan tetapi prinsip ini berpengaruh terhadap pola pemanfaatan lahan hutan. Dalam prinsip manfaat ganda hutan, hutan dipandang sebagai sumber untuk menghasilkan kayu, air, habitat satwa liar, makanan ternak, dan tempat rekreasi. Dalam prinsip ini dianut prinsip pemanfaatan ruang pada lahan hutan, kearah horizontal dan kearah vertikal yang bersifat optimal. Pengaturan kearah horizontal dilakukan melalui pemilihan kombinasi pohon dan tanaman serta jarak tanam yang optimal, sedangkan pengatuuran kearah vertikal dilakukan dengan pemilihan kombinasi tanaman yang memiliki lapisan tajuk yang berbeda-beda. Pola pengelolaan demikian ditemukan dalam sistem agrohutan dengan berbagai bentuk modifikasinya, seperti agrosilviculture, agrosilvopasture, dan agrosilvofishery. Jenis pohon hutan yang dipilih biasanya pohon-pohon yang memiliki manfaat serbaguna dan dikenal dengan sebutan jenis pohon bermanfaat ganda.[1]

Era prinsip pengelolaan hutan lestari atau PHL sunting

Dalam Bahasa inggrisnya Suistanable Forest Management Atau SFM merupakan prinsip yang mengubah secara mendasar cara pandang terhadap hutan, yaitu dari cara pandang hutan sebagai penghasil kayu, yang kemudian disempurnakan menjadi fungsi hutan yang bermanfaat kea rah cara pandang hutan sebagai ekosistem secara utuh harus memberikan manfaat ekonomi, ekologis, dan sosial budaya masyarakat untuk generasi sekarang dam generasi yang akan datang secara berkelanjutan. Cara pandang yang terakhir itu sebenarnya bukan merupakan hal yang baru sama sekali karena fungsi hutan sebagai ekosistem dalam prinsip kelestarian hasil hutan juga diperhatikan. Akan tetapi dalam penerapan prinsip kelestarian hasil, kayu dianggap sebagai hasil utama yang menjadi tujuan, sedangkan hasil-hasil lain termasuk jasa ekologis hutan dianggap sebagai hasil ikutan dari hutan dan dikenal dengan sebutan hasil hutan ikutan. Sementara pada prinsip PHL, seluruh manfaat yang dapat diperoleh dari ekosistem hutan dipandang sebagai hasil utama dan dikelompokkan ke dalam fungsi-fungsi ekonomis, ekologis, dan sosial. Tujuannya adalah optimalisasi dari fungsi-fungsi tersebut secara berkelanjutan. Adapun yang digunakan sebagai ciri utama kelestariannya adalah tidak terjadi penurunan fungsi dan produktivitas hutan pada saat ini dan dimasa yang akan datang.[1]

Dasar Hukum Kehutanan Internasional sunting

Sampai saat ini telah banyak ditetapkan konsep dan definisi mengenai pengelolaan hutan secara lestari. Beberapa di antaranya yang dianggap penting adalah sebagaimana di uraikan berikut ini.

  1. Menurut hasil UNCED (Rio de Jeneiro)
  2. Menurut hasil konferensi perlindungan hutan tingkat Menteri di Eropa, Helsinki 1993
  3. Menurut internasional tropical timber organization atau ITTO (1998)[6]

Menurut hasil UNCED (Rio de Jeneiro) sunting

UNCED Rio de Jeneiro atau KTT Bumi Rio de Jeneiro menegaskan bahwa sebagian besar problema lingkungan di negara berkembang disebabkan oleh kemiskinan. Sedangkan di negara-negara maju justru disebabkan oleh industrialisasi dan kemajuan teknologi. Pemanfaatan lingkungan hidup tetap diperlukan dalam memenuhi kebutuhan fisik manusia dan sekaligus untuk berkembangnya nilai-nilai intelektual, moral, sosial dan spiritual. Seluruh masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang, semua unsur pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha, mempunyai kepentingan dan tanggung jawab yang sama untuk menjaga dan memelihara lingkungan bagi generasi sekarang sampai generasi mendatang, dengan mempertahankan tujuan mendasar dari perdamaian dan pembangunan ekonomi global. Topik yang diangkat dalan konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya air dan lautan, meluasnya penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta berkurangnya keanekaragaman hayati.

KTT Bumi berupaya manyatukan perhatian dunia tentang masalah lingkungan yang terjadi. Masalah tersebut sangat berkaitan erat dengan kondisi ekonomi dan masalah keadilan sosial. Kon ferensi ini juga mendeklarasikan bahwa jika rakyat miskin dan ekonomi nasionalnya lemah, maka lingkungannya yang menderita. Jika lingkungan hidup disalah gunakan dan sumber daya-nya dikonsumsi secara berlebihan, akibatnya rakyat akan menderita dan perekonomian-pun akan morat-marit.

Tujuan utama KTT Bumi ini adalah untuk menghasilkan agenda lanjutan, sebagai sebuah perencanaan bagi gerakan internasional dalam menghadapi isu-isu lingkungan hidup dan pembangunan. Perencanaan tersebut akan membantu memberi arahan bagi suatu kerja sama internasional serta pembuatan kebijakan pembangunan ke depan.

Konferensi Rio kemudian menyepakati bahwa konsep pembangunan berkelanjutan merupakan tujuan dari setiap manusia. Bagaimanapun, menyatukan dan menyeimbangkan perhatian di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan membutuhkan cara pandang baru. Baik mengenai bagaimana kita menghasilkan dan memakai sumberdaya, bagaimana kita hidup, bagaimana kits bekerja, bagaimana kita bergaul dengan orang lain, atau bagaimana cara kita membuat keputusan. Konsep ini menjadi perdebatan panjang, baik dikalangan pemerintahan, juga antara pemerintah dan masyarakatnya tentang bagaimana mencapai keberlanjutan tersebut.

Deklarasi Rio de Janeiro ,tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (The Rio de Janeiro Declaration on Environment and Development ) juga dikenal dengan “Earth Chapter” terdiri atas 27 prinsip yang memacu dan memprakarsai kerja sama internasional, perlunya pembangunan dilanjutkan dengan prinsip perlindungan lingkungan, dan perlu adanya analisis mengenai dampak lingkungan. Deklarasi ini juga mengakui pentingnya peran serta masyarakat yang tidak hanya dikonsultasi mengenai rencana pembangunan, tetapi juga ikut serta dalam pengambilan keputusan, serta aktif dalam proses pelaksanaan dan ikut menikmati hasil pembangunan itu.[7][8]

Deklarasi Stockholm sunting

Konferensi PBB mengenai Lingkungan Manusia, melaksanakan pertemuan di Stockholm pada 5-16 Juni 1972, mempertimbangkan perlunya suatu pandangan umum dan prinsip-prinsip umum untuk mengilhami dan membimbing seluruh manusia dalam pelestarian dan peningkatan lingkungan manusia ,

Dengan Proklamasi:

  1. Manusia adalah ciptaan sekaligus pencipta lingkungannya, yang memberinya kelebihan fisik dan kemampuan-kemampuan dalam hal kecerdasan berpikir, moral, sosial dan pertumbuhan rohani. Dalam evolusi yang panjang dan berliku dari kehidupan manusia di dunia telah dicapai suatu babak ,melalui percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia telah memperoleh kekuatan untuk mengubah lingkungannya dalam berbagai cara dan pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kedua aspek dari lingkungan manusia , yaitu alam dan ciptaan manusia sama-sama penting bagi kesejahteraan dan untuk perwujudan HAM itu sendiri.
  2. Perlindungan dan perbaikan lingkungan hidup manusia merupakan masalah besar yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan ekonomi di seluruh dunia, Hal ini menjadi keinginan yang mendesak bangsa-bangsa seluruh dunia serta merupakan kewajiban dari semua Pemerintah
  3. Manusia secara terus-menerus memperbanyak pengalamannya dan terus menggali, menemukan, mencipta serta terus mengalami kemajuan.. Di masa kini, kemampuan manusia untuk mengubah lingkungannya, jika digunakan secara bijak, dapat membawa manfaat yang membangun bagi semua bangsa dan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup. Penerapan yang salah atau semena-mena, kekuatan yang sama dapat sangat membahayakan manusia dan lingkungannya.
  4. Di negara-negara berkembang sebagian besar masalah lingkungan disebabkan oleh pembangunan. Jutaan di antaranya terus hidup, jauh di bawah tingkat minimum yang diperlukan untuk kehidupan manusia yang layak, kekurangan pangan dan sandang yang memadai, tempat berteduh dan pendidikan serta kesehatan dan sanitasi..
  5. Pertumbuhan alami penduduk terus menerus menyajikan permasalahan bagi pelestarian lingkungan, dan kebijakan serta langkah-langkah yang memadai harus diadopsi, sebagaimana mestinya, untuk menghadapi masalah ini. Dibanding semua yang ada di dunia., manusia adalah makhluk yang paling berharga. Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang mendorong kemajuan sosial, menciptakan kemakmuran sosial, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta, melalui kerja keras mereka, terus-menerus mengubah sekitarnya. Seiring dengan kemajuan sosial dan kemajuan produksi, ilmu pengetahuan dan teknologi, kemampuan manusia untuk memperbaiki lingkungan meningkat setiap harinya
  6. Suatu hal telah tercapai dalam sejarah ketika kita sebagai masyrakat dunia diharuskan mengambil sikap kehati-hatian yang lebih sebagai sebuah konsekuensi dari kondisi lingkungan saat ini. Melalui ketidaktahuan atau ketidakpedulian kita bisa melakukan pembahayaan yang besar dan tidak dapat diubah lagi terhadap bumi di mana kehidupan dan kesejahteraan kita bergantung. Sebaliknya, melalui pengetahuan yang lebih sempurna dan tindakan yang lebih bijaksana,
  7. Untuk mencapai tujuan lingkungan ini akan dituntut penerimaan tanggung jawab oleh warga negara dan masyarakat dan oleh perusahaan dan lembaga-lembaga di setiap tingkatan, semua berbagi secara adil dalam usaha bersama. Individu pada semua lapisan masyarakat seperti juga organisasi-organisasi di berbagai bidang, dengan nilai-nilai mereka dan berbagai tindakannya, akan membentuk dunia menjadi lingkungan masa depan.[9]

Menurut hasil konferensi perlindungan hutan tingkat Menteri di Eropa, Helsinki 1993 sunting

Arti terjemahannya adalah pengelolaan hutan lestari adalah pengelolaan hutan lestari adalh pengurusan dan penggunaan hutan dan lahan hutan melalui cara, dan pada tingkat yang dapat mempertahankan keanekaragaman hayatinya, produktivitasnya, kapasitas regenerasinya, kemampuan mempertahankan hidupnya, dan potensinya untuk memenuhi, pada saat ini dan dimasa yang akan dating, fungsi-fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial yang sesuai, pada tingkat lokal, nasional, dan global, serta yang tidak menyebabkan kerusakan kepada ekosistem lainnya.[1]

Menurut internasional tropical timber organization atau ITTO (1998) sunting

Arti terjemahannya adalah pengelolaan hutan lestari adalah proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu yang jelas dalam menghasilkan barang dan jasa hutan yang diperlukan secara berkelanjutan, tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan dating dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial.

Untuk menjamin agar pelaksanaan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan lestari, diperlukan adanya standar atau baku mutu kinerja pengelolaan hutan yang dinyatakan dalam kriteria dan indikator pengelolaan hutan. Penyusunan kriteria dan indikator pengelolaan hutan ini perlu dirintis oleh ITTO pada tahun 1990, khusus untuk pengelolaan hutan tropika.[10]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h Maini, Jagmohan S.; Ullsten, Ola. World Forests for the Future. Yale University Press. hlm. 111–120. ISBN 9780300237542. 
  2. ^ The Grants Register 2019. London: Palgrave Macmillan UK. 2018-11-13. hlm. 427–428. ISBN 9781349958092. 
  3. ^ Eka Putri, Nora (2013-06-28). "POLITIK MANAJEMEN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM". Humanus. 12 (1): 69. doi:10.24036/jh.v12i1.3105. ISSN 2528-3936. 
  4. ^ a b Oberthür, Sebastian; Ott, Hermann E. (1999). The Kyoto Protocol. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. hlm. 33–42. ISBN 9783642085758. 
  5. ^ Perdana dan, Aulia; Roshetko, James M (2013). "Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Laporan hasil penilaian cepat untuk komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan di Sulawesi Selatan dan Tenggara" (PDF). 
  6. ^ Naomi, Roht-Arriaza (2018-03-22). "Part I Combating Impunity: General Obligations, Principle 1 General Obligations of States to Take Effective Action to Combat Impunity". The United Nations Principles to Combat Impunity: A Commentary. doi:10.1093/law/9780198743606.003.0005. 
  7. ^ "UNEP: Convention on Biological Diversity, 1992". International Documents on Corporate Responsibility. doi:10.4337/9781845428297.00073. 
  8. ^ "UNEP: Convention on Biological Diversity, 1992". International Documents on Corporate Responsibility. doi:10.4337/9781845428297.00073. 
  9. ^ "An NGO with United Nations ECOSOC Consultative Status, Observer Status to the United Nations Environment Programme (UNEP) and Observer Status to United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)". Climate Change and Law Collection. Diakses tanggal 2019-11-12. 
  10. ^ The Grants Register 2019. London: Palgrave Macmillan UK. 2018-11-13. hlm. 427–428. ISBN 9781349958092.